Feature Top (Full Width)

POSISI PTK DALAM PARADIGMA PENELITIAN

Selasa, 03 Maret 2015



POSISI PTK DALAM PARADIGMA PENELITIAN

Paradigma
Kita sering menggunakan kata paradigma. Kata tersebut sudah sangat umum dan dipahami orang awam. Tapi mari kita sedikit mengkajinya kembali.
Paradigma berasal dari kata yunani paradeigmayang dibahasaingriskan menjadi paradigm (..., Paradigm, 2015). Kata paradeigma berarti pattern (pola), example(contoh), sample (contoh). Dalam Oxford English Dictionary paradigma didefinisikan sebagai a typical example or pattern of something; a pattern or model (sejenis contoh atau pola; atau model) (..., Paradigm, 2015). Dalam kamus online Explorable paragigma adalah a framework containing all of the commonly accepted views about a subject (..., Paradigm, 2015) (sebuah kerangka yang berisi pandangan umum yang dapat diterima banyak orang mengenai sebuah subjek, sebuah). Jadi yang dimaksud paradigma adalah sebuah kerangka berpikir, pola berpikir, atau cara pandang umum yang dapat diterima banyak orang mengenai sesuatu. Mitos adalah cara pandang masyarakat tradisional mengenai   kejadian atau alam. Disampingnya ada sain (ilmu pengetahuan modern) yang juga  merupakah sebuah cara pandang berbeda. Penjelasan pelangi dipandang dari paradigma mitos berbeda dari penjelasan dari paradigma sain.
Sebuah paradigma bukanlah merupakan kebenaran mutlak. Thomas Kuhn dalam bukunya The Structure of Scientific Revolution mengatakan bahwa A paradigm does not impose a rigid or mechanical approach, but can be taken more or less creatively and flexibly (Sebuah paradigma tidak menggambarkan aturan kaku atau menjelaskan teknis tertentu melainkan sesuatu yang kreatif dan fleksibel) (.... Paradigm, ibid).
Apa yang membedakan satu paradigma dengan paradigma lain? Menurut Guba (Guba, The Paradigm Dialog, 1990) Ada tiga hal yang menentukan karakter sebuah paradigma yaitu ontologi, epistemologi dan metodologi.  Ontologi adalah filsafat mengenai realitas yang mempertanyakan What is existence? (Apa hakikat sebuah benda?)What is the nature of existence? (Apa ciri-ciri hakikat?). Epistemologi adalah penjelasan hakikat pengetahuan. How do we go about knowing things? (Bagaimana cara memperoleh pengetahuan?) atauHow do we separate true ideas from false ideas? (Bagaimana membedakan benar dan tidak?). Metodologi adalah penjelasan mengenai strategi atau pendekatan yang digunakan  untuk melakukan sesuatu. Guba dan Lincoln (N. K. Denzin; Y.S. Lincoln, 2000) menambahkan dua kategory yang membuat sebuah paradigma menjadi berbeda yaitu believedan aksiologi. Yang dimaksud dengan believe adalah keyakinan akan kebenaran dan aksiologi adalam nilai atau manfaat dari peoduk yang dapat dihasilkan dari pemanfaatan sebuah paradigma.
Lalu apa yang dimaksud dengan paradigma penelitian? Secara sederhana paradigma penelitian diartikan sebagai pola atau model dalam sebuah penelitian yang dialamnya menjelaskan pola, model, cara pandang atau cara berpikir yang digunakan dalam sebuah penelitian.
Sudut pandang terhadap penelitian berbeda-beda. Cara pandang yang paling mudah untuk melihat jenis penelitian adalah dengan melihat jenis data dan cara pengolahannya. Menurut sudut pandang tersebut penelitian terbagi menjadi dua kelompok yaitu kuantitatif dan qualitatif. Selain pengelompokkan paradigam seperti di atas Cresswell (Creswell, 2003) dan Guba (Ibid, 1990) mengidentifikasi jenis-jenis paradigma penelitian menjadi empat yaitu positivisme, post positivisme, konstruktivisme dan teori kritik (critical theory). Positivisme dan post positivisme termasuk kedalam golongan yang memiliki ciri yang sama, sedangkan konstruktivisme dan teori kritikal memiliki karakter cenderung naturalisme.

Kuantitatif versus Kualitatif
Salah satu cara pendang terhadap penelitian adalah dengan melihat jenis datannya. Dikaji dari jenis data penilitian dapat dibagi menjadi dua kelompok yaitu kuantitatif dan kualitatif. Dalam beberapa sumber pengelompokan ini berdasarkan pada pendekatan penelitian (research approach). Paradigma kuantitatif menggambarkan pola hubungan antara variabel yang diteliti yang dikenal dengan variabel bebas dan variabel terikat. Jadi, paradigma penelitian kuantitatif diartikan sebagai pola pikir yang menunjukkan hubungan antarvariabel yang akan diteliti. Karena paradigma ini menekankan pada kejelasan variabel penelitian, maka berkaitan dengan langkah selanjutnya yakni membentuk perumusan masalah yang perlu dijawab melalui penelitian, teori yang digunakan untuk merumuskan hipotesis, jenis dan jumlah hipotesis, instrumen penelitian disusun berdasarkan rumusan teori yang dibangun, penggunaan teknik analisis statistik yang sesuai dengan jenis data dan tujuan penelitian, serta pengujian hipotesis penelitian yang diajukan sebagai langkah pembuktian kebenaran.
Pada penelitian kualitaitif, peneliti dituntut berhubungan langsung dengan konteks yang diteliti untuk keperluan pemahaman. Dalam penelitian ini, peneliti sendiri atau dengan bantuan orang lain merupakan alat pengumpulan data utama yang disebut dengan human instrument. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan pengamatan, wawancara, atau penelaahan dokumen. Analisis kualitatif merupakan proses induktif untuk menemukan kenyataan-kenyataan yang sangat bervariasi di lapangan hingga sampai pada penyimpulan. Penelitian kualitatif lebih mementingkan proses daripada hasil, hal ini disebabkan oleh hubungan bagian-bagian yang sedang diamati jauh lebih jelas apabila diamati dalam prosesnya.

Positivisme versus Naturalisme
Menurut Lincoln and Guba (Guba dan Lincoln, 2000) secara umum ada dua paradigma penelitian yaitu positivisme dan naturalisme. Positivisme sering disebut paradigma ilmiah atau Scientific Paradigm dan naturalisme sering disebut paradigma alamiah atau Naturalistic Paradigm. Naturalisme sering disebut juga rasionalisme.
Sudah sejak lama kedua paradigma tersebut dikenal, semuanya berusaha untuk mencapai kebenaran hanya saja pendekatan yang digunakan berbeda, yaitu sebuah proses epistemologis untuk mencapai kebenaran yang dicari setiap manusia. Aliran positivisme memiliki pandangan bahwa kebenaran semata-mata berasal dari realitas empiris-sensual, bertolak dari hukum-hukum ilmiah,  menekankan bahwa obyek yang dikaji harus berupa fakta yang teramati dan dapat diukur.
Pola pikir aliran positivisme menekankan obyek yang teramati dan terukur dalam bentuk variabel-variabel yang jelas dan diturunkan dalam indikator-indikator. Kejelasan variabel-variabel penelitian ini dalam rangka mencari hubungan atau pengaruh satu atau beberapa variabel terhadap variabel lain karena menurut aliran ini, bahwa yang terjadi di alam ini memiliki hukum sebab akibat, ada pengaruh dan ada yang dipengaruhi serta ada keterkaitan satu sama lain yang tidak dapat dipisahkan. Dari pola pikir ini lahirlah paradigma penelitian kuantitatif yang menghendaki pengujian hipotesis dalam proses pembuktian kebenarannya. Dalam positivisme, kesimpulan penelitian dianggap sahih apabila didukung dengan fakta empirik (prinsip ferifikasi/kkorespondensi).
Berbeda dengan positivisme, aliran naturalisme menekankan bahwa ilmu berasal dari pemahaman intelektual manusia yang dibangun atas kemampuan memberikan argumentasi secara logik rasional atas fenomena yang terjadi. Oleh karena itu, penekanan aliran rasionalisme ialah ketajaman rasio dalam pemaknaan terhadap obyek yang diteliti. Pemahaman intelektual dan kemampuan argumentatif perlu didukung data empiris sehingga apa yang dihasilkan dari proses berpikir rasional logis tersebut terbukti secara faktual. Bagi aliran rasionalisme ini, fakta empirik bukan hanya yang bersifat sensual dalam bentuk variabel-variabel, melainkan ada empirik logik, empiri teoritik, dan empiri etik.  Misalnya: ruang angkasa, peninggalan sejarah masa lampau, dan jarak sekian tahun juta cahaya, semuanya merupakan realitas tetapi tidak mudah dihayati secara sensual melainkan dapat dihayati secara teoritis keilmuan. Dari pola pikir ini lahirlah paradigma penelitian kualitatif yang menghendaki penelusuran dan pengkajian mendalam atas fenomena yang ada untuk sampai pada kebenaran.
Secara garis besar perbedaan positivisme dengan naturalisme dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
POSITIVISME
NATURALISME
Realitas bersifat tunggal, dapat disentuh, dapat dipecah-pecah
Realitas bersifat ganada, realitas dibangun dalam pikiran manusia, realitas bersifat holistik (tidak dapat dipecah-pecah)
Dualisme: pengamat terpisah dari realitas yang diamati, pengamat bersifat independen
Pengamat dan yang diamti saling berinteraksi, saling berpengaruh dan tak dapat dipisahkan
Realitas dan waktu terpisah, generalisasi
Waktu dan realitas terkait anatara satu dengan lainnya, dimungkinkan diajukan hipotesis kerja
Hubungan sebab akibat, penyebab terpisah dengan akibatnya.
Penyebab dan akibat saling berinteraksi dan saling mempengaruhi, penyebab dan akibat beraksi sambung menhambung dan tidak berhenti (simultan).
Bebas dari nilai
Terikat pada nilai tertentu

Pospositivisme
Pospostitivisme merupakan kritik terhadap kelemahan aliran postitivisme. Kritik terutama pada area epistemologi dan metodologi. Pada tataran ontologi pospositivisme memiliki kesamaan dengan positivisme menganggap bahwa realitas itu tunggal, realitas terpisah dengan pengamat dan relitas dapat dikuantifikasi dan digeneralisasi (Burns, 2000). Perbedaannya terlatak pada cara penetapan kesahihan hasil penelitian. Pada positivisme kesimpulan dianggap sahih apabila didukung dengan data yang sesuai dengan keadaannya (korespondensi), pada pospositivisme kesimpulan dianggap sahih apabila tidak ada bukti lain yang dapat menyanggahnya (falsifikasi). Pada positivisme teori lahir dari data, tidak ada data berarti tidak akan lahir teori. Pada pospositivisme teori bisa lahir lebih dulu dan dianggap sahih apabila tidak ada bukti atau argumen lain yang dapat melemahkan teori tersebut.
Pospositivisme memiliki kelebihan yang sama dengan positivisme yaitu dalam hal presisi (ketepatan) dan adanya kontrol dalam penelitian, kuantitatif data yang kokoh dan melahirkan kesimpulan deduktif hasil dari uji hipotesis melalui proses falsifikasi. Hal itu menyebabkan kuatnya klaim atas kebenaran hasil penelitian karena karena tidak hanya didukung dengan data empirik melainkan juga masuk akal (Burns, ibid).
Namun demikian memiliki kelemahan pokok terutama dalam hal klaim atas relitas. Pospositivisme tidak menyadari bahwa eksistensi objek (terutama yang berkaitan dengan perilaku manusia) yang diteliti bersifat nisbi, kompleks, dinamis, dan sulit diprediksi dan dinyatakan dengan angka (Burns, ibid). Menurut Berlin (Berlin, 2000) karakter tersebut menyebabkan terjadinya keterasingan terhadap subjek sehingga terjadi dehumanisasi (menganggap subjek manusia menjadi benda mati). Kelemahan tersebut menyebabkan hasil penelitian menjadi tidak memadai (inadequate) dan terlalu menyederhanakan (oversimplified).

Konstruktivisme
Konstruktivisme memiliki perbedaan yang radikal dengan positivisme dan pospositivisme. Aliran ini berasumsi bahwa realitas itu jamak. Asumsi seseorang mengenai sebuah realitas dapat berbeda dengan orang lain dipengaruhi oleh cara pandang, perasaan dan refleksi terhadap pengalaman. Para   penganut aliran ini menganggap bahwa sebuah realitas bersifat kompleks dan tidak mudah untuk dikuantifikasi menjadi angka-angka. Guba (Guba, ibid) menjelaskan bahwa dalam penelitian konstruktivisme sebuah realitas (subjek penelitian) tidak menjelaskan dirinya sendiri. Deskripsi mengenai sebuah subjek merupakan presensi dari respon peneliti terhadap objek tersebut. Hal itu yang dapat menyebabkan penjelasan mengenai realitas berbeda antara satu peneliti dengan peneliti lain. Meskipun  demikian persepsi tersebut dapat dinegosiasi antara satu orang dengan lainnya sehingga menjadi shared understanding.
Untuk memperoleh penjelasan yang akurat seorang peneliti konstruktivis berupaya melihat realitas tidak sekedar apa yang ditangkap dengan panca indra melainkan mengorek apa yang ada di belakangnya kemudian diekstrak menjadi sebuah fakta. Sementara positivisme dan pospositivisme menekankan pada data kuantitatif yang kaku para konstruktivis lebih meyakini data kualitatif dan menekankan pada pentingnya data yang relevan dengan konteks.
Asumsi yang digunakan adalah bahwa setiap orang mengkonstruksi makna subjektif dari pegalaman masing-masing dan menciptakan pemahaman subjektif dari realitas berdasarkan keyakinan dan konteks dalam kehidupan sehari-hari. Makna dan pemahaman tersebut dibentuk melalui interaksi dengan orang lain dalam rentang sejarah tertentu.
Selain itu dalam penelitian ini dikenal dengan triangulasi data. Yaitu sebuah metode untuk mengukuhkan data dengan cara mengumpulkan data mengenai sebuah tema dari berbagai sumber data kemudian dibandingkan antara satu dengan lainnya sehingga saling mengoreksi dan saling menguatkan. Data hasil triangulasi selanjutnya diinterpretasi melalui proses dialektik (adu argumentasi).
Para konstruktivis tidak menggunakan metode deduktif dengan cara menguji  hipotesis melainkan menciptakan pola-pola dari sebuah kompleksitas sehingga menlahirkan ide-ide (Cresswell, ibid). Hal itu dilakukan dengan cara mengajukan pertanyaan medasar dan melebar. Paradigma penelitian ini bersifat naturalistik dan kualitatif.

Teori Kritikal
Sekitar tahun 1980 dan 1990 terjadi gerkan sigifikan di dunia akademik dan penelitian atas ketidakpuasan terhadap paradigma penelitian yang ada selama ini.  Para ilmuwah dan peneliti bahwa paradigma penelitian yang ada tidak memadai untuk memecahkan isu-isu sosial (social Justice) (Cresswel, ibid). Dengan paradigma yang ada (positivisme, pospositivisme, construktivisme), kita dapat memperoleh kejelasan mengenai suatu perkara namun tidak dapat memberikan pemecahan dalam bentuk tindakan. Sering kali hasil penelitian hanya berhenti pada penjelasan dan tidak bermanfaat secara langsung sehingga tidak berdampak terhadap perubahan atau pengembangan.
Pandangan ini mendorong perubahan ke arah ideologi kritik. yang beranggapan bahwa Dalam ideologi kritik, penelitian bukan sekaedar untuk menjelaskan sebuah realitas melainkan harus berdampak langsung terhadap perbaikan, pemberdayaan dan demarginalisasi. Ini berarti bahwa penelitian tidak bebas nilai melainkan harus memiliki muatan politik.
Paradigma kritikal dikembangkan dari ontologi kritikal. dalam pendekatan pola subjekntif. Realitas (nature) bukan sekedar seperti apayang dilihat. Seseorang mempersepsi realitas berdasrakan nilai (value) yang diyakininya benar.
Para penganut teori kritikal menggunakan pendekatan subjektif, menganggap bahwa setiap orang melihta dunia dari jendela nilai (value). Semua paradigma penelitin tidak ada yang dapat terlepas dari nilai-nilai yang dianut oleh peneliti. Karena sifat subjektif dari keberadaan manusia itu sendiri dan premis bahwa perbedaan nilai yang dianut menyebebkan perbedaan hasil penelitian, kemudian nilai yang dianut oleh seorang peneliti menyebabkan perbedaan aksi terkait dengan hasil penelitian; hal itu menyebabkan penelitian bersifat tidakan politik (Jameson, 1981).
Penelitia yang bertindak berdasarkan teori kritikal peduli dan sensitif terhadap isu yang berhubungan dengan keberdayaan, perbedaan, tekanan, dominasi, supressiona dan keterasingan. Tema ini berkaitan dengan ras, status sosial-ekonomi,  gender, seksuaiatas, diasbilitas, dan usia. Tujuan dari jenis penelitian ini adalah membangkitkan orang-orang yang termarjinalkan ke tingkat kesadaran dan kemampuan sehingga mereka memahami betapa mereka berada dalam kelemahan (ketidakberuntungan) dan dipacu untuk bertindak agar terjadi transformasi ke arah yang lebih baik (Guba, ibid).
Dalam proses ini para peneliti menempatkan subjek penelitian sebagai partisipan yang memiliki derajat kesamaa, dan penelitia bertindak sebagai kolaborator yang berperan untuk mengatur, membangkitkan, membangkitkan energi dan menyadari adanya kesamaan umum cara berpikir. (Guba, ibid) . partisipan bersama kolaborator melakukan survey, mengumpulkan data dan menganalisis data dan memperoleh manfaat dari partisipasi yang dilakukan. Dalam proses ini pandangan mengenai dunia nyata diungkapkan dan sama-sama membuat jajmen (pernyataan) mengenai apa yang dapat diperbuat (Guba ibid, Craswell, ibid).

Metode Penelitian
Mari kita berpikir labih operasional. Setelah kita menelaah berbagai paradigma penelitian, lalu seperti apa parkteknya di lapangan. Untuk itu kita mulai berpikir mengenai metodologi dan matodenya. Agar lebih mudah, mari kita lihat tabel perbanidngan paradigma  penelitian berikut.


Positivisme
Pospositivisme
Construktivisme
Teori Kritikal
Metode
Eksperimen, quasi experimen, penelitian korelasional,  dan survey
Eksperimen, quasi experimen, penelitian korelasional,  dan survey
Phenomenologi, ethnografi, studi kasus, biografi, grounded theory
Penelitian tindakan
Metode pengumpulan data
Pengukuran, observasi, quesioner, interviu
Pengukuran, observasi, quesioner, interviu
Interviu, kaji artefak, kaji dokumen, merekam aktivitas.
Interviu, pengukuran, focus grup, pengamatan terhadap kegiatan sosial, kaji dokumen
Uji kesahihan
verifikasi
falsifikasi
triangulasi
triangulasi, siklus

Dalam tabe di atas terlihat lebih jelas labi persamaan dan perbeedaan antara setiap paradigma. Positivisme dan pospositivisme memiliki kesamaan dalam metode dan teknik pengumpulan data. Seperti diungkapkan pada paparan di atas, perbedaannya hanya pada bagaimana cara menguji kebenaran atau kesahihan hasil penelitian. Pasa positivisme digunakan ferifikasi (kesimulan dianggap benar apabila didukung dengan fakta pengelaman/korespondensi) sedang pada pospositivisme digunakan falsifikasi(kesimpulan dianggap benar apabila tidak ada fakta pengalaman yang membantahnya).
Penelitian konstruktivisme dan teori kritikal berbeda secara radikal dari positivisme dan pos positivisme. Perbedaan terletak pada metode dan teknik pengumpulan datanya. Data peneltian dalam konstruktivisme bersifat kualitatif diperoleh dari cara-cara subjektif.  Penelitian konstruktivistik berbeda dengan teori kritik terutama dalam hal metode. Pada teori kritik metode khas yang digunakan adalah penelitian tindakan (action research). Perbedaan yang paling tegas adalah menegenai hubungan antara peneliti dan subjek. Pada penelitian positivisme, pospositivisme dan konstruktivisme terdapat pemisahan peran peneliti dan subjek penelitian, dalam kritikal teori (peneltian tindakan) peneliti dan subjek peneltian berbaur dalam kesamaan peran. Ciri khas dari penelitian kritikal adalah partisipatif. Peneliti sebagai kolaborator dan subjek sebagai partisipan. Kedua-duanya memiliki peran yang setara.

Posisi Penelitian Tindakan Kelas       
Berdasarkan tabel perbandingan paradigma di atas penelitian tindakan merupakan metode penelitian yang dikembangkan berdasarkan paradigma kritikal. Penelitian ini telah diterapkan dalam berbagai disiplin ilmu dan dunia kerja. Dalam dunia pendidikan dan pembelajaran jenis penelitian ini disebut classroom action research  (CAR) yang dibahasaindonesiakan menjadi Penelitian Tindakan Kelas (PTK).
Berdasarka pola pikir pada tabel di atas secara paradigmatik  dan metodik PTK tidak sama dengan penelitian positivistik seperti experimen  dan korelasional, atau penelitian konstruktivistik seperti ethnografik, boigrafik dan fenomenologis. PTK adalah penelitian yag tidak bertujuan untuk menjelaskan sebuah fenomena melainkan untuk melakukan perubahan atau memperbaiki sesuatu. Hasil PTK memiliki manfaat praktis yang langsung dirasakan oleh yang melakukan. Oleh karena itu PTK memiliki muatan politis dan sosial.
Perbedaan lainnya, PTK adalah penelitian reflectif-partisipatif-kolaboratif. Peneliti dan subjek penelitian berkolaborasi dan berpartisipasi aktif menyelesaikan masalah. Peneliti tidak memisahkan diri sebagai pengamat seperti pada penelitian positivistik melainkan terlibat dan menyatu dalam proses yang sedang terjadi. Peneliti dan subjek bersama-sama menyepakati masalah yang akan diselesaikan, berkolaborasi merancang penelitian dan bersama-sama menyepakati hasilnya secara demokratis. Hasil penelitian sama-sama dirasakan oleh peneliti dan subjek.
Meskipun begitu, ada cara berfikir lain yang menyatakan bahwa penelitian tindakan dapat dilakukan dengan berbagai paradigma. McCutcheon Jurg mengelompokkan penelitian tindakan berdasarkan paradigmanya kedalam tiga jenis yaitu positivist perspective, interpretivist perspective dan critical science perspective (Maters, 1995). Holter dan Schwartz-Barcott juga mengelompokkan penelitian tindakan kedalam tiga kelompok penelitian tindakan, yaitu technical collaborative approach, mutual collaborative approach daan enhancement approach. McKernan melihatnya lebih teknis dan mengidentifikasi tiga tipe penelitian tindakan yaitu the scientific-technical view of problem solving, practical-deliberative action research, critical-emancipatory action research. Pengelompokkan tersebut terkait dengan paradigma yang digunakan. Dalam klasifikasi McKernan misalnya, jenis penelitian pertama lebih memperlihatkan paradigma psitivist dan pospositivis, jenis kedua lebih mewakili penelitian interpretif-konstruktivis, dan jenis ketiga mewakili paradigma kritikal.
Perbedaan-perbedaan pemikiran tersebut menggambarkan luasnya perspaektif yang digunakan dalam penerapan penelitian tindakan kelas. Di Indoneisa praktek PTK juga bermacam-macam namun lebih cenderung menggunakan paradigma kritikal.

DAFTAR PUSTAKA
... (2015, Februari 24). Paradigm. Retrieved from Oxford Dictionary Language matters: http://www.oxforddictionaries.com/definition/english/paradigm?q=paradigm
... (2015, Februari 24). Paradigm. Retrieved from Wikipedia The Free Encyclopedia: http://en.wikipedia.org/wiki/Paradigm
... (2015, Februari 24). Paradigm. Retrieved from Explorable Psychology Experiment: https://explorable.com/what-is-a-paradigm
Berlin, I. (2000). The Power of Idea. Princetown: Princetown University Press.
Burns, B. R. (2000). Contrasting Perspectives. In B. R.B., Intoduction to Research Methode (pp. 3-10). London: Sage Publication.
Creswell, J. (2003). Research Design: Qualitative, Quantitatif an Mix Methods Approach. London: Sage Publication.
Guba, E. G. (1990). The Paradigm Dialog. London: Sage Publication.
Guba, E. G. (1990). The Paradigm Dialog. London : Sage Publication.
Maters, J. (1995). The History of Action Research. In H. I., Action Research Electronic Reader (pp. 3-4). Sudney: University of Sydney.
N. K. Denzin; Y.S. Lincoln. (2000). Paradigmatic controversies, contradictions and emerging confluences. In L. S. Y., & E. G. Guba, Handbook of Qualitative Research (2nd ed.) (pp. 163-188). Thausand Oak California: Sage Publication Inc.

Ipsum

Delete this widget in your dashboard. This is just an example.

Dolor

Delete this widget in your dashboard. This is just an example.