Feature Top (Full Width)

WHAT I GET IS WHAT I GIVE

Kamis, 27 November 2014



 Saya pernah mondok dua tahun ketika duduk di bagku SMP. Ketika saya meninggalkan pondok, rasanya tak ada yang sangat berharga saya peroleh selama dua tahun tersebut. Tapi menjelang tengah baya saya menyadari sesuatu. Sebenarnya saya diajari keikhlasan dan penyedaran diri secara total kepada Sang Pencipta. Hanya saja ketika itu saya masih bau kencur maka saya tidak dapat menangkap sinyal-sinyal itu. Ndabkek!!!
Ketika saya menjelang setengah baya saya merasa gundah, marah  dan ketakutan. Usiaku sudah setengah baya namun belum punya apa-apa. Saya telah lama bekerja tapi tidak punya jabatan apa-apa. Anak saya sudah dua, akankah saya dapat membekali mereka untuk menjadi menjadi orang sukses? Teman-teman sebaya sudah mencapai kesuksesan tertetnu kok saya begini-begini saja.Banyak lagi kegundahan-kegundahan dan ketakutan lain sejenisnya.
Kegundahan dan ketakutan seperti itu membuat saya cepat marah dan kesal  dan pda akhirnya menyudutkan saya menjadi seorang penuntut, pemberontak dan oportunis. Yang ada di benak saya adalah sebuah obsessi untuk meraih sesuatu. Kadang saya berpikir: tidak adil, saya tidak mendapatkan sesuatu yang saya inginkan padahal kerjaku lebih banyak dari yang mereka lakukan. Kadang saya teriak: Tuhan, berikan yang saya inginkan!!! Tapi Tuhan tidak pernah menjawabnya.
Ternyata Tuhan menjawab dengan cara yang lain. Saya diberi kerinduan untuk datang kembali ke pondok yang saya tinggali 30 tahun lalu untuk menemukan sebuah mutiara yang selama ini tidak saya sadari keberadaannya.
Foto Kiyayi yang terpampang di ruang tamu mengingatkan saya kepada sosoknya yang sederhana, ikhlash namun tegas. Seperti dalam sebuah film, pikiran saya mengalami flash back ke era 30 tahun yang lalu.
Pekerjaan Kiyayi setiap hari berpindah dari ruang pengajian satu keruang pengajian lain. Pekerjaan sampingannya hanya menagkarkan ikan yang sesekali dijualnya dan lebih banyak dipelihara untuk makan para tamu. Yang mengherankan, beliau tidak pernah mengeluh mengenai keuangan. Anak-anaknya mendapat pendidikan yang layak, rumahnya tidak cumpang-camping. Satu lagi, meskipun banyak orang yang tinggal di rumnya dan setiap hari banyak tamu yang bertandang, Kiyayi tidak pernah kekurangan makanan.
Saya masih ingat suatu saat Kiyayi sudah kebelet untuk menunaikan ibadah haji, tiba-tiba saja ada SUTET lewat di atas area rumah dan tanahnya dan beliau mendapatkan ganti rugi yang cukup untuk ongkos naik haji.  Ketika Kiyayi mengatakan "sudah membutuhkan kendaraan tertutup untuk pergi ke pengajian"; tiba-tiba datang orang tua santri menawarkan "Mau pilih mobil yang mana Yai?"; tanpa diminta.
Pertanyaannya, mengapa bisa seperti itu?  
Lama saya merenung dan di akhir renungan sampai kepada kesadaran spiritual bahwa yang kita peroleh adalah yang kita berikan.
Ya, yang kita peroleh adalah yang kita berikan.Seperti halnya menanam sebatang pohon mangga maka yang akan diperoleh adalah buah mangga. Semakin baik pemeliharaannya maka kemungkinan akan semakin banyak mangga yang dipanen. Kiyayi telah memberikan apa yang Beliau punya kepada orang lain dengan ikhlash, maka beliau layak memperoleh apa yang Beliau inginkan.
Mutiara yang baru kusadari itu adalah kepasrahan total kepada Sang Penguasa Rezeki. Berikan saja apa yang kita bisa. Biarkan saja Tuhan membuat keputusan. Karena apa yang kita harapkan belum tentu sama  dengan apa yang Ia kehendaki.
Jawaban itu telah berhasil meredam gundah, kemarahan dan ketakutan.  Dalam sujudku aku pasrah. Mau Kau apakan aku, adalah urusan-Mu. Kewajiban saya hanyalah memberi apa yang saya bisa. Jadi kalau hari ini saya belum memperoleh apa yang saya inginkan berarti saya belum cukup memberikan apa yang saya bisa.

KEEP THE MEANING

Rabu, 26 November 2014




Apa yang kita alami dalam kehidupan, sering kali tidak terduga. Kejadian demi kejadian terus mengalir. Kadang kita mendapat kejutan yang membahagiakan, kadang tiba-tiba mendapatkan musibah yang menyakitkan. Kejadian-kejadian tersebut mengombang-ambing kita sperti badai mempermainkan biduk. Ketika seseorang merasa sering mendapat kejadian tidak mengenakkan maka mengambil kesimbulan: Sial. Kesimpulan tersebut adalah sebuah makna negative yang telah dibuat dan akan tertanam dalam benak bahwa aku telah gagal. Makna tersebut akan berpengaruh terhadap keputusan-keputusan yang akan diambil di masa yang akan datang.
Bisa jadi keputusan yang diambil egative. Misalnya seseorang memutuskan untuk mengambil sikap refresif terhadap lingkungan karena menganggap bahwa kegagalan yang dia peroleh di masa lalu disebabkan karena penghianatan. Orang tersebut mengambil langkah curiga dan agresif.
Sikap tersebut tentu tidak diharapkan untuk terjadi pada siapapun.  Lalu apa sebenarnya yang terjadi? Keputusan yang diambil oleh seseorang dipengaruhi oleh makna yang ditempelkan pada kejadian-kejadian yang melatarbelakangi keputusan tersebut. Ketika makna yang ditempelkan pada kejadian-kejadian tersebut negative maka akan menggiring lahirnya keputusan negative. Kalau demikian maka kajadian-kejadian di masa lalu tidak boleh bermakna negative.
Dalam NLP (neuro linguistic program)  ada konsep reframing. Konsep tersebut menjelaskan bahwa sebuah kejadian hanyalah sebuah kejadian sampai seorang meletakkan sebuah bingkai (atau kerangka berpikir) atas kejadian tersebut dalam bentuk makna terhadap peristiwa tersebut.  Ketika seseorang mendapatkan sebuah pengalaman maka maknanya akan tergantung kepada dari sudut mana orang tersebut memaknainya.
Reframing ada dua jenis. Pertama content reframing, dan kedua context reframing. Content reframing adalah melihat apa isi dari sebuah kejadian. Rumusannya: ketika terjadi X maka saya berpikir Y. Contoh, ketika pesawat yang kita tumpangi ditunda penerbangannya. Reaksi pertama pasti kita kesal. Tapi setelah itu cobalah untuk memberi arti yang produktif pada peristiwa itu. Berpikirlah kalau penundaan itu karena untuk memaksimalkan cek kesiapan pesawat, menunggu laporan situasi cuaca, atau alasan-alasan keselamatan lainnya. Bingkai positif yang kita buat akan dapat mengubah kekesalan menjadi kesabaran.
Context reframing adalah membuat sebuah bingkai positif terhadap sebuah persepsi buruk sehingga bermakna positif. Indikatornya: X terlalu …, atau Y terlalu ... tapi dibingkai dengan makna positif. Contoh: seorang ayah yang sedang marah membawa seseorang anak yang keras kepala ke seorang psychotherapist untuk diobati. Dokter malah berkata: “Bukankah sifat ini baik karena akan mendukung anak ini menjadi anak yang mandiri di masa depan nanti, jadi Anda jangan terlalu khawatir”. Kalimat sang dokter adalah sebuah bingkai positif yang dapat membuat reda kemarahan sang ayah.
Barang kali ini adalah sebuah alternative rumus yang dapat membantu kita memperbaiki cara kita melaksanakan hidup di tahun depan. Dalam pekerjaan tahun ini kita mengalami kejadian beragam. Banyak yang membahagiakan, namun banyak juga yang menyedihkan, bahkan yang memilukan. Ada kelemahan perencanaan yang membuat kita kurang nyaman. Ada kelemahan pelaksanaan yang membuat kita kurang kerasan. Ada juga kesalahpahaman yang sering memancing kita untuk berbantah-bantahan. Semua itu tak bisa terelakkan dan tidak bisa diputar ulang. Yang harus kita lakukan adalah bagaimana kita membingkai pengalaman tersebut dengan makna yang positif untuk membuat keputusan di tahun depan.
Salah satu yang membuat kita khawatir adalah kebijakan pemerintah bahwa di tahun depan kita tidak memperoleh honor kegiatan seperti yang kita peroleh tahun sebelumnya. Yang membuat kita khawatir adalah ketakutan terjadi penurunan pendapatan dan mengganggu stabilitas aktifitas dapur kita.
Kekwahatiran tersebut sebenarnya hanya respon sesaat saja. Yang kita khawatirkan belum tentu terjadi. Allah mungkin memiliki skenario lain yang lebih baik. Oleh karena itu mari kita membingkai kebijakan tersebut dengan makna yang baik. Dengan rumus reframing ala NLP. Dengan menggunakan content reframing kita bingkai kebijakan tersbut dengan beberapa persepsi seperti berikut: Kebijakan tersebut sebagai persiapan untuk menerapkan sistem baru yang lebih baik; kebijakan tersebut dibuat untuk menyelamatkan anggaran negara; kebijakan tersebut  merupakan langkah perbaikan untuk menciptakan sistem penggajian yang berkeadilan, dan sejenisnya.
Pembentukan makna tersebut penting karena akan menentukan keputusan kita di tahun depan. Bingkai negatif terhadap masalah tersebut bisa jadi mendorong kita untuk membuat keputusan negative, dan bingkai positif akan mendorong kita membuta kpeutusan positif. Tentu saja kita akan menghindari keputusan negatif. Oleh karena itu mari kita membingkai kejadian-kejadian tahun ini dengan makna yang positif. Ajaran agama juga memerintahkan kita untuk selalu khusnudzon.

AJARAN KI HAJAR DEWANTARA: BUTIRAN MUTIARA YANG HILANG

Senin, 24 November 2014



Oleh: Drs. Asip Suryadi, M.Ed




 
Membaca ide-ide Ki Hajar Dewantara (1889-1959) bagaikan menemukan kembali mutiara yang hilang. Betapa tidak, tulisan-tulisan beliau tidak lagi ada yang mau menerbitkan padahal isinya lebih dari hanya sekedar bermakna.

Ki Hajar Dewantara, nyaris semua orang, terutama yang berkecimpung di bidang pendidikan, sangat mengenalnya. Bahkan negeri ini telah menobatkan Beliau sebagai Pahlawan Nasional dan menetapkan tanggal lahirnya (2 Mei 1889) sebagai Hari Pendidikan Nasional. Sebuah penghargaan yang pantas. Namun hal itu tidak kurang hanya sebagai simbol semata seperti layaknya tradisi simbolik yang telah menjangkiti bangsa ini. Justru mutiara dari seorang Ki Hajar Dewantara hampir luput dari perhatian.   Mutiara yang dimaksud adalah  ide-ide briliannya mngenai pendidikan.

Selama ini para pendidik diajari teori pendidikan Barat yang sekuler dan menjadikannya sebagai standar. Di kampus teori-teori tersebut diagung-agungkan sebagai sebuah menara gading. Hal ini telah membentuk pola pikir dan praktek sekuler dalam dunia pendidikan Indonesia; dan apa yang terjadi sekarang ini merupakan hasil dari pola pikir tersebut.  Pendidikan bangsa ini seperti melayang, kurang membumi. Sebuah contoh: mata pelajaran yang diajarkan di sekolah dan perguruan tinggi se-karang ini kurang memiliki muatan kebangsaan.

Pendidikan seperti itu tidak berhasil meneguhkan identitas sebagai bangsa melainkan justru telah mencabut  sendi-sendi kebangsan sehingga menjadi bangsa yang tidak memiliki identitas kebangsaan yang jelas. Pendidikan sekarang ini telah melahirkan bangsa yang ragu dan galau tentang dirinya.

Hal itu diantaranya karena pendidikan telah mengabaikan kearifan lokal. Lebih dari 30 tahun bangsa ini melibatkan konsultan Barat dalam pengelolaan pendidikan yang mendiktekan filosofi dan teori mereka. Hasilnya seperti yang kita saksikan sekarang.

Ini merupakan salah satu bukti bahwa rumus pendidikan Barat tidak selalu mujarab untuk mendidik Bangsa Indonesia. Oleh karena itu bangsa ini harus dididik dalam kultur ke-Indionesiaan menggunakan dasar filosofi yang diekstrak dari rahim Ibu Pertiwi sehingga melahirkan anak- anak kandung bangsa, bukan anak tiri. Bangsa Jepang, Cina, Korea, belakangan Malaysia adalah contoh nyata.

Rumus mujarabnya adalah: kembali ke kearifan lokal. Bukan berarti bahwa kita menolak filosofi dan teori Barat, tetapi harus memberikan ruh kultural yang akan memberikan orientasi terhadap tujuan penggunaannya. Bangsa Indonesia masih harus tetap belajar dari dunia luar namun dalam transformasi pengetahuannya harus menggunakan cara berpikir kultural.

Kearifan lokal dalam pendidikan  Indonesia diantaranya adalah sosok Ki Hajar Dewantara. Beliau telah menancapkan pilar-pilar pendidikan nasional yang dapat menopang bangunan pendidikan yang berkebangsaan dan bermartabat. Penulis memiliki keyakinan bahwa kalau saja negeri ini sejak awal mencoba menegakkan pilar-pilar tersebut niscaya pendidikan di negeri ini tidak akan seburuk seperti sekarang ini.

Inti dari ajaran Ki Hajar Dewantara adalah pandangannya tentang eksistensi manusia. Ki Hajar Dewantara melihat manusia sebagai makhluk yang utuh terdiri dari besaran fisikal, psikologikal, dan spiritual. Dalam besaran-besaran tersebut terdapat siafat universalitas, kemerdekaan  dan martabat; dan dalam besaran-besaran tersebut juga termuat potensi kemanusiaan (firah) yang kompleks yaitu daya cipta, karsa dan karya.

Seperti yang  dijelaskan dalam filsafat eksistensialisme bahwa manusia bersifat terbuka dalam arti bahwa manusia adalah eksistensi yang tidak pernah selesai untuk dibentuk. Eksistensi manusia adalah juga potensi kemanusiaan yang tak pernah selesai untuk berkembang. Bertolak dari landasan itu Ki Hajar Dewantara beranggapan bahwa pendidikan merupakan upaya pengembangan aspek manusia seutuhnya secara seimbang dan tak pernah henti. Menurut Belaui pendidikanan yang terlalu menitikberatkan pada satu daya saja akan menghasilkan ketidakutuhan perkembangan manusia. Sejak dini Beliau sudah memperingatkan bahwa pendidikan yang menekankan pada aspek intelektual belaka hanya akan mencabut  seseorang dari hakikat ke-manusiaannya. Dalam kacamata Ki Hajar Dewantara pendidikan spiritual dan budi pekerti lebih didahulukan dari pada aspek lainnya karena merupakan landasan pengembangan untuk potensi lainnya.

Berdasarkan landasan tersebut Ki Hajar Dewantara mengembangkan prinsip-prinsip untuk operasionalisasi pendidikan yang mengkeristal dalam azaz-azaz pedagogic, teori belajar,  pengembangan kurikulum dan pengelolaan pembelajaran. Dalam azaz-azaz tersebut tercermin ide orisinal dan modern dari sosok Ki Hajar Dewantara yang tidak kalah kualitasnya apabila dibandingkan dengan teori yang digagas oleh ahli pendidikan Barat seperti Piaget, Maria Montessori, Frobel dan sebagainya. Bahkan ditinjau dari isu multikulturalisme ide Ki Hajar lebih modern dari ahli-ahli tersebut karena telah mengakomodasi aspek multikultural dalam gagasannya.


Salah satu azaz yang paling dikenal  misalnya Ing Ngarsa Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani. Azaz tersebut sering diinterpretasi secara terbatas dalam kaitannya dengan fungsi guru sebagai teladan, dinamisator dan motivator.  Padahal asas lebih dalam menggambarkan pentingnya partisipasi semua lini masyarakat dalam proses pendidikan. Sebuah landasan untuk membangun learning society. Malah apabila dikembangkan dapat melahirkan teori pendidikan sosio kultural seperti yang digagas oleh Vigotsky dan yang setara dengan cooperative learning yang dikembangkan David Johnson, Spencer Kagan dan lainnya.

Ide-ide pendidikan Ki Hajar sarat bermuatan kultur Jawa. Itu tidak lepas dari darah kelahiran Ki Hajar yang asli Yogyakarta. Meskipun begitu tidak berarti ide Ki Hajar bersifat sektoral. Justru beliau menggaungkan ruh Keindonesiaan.  Malah Ki Hajar melepaskan gelar ningrat dan nama aslinya (Raden Mas Soewardi Suryaningrat)  dan memilih menjadi pandita dengan nama Ki Hajar Dewantara. Upaya ini mencerminkan tekad Beliau untuk melepaskan diri dari ciri kesukuan dan mendeklarasikan diri sebagai anak bangsa Indonesia seperti yang tercermin dalam gagasannya.

Membaca gagasan-gagasan Ki Hajar Dewantara bagai membersihkan kotoran-kotoran yang dibawa oleh hembusan badai moderenisme barat berupa debu-debu hitam materialism, positivism, rasionalisme, mekanism dan hedonisme. Bagi Bangsa Indomnesia, kembali ke ajaran Ki Hajar Dewantara bisa berarti menemukan solusi untuk menyelesaikan penyakit kronis pendidikan nasional.

Ki Hajar adalah seorang guru yang sebenarnya. Even he is a super teacher. Seorang maha guru. Bagi guru Indonesia membaca, menelaah dan meneladani gagasan dan ajaran Beliau bisa berarti menemukan kembali ramuan-ramuan mujarab untuk mengobati borok-borok pendidikan dan pembelajaran nasional.

Ipsum

Delete this widget in your dashboard. This is just an example.

Dolor

Delete this widget in your dashboard. This is just an example.