Oleh: Drs. Asip Suryadi, M.Ed
Membaca ide-ide Ki Hajar Dewantara (1889-1959) bagaikan menemukan kembali mutiara yang hilang. Betapa tidak, tulisan-tulisan beliau tidak lagi ada yang mau menerbitkan padahal isinya lebih dari hanya sekedar bermakna.
Ki Hajar Dewantara, nyaris semua orang, terutama yang berkecimpung di bidang pendidikan, sangat mengenalnya. Bahkan negeri ini telah menobatkan Beliau sebagai Pahlawan Nasional dan menetapkan tanggal lahirnya (2 Mei 1889) sebagai Hari Pendidikan Nasional. Sebuah penghargaan yang pantas. Namun hal itu tidak kurang hanya sebagai simbol semata seperti layaknya tradisi simbolik yang telah menjangkiti bangsa ini. Justru mutiara dari seorang Ki Hajar Dewantara hampir luput dari perhatian. Mutiara yang dimaksud adalah ide-ide briliannya mngenai pendidikan.
Selama ini para pendidik diajari teori pendidikan Barat yang sekuler dan menjadikannya sebagai standar. Di kampus teori-teori tersebut diagung-agungkan sebagai sebuah menara gading. Hal ini telah membentuk pola pikir dan praktek sekuler dalam dunia pendidikan Indonesia; dan apa yang terjadi sekarang ini merupakan hasil dari pola pikir tersebut. Pendidikan bangsa ini seperti melayang, kurang membumi. Sebuah contoh: mata pelajaran yang diajarkan di sekolah dan perguruan tinggi se-karang ini kurang memiliki muatan kebangsaan.
Pendidikan seperti itu tidak berhasil meneguhkan identitas sebagai bangsa melainkan justru telah mencabut sendi-sendi kebangsan sehingga menjadi bangsa yang tidak memiliki identitas kebangsaan yang jelas. Pendidikan sekarang ini telah melahirkan bangsa yang ragu dan galau tentang dirinya.
Hal itu diantaranya karena pendidikan telah mengabaikan kearifan lokal. Lebih dari 30 tahun bangsa ini melibatkan konsultan Barat dalam pengelolaan pendidikan yang mendiktekan filosofi dan teori mereka. Hasilnya seperti yang kita saksikan sekarang.
Ini merupakan salah satu bukti bahwa rumus pendidikan Barat tidak selalu mujarab untuk mendidik Bangsa Indonesia. Oleh karena itu bangsa ini harus dididik dalam kultur ke-Indionesiaan menggunakan dasar filosofi yang diekstrak dari rahim Ibu Pertiwi sehingga melahirkan anak- anak kandung bangsa, bukan anak tiri. Bangsa Jepang, Cina, Korea, belakangan Malaysia adalah contoh nyata.
Rumus mujarabnya adalah: kembali ke kearifan lokal. Bukan berarti bahwa kita menolak filosofi dan teori Barat, tetapi harus memberikan ruh kultural yang akan memberikan orientasi terhadap tujuan penggunaannya. Bangsa Indonesia masih harus tetap belajar dari dunia luar namun dalam transformasi pengetahuannya harus menggunakan cara berpikir kultural.
Kearifan lokal dalam pendidikan Indonesia diantaranya adalah sosok Ki Hajar Dewantara. Beliau telah menancapkan pilar-pilar pendidikan nasional yang dapat menopang bangunan pendidikan yang berkebangsaan dan bermartabat. Penulis memiliki keyakinan bahwa kalau saja negeri ini sejak awal mencoba menegakkan pilar-pilar tersebut niscaya pendidikan di negeri ini tidak akan seburuk seperti sekarang ini.
Inti dari ajaran Ki Hajar Dewantara adalah pandangannya tentang eksistensi manusia. Ki Hajar Dewantara melihat manusia sebagai makhluk yang utuh terdiri dari besaran fisikal, psikologikal, dan spiritual. Dalam besaran-besaran tersebut terdapat siafat universalitas, kemerdekaan dan martabat; dan dalam besaran-besaran tersebut juga termuat potensi kemanusiaan (firah) yang kompleks yaitu daya cipta, karsa dan karya.
Seperti yang dijelaskan dalam filsafat eksistensialisme bahwa manusia bersifat terbuka dalam arti bahwa manusia adalah eksistensi yang tidak pernah selesai untuk dibentuk. Eksistensi manusia adalah juga potensi kemanusiaan yang tak pernah selesai untuk berkembang. Bertolak dari landasan itu Ki Hajar Dewantara beranggapan bahwa pendidikan merupakan upaya pengembangan aspek manusia seutuhnya secara seimbang dan tak pernah henti. Menurut Belaui pendidikanan yang terlalu menitikberatkan pada satu daya saja akan menghasilkan ketidakutuhan perkembangan manusia. Sejak dini Beliau sudah memperingatkan bahwa pendidikan yang menekankan pada aspek intelektual belaka hanya akan mencabut seseorang dari hakikat ke-manusiaannya. Dalam kacamata Ki Hajar Dewantara pendidikan spiritual dan budi pekerti lebih didahulukan dari pada aspek lainnya karena merupakan landasan pengembangan untuk potensi lainnya.
Berdasarkan landasan tersebut Ki Hajar Dewantara mengembangkan prinsip-prinsip untuk operasionalisasi pendidikan yang mengkeristal dalam azaz-azaz pedagogic, teori belajar, pengembangan kurikulum dan pengelolaan pembelajaran. Dalam azaz-azaz tersebut tercermin ide orisinal dan modern dari sosok Ki Hajar Dewantara yang tidak kalah kualitasnya apabila dibandingkan dengan teori yang digagas oleh ahli pendidikan Barat seperti Piaget, Maria Montessori, Frobel dan sebagainya. Bahkan ditinjau dari isu multikulturalisme ide Ki Hajar lebih modern dari ahli-ahli tersebut karena telah mengakomodasi aspek multikultural dalam gagasannya.
Salah satu azaz yang paling dikenal misalnya Ing Ngarsa Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani. Azaz tersebut sering diinterpretasi secara terbatas dalam kaitannya dengan fungsi guru sebagai teladan, dinamisator dan motivator. Padahal asas lebih dalam menggambarkan pentingnya partisipasi semua lini masyarakat dalam proses pendidikan. Sebuah landasan untuk membangun learning society. Malah apabila dikembangkan dapat melahirkan teori pendidikan sosio kultural seperti yang digagas oleh Vigotsky dan yang setara dengan cooperative learning yang dikembangkan David Johnson, Spencer Kagan dan lainnya.
Ide-ide pendidikan Ki Hajar sarat bermuatan kultur Jawa. Itu tidak lepas dari darah kelahiran Ki Hajar yang asli Yogyakarta. Meskipun begitu tidak berarti ide Ki Hajar bersifat sektoral. Justru beliau menggaungkan ruh Keindonesiaan. Malah Ki Hajar melepaskan gelar ningrat dan nama aslinya (Raden Mas Soewardi Suryaningrat) dan memilih menjadi pandita dengan nama Ki Hajar Dewantara. Upaya ini mencerminkan tekad Beliau untuk melepaskan diri dari ciri kesukuan dan mendeklarasikan diri sebagai anak bangsa Indonesia seperti yang tercermin dalam gagasannya.
Membaca gagasan-gagasan Ki Hajar Dewantara bagai membersihkan kotoran-kotoran yang dibawa oleh hembusan badai moderenisme barat berupa debu-debu hitam materialism, positivism, rasionalisme, mekanism dan hedonisme. Bagi Bangsa Indomnesia, kembali ke ajaran Ki Hajar Dewantara bisa berarti menemukan solusi untuk menyelesaikan penyakit kronis pendidikan nasional.
Ki Hajar adalah seorang guru yang sebenarnya. Even he is a super teacher. Seorang maha guru. Bagi guru Indonesia membaca, menelaah dan meneladani gagasan dan ajaran Beliau bisa berarti menemukan kembali ramuan-ramuan mujarab untuk mengobati borok-borok pendidikan dan pembelajaran nasional.