Feature Top (Full Width)

Prosedur Pelaksanaan PTK

Kamis, 13 Agustus 2015


Prosedur PTK

Kita sudah mendiskusikan karakteristik PTK. Melalui diskusi tersebut Anda pasti sudah mulai memahmi definisi PTK, bagaimana cara berpikirnya dan apa fungsinya. Sekarang mari kita diskusi mengenai bagaimana melakukannya.
Sebagai sebuah metode ilmiah PTK pada dasarnya memiliki pola umum yang sama dengan penelitian lainnya  yaitu identifikasi dan rumusan masalah, menentukan metode, mengkaji pustaka, merumuskan hipotesis (lalau diperlukan), mengumpulkan data, mengolah data dan menyimpulkan. Namun demikian ada beberapa ciri khas PTK yang berbeda dengan penelitian lainnya. Pertama PTK berbentuk uji coba tindakan (bukan eksperimen laboratorium, survey lapangan, kaji pustaka atau biography). Kedua, penelitian dilakukan dalam beberapa putaran yang disebut siklus. Ketiga, putaran berikutnya merupakan perbaikan tindakan dari tindakan putaran sebelumnya. Keempat, perbaikan pada siklus berikutnya merupakan hasil refleksi dari siklus sebelumnya.
Kemmis mengutip penjelasan lewin mengenai prosedur action research sebagai berikut. ... consisted in analisys, fact-finding, conceptualisation, planning, execution, more fact-finding or evaluation; and repetition of this whole circle of activities; indeed a spiral of such circle (Kemmis, ibid). Jadi dalam paradigma Lewinian, penelitian tindakan dilakukan dengan prosedur sebagai berikut.
1.    Menganalisis masalah nyata;
2.    Mengumpulkan fakta-fakta pendukung keberadaan masalah;
3.    Merumuskan masalah dengan jelas;
4.    Merencanakan tindakan;
5.    Melakukan tindakan (eksekusi);
6.    Mengevaluasi hasil tindakan dan merumuskan pernyataan (judgement) perbuhana;
7.    Mengulangi seluruh kegiatan dalam beberapa siklus.
Satu putaran yang dimaksud Lewin disebut satu siklus. Sebuah penelitian dapat terdiri dari beberapa siklus. Penelitian akan diakhiri apabila sudah terlihat adanya perubahan yang diinginkan. Sudah barang tentu pengulangan kegiatan tersebut substansinya tidak sama. Siklus kedua dilakukan dengan cara yang sama namun diawali dengan perubahan hasil refleksi yang dilakukan pada siklus pertama. Demikian juga kegiatan pada siklkus ketiga, diawali dari perubahan yang terjadi pada siklus kedua sehingga terjadi perubahan terus menerus. Dengan demikian sebenarnya putaran lebih menyerupai spiral dari pada siklus.
Ada beberapa model penelitian tindakan yang sering digunakan. Diantaranya Model Kurt Lewin, Model Kemmis dan McTaggart, Model John Elliot, Model Dave Ebbutt dan model lainnya. Model-model tersebut memiliki konsep dan prinsip yang sama namun digunakan dalam konteks yang berbeda. Didalam setiap model tersebut digambarkan cara berpikir, konteks dan dan prosedur pelaksanaannya.
Kita sebaiknya mengenal model-model tersebut untuk menambah awawasan dan kedalaman pemahaman mengenai PTK. Anda dapat mempelajari model-model tersebut di bagian lain modul ini. Dalam bagian ini kita akan mendiskusikan model PTK Kemmis-McTaggart yang sangat popular dan cenderung digunakan secara umum oleh para praktisi di Indonesia. Kita akan menggunakan model ini untuk latihan pada kegiatan berkutnya.

Reconnaissance
Sebelum melaksanakan PTK Anda harus mengawalinya dengan kegiatan pra-PTK yang disebut reconnaissance. Langkah pertama adalah mengeidentifikasi masalah yang berkaitan dengan pembelajaran di sebuah kelas. Pada langkah ini Anda membuat daftar masalah yang dirasakan. Setelah itu pilihlan salah satu masalah yag paling meresahkan dan perlu segera diselesaikan. Salah satu teknik untuk mengidentifikasi keberadaan masalah adalah dengan cara melakukan refleksi pembelajaran.
Langkah berikutnya, Anda harus melakukan verivikasi apakah masalah tersebut jelas keberadaannya. Langkah ini penting karena penelitian hanya boleh dilakukan apabila masalahnya benar-benar ada. Pada fase ini Anda harus mengajukan pertanyaan: Apa bukti keberadaan masalah? Yang perlu dilakukan pada langkah ini adalah mencari fakta keberadaan masaah. Fakta dapat berbentuk data kualitatif maupun kuantitatif. Data kuantitatif boleh berbentuk skor atau nilai hasil tes, nilai raport, angka hasil survey dan sejenisnya. Data kulitatif dapat berupa hasil pengamatan, hasil wawancara, foto, video dan sejenisnya.
Ketika Anda sudah dapat memverifikasi keberadaan masalah, maka selanjutnya Anda harus menelisik apa penyebab timbulnya masalah. Pada fase ini Anda harus brainstorming dan melakukan penelitian untuk menjawab pertanyaan: Apa penyebab masalah? Anda mungkin perlu melakukan wasancara dengan siswa, diskusi dengan kolega, bertanya kepada ahli atau dengan kegiatan lainnya.
Langkah terakhir pada kegiatan reconnaissance adalah brainstorming mengenai bentuk tindakan sebagai alternative solusi untuk menyelesaikan masalah. Dalam fase ini Anda harus mengkaji teori, diskusi dengan kolega, diskusi dengan expert, mengikuti seminar atau sejenisnya sehingga Anda mendapatkan inspirasi tindakan. Hal itu harus dilakukan karena pemilihan tindakan harus bersifat teoretis dan argumentative. Jangan sampai Anda memilih tindakan sekenanya sehingga penelitian menjadi tidak ilmiah dan kemungkiana nanti akan menjadi kendala dalam perjalanan melaksanakan penelitian.
Hasil reconnaissance ini akan Anda gunakan ketika menyusun rancangan penelitian dalam bentuk proposal. Data-data hasil recconaisance dapat digunakan untuk menyusun latar belakang, merumuskan judul penelitian, rumusan masalah, merumuskan tujuan dan draft kajian pustaka. Tanpa reconnaissance kemungkinan besar Anda akan kesulitan dalam penyusunan proposal.

Model Kemmis dan McTaggart
Setelah Anda selesai melakukan reconnaissance, selanjutnya Anda melaksanakan PTK. Model yang biasa digunakan adalah model Kemmis-McTaggart. Model ini dilakukan melalui empat langkah empat langkah yaitu planning (perencanan), acting (tindakan), observing (pengamatan) dan reflecting (refleksi). Berkut ini rincian kegiatan pada setiap langkah. Langkah tersebut dapat digambarkan dalam skema berikut.

a.    Planning (Rencanaan).
Pada langkah ini Anda menindaklanjuti hasil reconnaisance dengan cara menyusun rancangan penelitian. Bentuk ril dari rancangan penelitian adalah proposal penelitian.
Poin-poin penting yang harus dilakukan pada langkah ini yaitu merumuskan masalah, merumuskan tujuan penelitian, menentukan tindakan, merancang seting penelitian, menentukan jumlah siklus dan pertemuan, menentukan materi ajar, ,  menentukan teknik dan instrumen pengumpulan data dan menyusun jadwal penelitian. Yang harus dirancang termasuk rencana pembelajaran untuk pertemuan pada siklus pertama.
Perencanaan perlu disusun secara sistematis, logis dan kontekstual.  Dengan rencana yang dilakukan Anda akan memiliki bekal untuk melaksanakan penelitian dan Anda akan melaksanakan penelitian sesuai dengan rancangan tersebut.

b.    Action (Tindakan) dan Observing(Pengamatan)
Pelaksanaan dan observasi dilakukan bersamaan. Dalam langkah ini peneliti dan kolaborator berkumpul di kelas tempat subjek penelitian. Peneliti atau guru lain melaksanakan pembelajaran sesuai dengan rencana pembelajaran yang telah disiapkan sealamiah mungkin. Para kolaborator sebagai observer hadir di kelas mengambil posisi di sekitar siswa untuk merekam kegiatan. Tugas observer hanya merekam data, tidak berhak untuk mengintervensi pembelajaran. Diupayakan agar para observer seoptimal mungkin tidak mengganggu kealamiahan pembelajaran.


Observer sedang merekam kegiatan belajar
Jumlah pelaksanaan dan pengamatan (actingdan observing) sesuai dengan rencana yang telah dirancang dalam proposal. Apabila PTK dirancang tiga siklus dan setiap siklusnya 2 pertemuan maka pelaksanaan dan pengamatan akan dilaksanakan sebanyka 6 kali.  Peneliti boleh mengubah rencana pertemuan sesuai dengan kondisi atau atas rekomendasi yang dihasilkan dari kegiatan refleksi.
Jenis data yang dikumpulkan haarus sesuai dengan rumusan masalah. Jangan samapai para observer terlalu banyak mengumpulkan data namun tidak relevan dengan  rumusan masalah. Oleh karena itu jenis data yang harus dikumpulkan harus ditegaskan dari awal dalam proposal penelitian.
Data dapat berupa catatan pengamatan, foto, video, hasil wawancara dan jenis lain yang memungkin diperoleh. Wawancara penting dilakukan oleh observer untuk mendalami data hasil pengamatan. Wawancara dilakukan setelah pembelajaran selesai.
Untuk memperoleh data-data tersebut observer boleh dibekali dengan pertanyaan pengarah atau tabel pengamatan. Hal ini penting agar para observer merekam data yang memang benar-benar dibutuhkan sesuai denga rumusan masalah.
Observer harus hadir dari awal sampai akhir pembelajaran agar memperoleh data yang lengkap. Berikut ini beberapa rambu bagi para observer.
  1. Setelah memasuki ruangan kelas dengan tertib, semua observer hendaknya tidak lagi keluar masuk kelas, dan bersiap mengamati pembelajaran dengan menempatkan diri pada posisi yang paling tepat untuk mengamati siswa. Posisi yang tepat adalah di depan atau di samping siswa, sehingga observer dapat memperhatikan gerak-gerik dan raut wajah siswa ketika belajar.
  2. Observer dapat berpindah posisi pengamatan jika perlu, misalnya mendekat ke siswa dalam kelompok, namun jangan sampai mengalihkan perhatian siswa dari belajar atau menghalangi pandangan siswa.
  3. Pada awalnya, disarankan agar setiap observer berlatih mengamati satu kelompok atau beberapa siswa saja. Namun jika sudah merasa lebih mahir, observer dapat mengamati beberapa kelompok lain atau mengamati siswa dalam kelas secara keseluruhan.
  4. Selain mengamati aktivitas belajar siswa, observer juga harus memperhatikan langkah-langkah pembelajaran yang dilakukan oleh guru secara proporsional. Jika pandangan semua pengamat mengarah pada guru, maka dapat menimbulkan perasaan kurang nyaman atau “grogi” pada guru model.
  5. Tidak membantu guru peserta dalam proses pembelajaran dalam bentuk apapun. Misalnya ikut membagikan LKS, menenangkan siswa, dan lain-lain. Biarlah guru melakukan tugasnya secara mandiri dan terbebas dari intervensi siapapun. Observer bukan bagian dari ”team teaching”.
  6. Tidak membantu siswa dalam proses pembelajaran, misalnya mengarahkan pekerjaan siswa atau bertanya sesuatu kepada siswa yang sedang belajar. Jika siswa bertanya kepada Anda (sebagai pengamat), katakan agar siswa bertanya langsung pada guru.
  7. Tidak mengganggu pandangan guru/siswa selama pembelajaran. Jika Anda sedang mendekati siswa dalam kelompok atau berada di tengah-tengah kelas, kemudian tiba-tiba guru ingin memberikan arahan secara klasikal maka segeralah menepi agar tidak mengganggu pandangan siswa.
  8. Tidak mengganggu konsentrasi siswa dalam belajar, misalnya berbicara dengan pengamat  lain, keluar masuk ruangan, dll.
  9. Jika menggunakan kamera untuk mengambil gambar kegiatan belajar (guru/siswa) lampu kilat (flash) hendaknya dimatikan. Kilatan lampu kamera dapat mengganggu atau menghentikan konsentrasi belajar siswa.
  10. Gunakan lembar pengamatan yang tersedia untuk mencatat hasil pengamatan Anda. Jika fenomena yang diamati tidak tercantum dalam bagian lembar observasi, pengamat dapat menambahkannya sebagai catatan tambahan.
  11. Pengamat harus melakukan pengamatan secara penuh sejak awal sampai akhir pembelajaran.
Peneliti / guru yang melaksanakan pembelajaran juga jangan lupa membuat catatan mengenai pelaksanaan pembelajaran yang dia lakukan. Dalam catatan tersebut peneliti dapat dipaparkan perasaan dalam melaksanakan pembelajaran, temuan hasil pengamatan terhadap kegiatan belajar siswa, kesesuaian RPP dengan realisasinya, waktu pelaksanaan, dampak media yang digunakan terhadap kegiatan belajar dan sebagainya.
Semakin banyak data yang dikumpulkan maka semakin baik. Berdasarkan pengalaman sering kali peneliti kesulitan menyusun laporan PTK akibat kurrang lengkapnya data.
Data yang terkumpul kemudian digabungkan dan dikonfirmasi dengan data hasil pengamatan observer. Peneliti harus segera mengumpulkan dan menyimpan data yang telah dikumpulkan pada pertemuan tersebut. Sebaiknya langsung ditik dalam komputer dan disimpan dengan backup di beberapa bantuk seperti flash dish atau CD. Ada baiknya disimpan di web dalam bentuk e-mail, web sendiri (kalau punya)  atau blog. Akan lebih aman lagi kalau dilengkapi dengan printoutnya.

c.    Reflection (Refleksi)
Ketika peneliti dan kolaborator selesai melaksanakan pertemuan satu siklus maka dilakukan kegiatan refleksi. Dalam PTK refleksi bukan dilakukan setiap selesai pertemuan melainkan setiap selesai satu siklus. Jadi kalau kita merencanakan PTK tiga siklus dan setiap siklus terdiri dari 2 pertemuan maka refleksi dilakukan tiga kali bukan enam kali.
Refleksi meliputi kegiatan analisis, sintesis, penafsiran (penginterpretasian), dan menjelaskan data yang dikumpulkan melalui kegiatan observasi. Data-data tersebut setelah diolah kemudian dibandingkan dengan target-target yang telah dtetapkan dalam kriteria keberhasilan.  Hasil dari refleksi adalah rekomendasi perbaikan yang akan menjadi pertimbangan dalam merencanakan siklus berikutnya.
Pada dasarnya forum refleksi dilakukan dalam bentuk diskusi formal, namun non formal juga tidak masalah. Yang penting adalah mengarah kepada tujuan.


Kegiatan refleksi

Yang pertama harus berbicara adalah penelitia untuk menyampaikan kesan mengenai pembelajaran yang telah dilakukan dalam siklus tersebut. Selanjutnya setiap kolaborator menyampaikan tanggapan masing-masing dan dibahas secara tuntas. Kegiatan refleksi harus membahas data terkait dengan rumusan masalah yang telah diajukan.



Referensi

Burns, Anne. 1999. Collaborative AR for English Teachers. Cambridge, UK: Cambridge University Press.
_____ 2010. Doing AR in English Language Teaching. New York: Routledge.
Cohen, L., Manion, L., & Morrison, K. 2000. Research Methods in Education. London, UK: Routledge Falmer.
Cowie, N. 2001. “It’s not ARyet, but I’m getting there” approach to teaching writing. In J. Edge (Ed.), AR (pp. 21–33). Alexandria, VA: TESOL.
Creswell, John W. 2008. Educational Research: Planning, Conducting, and Evaluating Quantitative and Qualitative Research. New Jersey: Pearson.
Ferrance, E. 2000, Themes in Education: Action Research, The Education Alliance: Brown University, Providence, Rhode Island.
Gabel, Dorothy. 1995. “An Introduction to Action Research”. Disampaikan dalam pidato pembukaan National Association for Research in Science Teaching (NARST) di San Francisco, April 24, 1995.
Gall, J.P., Gall, M.D., and Borg, W.R. 1999. Applying Educational Research: A Practical Guide (4th Ed.). New York: Longman.
Johnson, A.P. 2005. A Short Guide to AR (2nd ed.). Boston: Allyn and Bacon.
Kemmis, S., & McTaggart, R. (Eds.). 1988. The AR Planner. Geeloong, Victoria, Australia: Deakin University Press.
Koshy, Valsa. 2005. AR for Improving Practice. Paul Chapman Publishing London.
McKay, Sandra Lee. 2008. Researching Second Language Classrooms. New jersey: Lawrence Erlbaum Associates, Inc., Publishers
McKeachie, W.J. 1999. Teaching Tips: Strategies, Research and Theory for College and University Teachers. Boston: Houghton Mifflin.
McMillan, J. H., & Schumacher, S. 2006. Research in Education: Evidence-Based Inquiry (6th ed.). Boston: Pearson.
Gwynn, Mettetal. 2002. “Improving Teaching through Classroom Action Research”. Diterbitkan dalam jurnal Toward the Best in the Academy Vol. 14, No. 7, 2002-2003 diunduh pada tanggal 27 Oktober 2009 dari: http://academic. udayton.edu/FacDev/Newsletters/EssaysforTeaching Excellence/
_____ 2001. “The What, Why and How of Classroom Action Research”. Diterbitkan dalam jurnal The Journal of Scholarship of Teaching and Learning (JoSoTL)Volume 2, Number 1 (2001).
Mills, G.E. 2003. Action Research: A Guide for the Teacher Researcher (2nd ed.). New Jersey: Merrill Prentice Hall.
Nunan, D. 1992. Research Methods in Language Learning. Cambridge, UK: Cambridge University Press.
Sagor, R. 2004. The AR Guidebook: A Four-Step Process for Educators and School Teams. Thousand Oaks, CA: Sage.
Sulipan. (n.a.)  “Penelitian Tindakan Kelas”. Makalah, disusun untuk Program Bimbingan Karya Tulis Ilmiah secara Online Dan Program Peningkatan Kompetensi Guru Sekolah Indonesia di Luar Negri. Diunduh pada tanggal 15 Juni 2008 dari:  http://massholeh.webs.com/sulipan.pdf
Tomal, D.R. 2005. AR for Educators. Lanham, Maryland: Rowman and Littlefield.
Weimer, M. 1996. Improving your Classroom Teaching. Newbury Park, CA: Sage.

FAKTOR PENYEBAB RENDAHNYA PERSENTASE KELULUSAN PADA DIKLAT JARAK JAUH ONLINE PTK DAN ALTERNATIF SOLUSINYA

Minggu, 28 Juni 2015



Asip: Fakto Penyebab Rendahnya Persentase Kelulusandiklat Jarak Jauh Online Ptk dan Alternatif Solusinya. tudi kasus ini dilaksanakan di BDK Jakarta bulan Januari sampai April 2015 bertujuan untuk mengudentifikasi faktor-faktor penyebab rendahnya persentasi kelulusan pada tiga angkat Diklat jarak jauh Online Penelitian Tindakan Kelas yang diselenggarakan tahun 2014. Untuk tujuan tersebut telah dilakukan survey dengan sumber data hasil evaluasi DJJ Online PTK, alumnus diklat tutor dan admin. Selain itu dilakukan kajian teoretis dan best practice untuk merumuskan solusi.
Berdasarkan data yang diperoleh ditemukan empat kelompok penyebab rendahnya persentase kelulusan yaitu faktor individu, factor instruksional, factor organisasi dan factor teknis. Keemapt factor tersebut saling terkait antara satu dengan lainnya sehingga tidak dapat dipisahkan. Namun demikin berdasarkan analisis kualitatif dan kaji referensi diantara empat faktor tersebut yang paling besar pengaruhnya terhadap rendahnya persentase kelulusan adalah factor individu. Faktor tersebut termasuk didalamnya motivasi, self-efficacy, kesibukan dan kemampuan mengelola waktu. Faktor ini mendominasi sehingga ketika factor-faktor lain baik namun factor individu rendah maka   seorang peserta mendapat hambatan yang signifikan dalam mengikuti DJJ Online.
Melalui peneltian ini dirumuskan sembilan alternative solusi  yaitu. Pertama meningkatkan motivasi, kedua meningkatkan self-efficacy, ketiga peningkatan hubungan tutor-peserta-admin, keempat peningatan ketepatan pelayanan tutor dan admin untuk merespon kegiatan peserta, kelima mempertimbangkan kembali kegiatan tatap muka dengan berbagai bentuk, keenam meningkatkan penyebaran informasi mengenai tujuan, fungsi dan karakter DJJ online dalam berbagai bentuk, ketujuh meningkatkan mutu materi dan kegiatan agar lebih mudah dan lebih cepat dikuasai namun tidak membuat peserta bosan, kedelapan disajikan modul simulasi untuk latihan bagi para calon peserta dalam menggunakan LMS, dan kesembilan perencanaan dan pengembangan tanpa akhir yang dilakukan dalam bentuk siklus yang sistematis.

Kata Kunci: DJJ Online PTK, Persentase kelulusan, motivasi, self-efficacy, instruksional, individual, organisai, teknis.

MENDETEKSI MASALAH UNTUK PTK

Rabu, 29 April 2015



Oleh 
Asip Suryadi

Pendahuluan
Dengan diberlakukannya peraturan baru mengenai Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya, pendidik harus mengumpulkan angka kredit dari sub unsur publikasi ilmiah mulai dari golongan III/B. Ada 10 jenis publikasi ilmiah yang dapat dihitung angka kreditnya. Salah satunya adalah makalah hasil penelitian. Jenis publikasi ilmiah ini mulai diwajibkan kepada pendidik golongan III/d yang mau naik ke golongan IV/a dan seterusnya. Untuk kebutuhan tersebut  pendidik harus melakukan penelitian pembelajaran. Jenis penelitian yang dianjurkan adalah penelitian tindakan kelas (PTK).
Hal itu menyebabkan PTK menjadi isu hangat di kalangan pendidik. Malah cenderung menjadi euporia. Sebagian pendidik meresponnya secara positif dengan cara mengikuti kegiatan sosialisasi dan workshop untuk memahaminya. Banyak juga yang pesimistik karena menganggap PTK sulit dilakukan. Pendidik yang pesimistik kemungkinan akan menuai masalah karena secara psikologis menyerah.
Ada beberapa fenomena kasat mata yang menyebabkan sikap pesimistik. Pertama banyak pendidik mengalami sindrom dengan kata penelitian. Kata penelitian menggambarkan sebuah kegiatan ilmiah yang sulit dan kompleks. Pengalaman pertama melakukan penelitian bagi pendidik kebanyakan adalah ketika menyusun skripsi. Pengalaman tersebut menegangkan karena prosedur yang harus dilakukan sangat kaku dan bertele-tele.  Kesan tersebut menyababkan para pendidik menghindarinya. Kedua, penelitian itu mahal dan membutuhkan waktu. Para pendidik yang setiap hari mengajar dengan jumlah jam minimal 24 per minggu mempertanyakan kapan waktunya untuk melakukan penelitian. Apa lagi  yang mengajar lebih dari 24 jam pelajaran. Kalaupun tersedia waktu untuk melakukan penelitian tidak ada dana yang tersedia secara khusus. Ketiga, banyak guru yang kebingungan apa yang harus diteliti. Banyak guru menganggap mengajar sebagai pekerjaan rutin yang tidak harus dipermasalahkan. Keempat, tidak ada insentif atau penghargaan khusus bagi guru yang melakukan penelitian. Melakukan penelitian atau tidak, penghrgaan baik dalam bentuk gaji maupun tunjangan lain sama saja.
Stigma negatif  tersebut harus diupayakan untuk dihilangkan atau dikurangi. Pemerintah harus menanamkan keyakinan kepada para pendidik bahwa penelitian pembelajaran penting dilakukan oleh setiap pendidik untuk meningkatkan mutu. Pengalaman di negara maju, pendidik selalu melakukan inovasi melalui penelitian. Selain itu diperlukan diklat yang memadai untuk membekali para pendidik wawasan dan metodologi penelitian. Tak kalah pentingnya, pemerintah harus menyediakan biaya dan penghargaan bagi pendidik yang melakukan penelitian.
Diantara empat penyebab masalah di atas, salah satu yang sangat urgen dan substantif adalah kebingungan mengenai masalah yang harus diteliti. Perilaku tersebut menyebabkan tumpulnya daya kritis dan sensitivitas terhadap masalah pembelajaran.
Daya kritis dan sensitivitas pendidik tentu dapat dibangkitan. Salah satu solusinya adalah membiasakan pendidik untuk melakukan refleksi pembelajaran. Melalui kegiatan refleksi tersebut pendidik mencoba mengkaji kembali apa yang sudah dilakukan dan dampaknya terhadap hasil belajar peserta didik. Dalam refleksi tersebut juga pendidik membandingkan apa yang telah dilakukannya dengan apa yang seharusnya dilakukan berdasarkan teori dan peraturan. Melalui refleksi tersebut pendidik dapat mengidentifikasi kesenjangan-kesenjangan yang terjadi dalam pembelajaran yang dilakukan kemudian merumuskannya dalam kalimat rumusan masalah penelitian.
Yang berkewajiban melakukannya sebenarnya adalah kepala sekolah/madrasah dan pengawas. Namun demikian guru secara mandiri juga dapat melakukan refleksi, atau melakukan kegiatan kolegial reflektif. Sebagai alternative pendidik juga dapat melakukan refleksi melalui sebuah panduan tertulis.  
Artikel ini mencoba menyajikan panduan bagi pendidik untuk mengidentifikasi masalah pembelajaran untuk kepentingan penelitian. Khususnya sebagai landasan untuk merumuskan masalah untuk penelitian tindakan kelas. Panduan ini disajikan sebagai sebuah bimbingan tertulis bagaimana tahap-tahap melakukan refleksi pembelajaran dan arahan menuju perumusan masalah Penelitian Tindakan Kelas.

Refleksi Pembelajaran
Untuk mengawali kegiatan mari kita melakukan refleksi sederhana. Mari kita jawab pertanyaan-pertanyaan berikut.
1.    Apakah Anda merasa ada masalah pada pembelajaran yang Nada laksanakan?
2.    Kalau tidak ada masalah, apakah Anda memiliki program untuk meningkatkannya?
3.    Kalau ya, dalam skala 5 pada angka berapa bobot masalah pembelajaran yang Anda alami?
4.    Sekecil apapun masalah yang Anda alami, apakah Anda sudah tahu apa akar penyebab masalahnya?
5.    Kalau Anda sudah tahu akar penyebab masalahnya apakah Anda sudah mencoba memilih pemecahannya?
6.    Kalau Anda telah memilih pemecahan, apakah sudah melakukannya?
7.    Kalau sudah melakukan, bagaimana hasilnya?
Anda dapat merenung dan berdialog dengan diri sendiri untuk memikirkan dan menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Anda boleh juga berdialog dengan teman, atau menuliskannya menjadi sebuh paparan.
Pertanyan-pertanyaan di atas adalah pertanyaan penting yang harus selalu ada dalam benak seorang pendidik. Dengan pertanyaan tersebut pendidik dipandu untuk lebih sensitif terhadap masalah dan didorong untuk selalu nyelesaikannya melalui cara berpikir logis dan sistematis.
Sering kali kita tidak menyadari adanya masalah dalam pembelajaran. Seolah-olah semuanya berlangsung alamiah. Kalau pun merasa ada masalah, lebih cenderung mengabaikannya. Akhirnya masalah menjadi menumpuk dan tidak terselelsaikan. Itu yang menyebabkan mutu pembelajaran tidak pernah meningkat.
Sebuah survey sederhana telah dilakukan kepada sekelompok pendidik dalam kelas diklat. Kepada mereka ditanyakan tingkat kepuasan terhadap hasil belajar. Hampir semua pendidik menyatakan belum puas dengan hasil belajar yang diperoleh. Salah satu ketidakpuasan adalah hasil belajar yang belum mencapai KKM. Ketika ditanya mengapa banyak pesereta didik yang tidak mencapai KKM, lebih dari setengah pendidik secara spontan mengatakan bahwa masalahanya terletak pada peserta didik. Para pendidik berpendapat bahwa motivasi belajar peserta didik rendah. Ketika ditanya apa penyebab belajar mereka rendah, para pendidik tidak dapat menjawab dengan jelas. Terlebih lagi ketika ditanya bagaimana meningkatkannya. Banyak pendidik yang beranggapan bahwa itu bukan tanggung jawab mereka. Para pendidik cenderung menganggap motivasi adalah bawaan.
Ada sebuah kasus. Saya dan seorang teman mengikuti sebuah tes Bahasa Inggris untuk mendapat kesempatan mendapat bea siswa ke luar negeri. Alhamdulillah saya lulus dalam tes tersebut meskipun skornya tidak terlalu baik, sedangkan teman saya tidak padahal secara umum dia lebih cerdas. Saya bertanya kepadanya mengapa tidak lulus. Dia mengatakan bahwa dia tidak menykai Bahasa Inggris. Saya tanya lagi, mengapa tidak suka Bahasa Inggris. Dia mengatakan bahwa ketika di SMP dia tidak menyukai pendidik Bahasa Iggrinya sehingga Bahasa Inggris tidak menjadi mata pelajaran paforit.
Ada kasus lain. Saya pernah menelaah hasil ulangan dan buku raport seorang anak. Skor hasil ulangan harian mata pelajaran IPA-nya biasa-biasa saja. Ketika ditanya minatnya terhadap mata pelajaran tersebut ia mengatakan IPA itu susah. Hingga akhir semester angka mata pelajaran IPA di rapotnya biasa-biasa saja. Semester berikutnya pun tetap seperti itu. Sekitar dua bulan setelah masuk semester kedua saya melihat sesuatu yang berbeda. Sekarang skor ulangan hariannya lebih bagus. Saya memujinya dan bertanya mengapa skor ulangannnya lebih bagus. Ia mengatakan, pendidiknya baru dan “asyik”.
Saya tidak menelaah lebih lanjut apakah semua peserta didik mengalami hal yang sama ketika pendidiknya diganti sehingga dapat menggeneralisasikan. Namun kasus ini memberi gambaran bahwa ketika pendidiknya menyenangkan maka besar kemungkinan peserta didik tertarik dengan mata pelajarannya dan intensitas belajarnya meningkat.
Banyak lagi kasus yang serupa dengan itu.  Kasus-kasus di atas menegaskan kepada kita bahwa pembelajaran itu kompleks. Hasil belajar ditentukan oleh banyak faktor, namun kunci utama terletak pada pendidik. Rata-rata kontribusi pendidik terhadap pencapaian tujuan pembelajaran sebesar 30%, sisanya tersebar pada factor-faktor lain yang julahnya sangat banyak. Namun demikian kadang pendidik kurang sensitif untuk menyadarinya.
Mari kita kembali lagi pada pertanyaan pertama. Apakah Anda merasa ada masalah pada pembelajaran yang Anda laksanakan? Seharusnya setiap pendidik mengatakan ya dan sekecil apapun masalah yang dirasakan maka menjadi kewajiban pendidik untuk menyelesaikannya. Hanya dengan cara tersebut mutu pembelajaran akan semakin baik.
Apabila kita merasa tidak ada masalah, mungkin kita kurang sensitif untuk mendeteksinya. Kita harus melakukan refleksi dan evaluasi yang lebih dalam. Apabila setelah merefleksi berulang-ulang kita masih merasa tidak ada masalah, mugkin secara individu kita yang bermasalah. Itu sebuah indikasi bahwa kita tidak memahami secara detil pekerjaan yang kita lakukan.

Sumber Masalah dalam Pembelajaran
Masalah dalam pembelajaran sangat banyak jenisnya, mulai dari yang sederhana ke yang kompleks. Dari berbagai masalah yang terjadi lebih banyak masalah yang  tersembunyi. Masalah-masalah yang dimaksud hanya akan terasa apabila kita memiliki sensitifitas yang tinggi untuk mendetaksinya.
Mari kita lihat fenomena berikut 


Mari kita lihat juga fenomena pada foto berikut. 
 
Pada kelompok gambar pertama masalah sangat jelas. Setiap orang yang melihatnya pasti menyimpulkan bahwa hampir semua peserta didik tidak melakukan proses belajar. Pada kelompok gambar kedua kelihatannya pembelajaran sudah sangat baik. Namun demikian dapat ditemukan masalah yang signifikan. Misalnya, setelah dievaluasi, ternyata banyak  peserta didik yang tidak mencapai KKM.
Anda boleh menerka faktor apa yang dapat menyebabkan terjadinya masalah tersebut. Mari kita coba mengidentifikasi factor-faktor penyebabnya dengan cara menuliskannya di selembar kertas.  Jumlah faktor yang dapat Anda identifikasi dapat menunjukkan sensitifitas Anda terhadap masalah pembelajaran. Semakin banyak faktor yang teridentifikasi, semakin tinggi sensitifitas. Apabila Anda kesulitan menyebutkan sumber masalah, mari kita lihat skema sistem pembelajaran di samping. 

Skema tersebut menggambarkan bahwa tujuan pembelajaran (learning goal) adalah konsekuensi atau dampak dari proses pembelajaran. Semakin baik mutu proses pembelajaran maka semakin tinggi peluang untuk tercapainya tujuan pembelajaran. Mutu proses proses pembelajaran sendiri ditentukan oleh tigak komponen utama yaitu potensi siswa (row input), sarana pembelajaran (instrument input) dan iklim pembelajaran (environment input). Tiga komponen tersebut juga terdiri dari sub-sub komponen yang terlibat didalamnya. Semua sub komponen berinteraksi menjadi sub sistem, dan setiap sub sistem berinteraksi mejadi sistem. Interaksi yang terjadi sangat kompleks sehingga tidak dapat dipahami dengan hanya melihat satu sub komponen.

Sebagai contoh mari kita telaah ilustrasi berikut. 

Ada seorang pendidik bercerita tentang pengalamanya. Ia mengajar di dua kelas paralel yang heterogen. Ia telah merancang pembelajaran dengan apik dan melaksanakannya dengan cara yang sama di kedua kelas tersebut. Berdasarkan hasil evaluasi ternyata hasilnya berbeda secara signifikan.
Menurut Anda faktor apa yang menyebabkan hasil belajar di dua kelas tersebut berbeda secara signifikan?
Tentu banyak kemungkinan faktor penyebabnya. Salah satunya adalah karena ia memperlakukan kelas tersebut sama. Ada faktor sisiokultural yang tidak dipertimbangkan dalam merancang dan melaksanakan pembelajaran. Pendidik tersebut menggunakan strategi dan metode yang sama untuk pembelajaran di kelas dengan karakter yang berbeda.
Dalam kasus tersebut terjadi interaksi antara beberapa sub komponen yaitu dari komponen row input misalnya bakat dan minat dengan sub komponen metode dan sub komponen suasana pembelajaran dalam kelas.
Jadi sumber masalah dalam pembelajaran sangat banyak. Setiap sub komponen pada sistem dapat menjadi sumber masalah. Oleh karena itu salah satu cara agar pendidik dapat mengidentifikasi sumber masalah yang menyebabkan sebuah pembelajaran kurang berhasil adalah dengan menelaah pembelajaran dalam kerangka sistem seperti dalam skema di atas.

Mendeteksi Masalah
Masalah itu ada sebelum kita menemukannya. Masalah akan teridentifikasi ketika kita sensitif dan kritis untuk menangkapnya. Sebuah masalah tidak akan terdeteksi apabila melihatnya hanya sekilas. Masalah hanya akan teridentifikasi ketika kita melakukan analisis. Kalau begitu agar setiap pendidik dapat menangkap adanya masalah pembelajaran maka harus memiliki alat bedah masalah. Lalu seperti apa alat tersebut?
Dalam referensi masalah didefinisikan sebagai kesenjangan antara apa yang seharusnya terjadi (das solen), dengan apa yang terjadi (das sein). Definisi tersebut mudah difahami. Lalu bagaimana caranya mendeteksi adanya masalah? Yang paling mudah adalah dengan cara merasakan. Apabila Anda merasa kesal, tidak puas, marah, atau menyesal; disanalah ada masalah.
Namun demikian cara tersebut sangat subjektif. Hanya pendidik-pendidik yang telah memiliki pengetahuan dan pengalaman yang memadai saja yang dapat melakukannya dengan tepat. Itu pun harus dibuktikan dengan fakta-fakta yang lengkap dan valid. Bagi pendidik pada umumnya, memahami adanya masalah memerlukan metode tertentu yaitu metode analitis. Melalui metode ini pendidik mengumpulkan data dengan cara mengamati, menelaah dan mengkaji apa yang terjadi kemudian membandingkannya dengan apa yang seharusnya terjadi. Bisa juga menggabungkan antara metode subjektif adan analitis. Awali dengan merasakan, kemudian langkapi dengan analitis.
Berikut ini contoh yang paling mudah. Ketika Anda selesai melaksanakan pembelajaran satu paket (satu kmpetensi dasar) maka segera melakukan ulangan harian. Hasilnya dianalisis dan bandingkan dengan KKM kompetensi dasar yang telah ditetapkan sebelumnya. Apabila terjadi kesenjangan, misalnya banyak peserta didik yang belum mencapai KKM maka disitu ada masalah. Contoh yang agak kompleks misalnya rata-rata peserta didik tidak menyukai mata pelajaran yang kita ajarkan dan bedampak terhadap hasil belajar.
Kemampuan yang dibutuhkan untuk mendeteksi adanya masalah adalah daya analisis. Dalam taksonomi kognitif Bloom dan Anderson (Churches), daya anlisis didefinikan sebagai kemampuan untuk membandingkan, memilah, membedakan atau mencacah sebuah fenomena sehingga dapat menjelaskan komponen, unsur dan proses yang terlibat didalamnya. Apabila seseorang mengamati sebuh daun maka dapat mengidentifikasi apa saja komponen/bagian yang menyusun sebuah daun, seperti apa bentuknya, berapa ukurannya, apa warnanya, seperti apa proses pertumbuhannya dan sebagainya. Semakin banyak unsur yang teridentifikasi menunjukkan kemampuan seseorang dalam menganalisis.
Dalam taksonomi tersebut digambarkan bahwa seseorang akan memiliki daya analisis apabila dia telah mengetahui, memahami dan memiliki pengalaman menerapkan apa yang dia pahami dalam kehidupan sehari-hari.
Berdasarkan konsep tersebut seorang pendidik akan dapat menganalisis pembelajaran apabila pendidik tersebut sudah tahu banyak tentang pembelajaran, memahaminya sebagai sebuah sistem, dan telah mempraktekkannya sesuai dengan apa yang telah dipahaminya. Yang harus banyak diketahui dan dipahami seorang pendidik adalah teori, prinsip, hukum, aturan, atau standar pembelajaran.  
Unsur lain yang dibutuhkan agar memiliki kemampuan analisis adalah kepekaan batin (sensitivity), rasa ingin tahu (curiosity) dan kemampuan berpikir krtitis (critical thinking).  Jadi pengetahuan, pemahaman, pengalaman, kepekan batin, rasa ingin tahu dan kemampuan berpikir kritis akan menciptakan pisau analisis yang dapat membedah masalah. Semakin tinggi tarap pengetahuan, pemahaman, pengalaman, kepekaan batin, rasa ingin tahu dan kemampuan berpikir kritis maka semakin tajam pisau analisis. Semakin tajam pisau analisis maka semakin banyak masalah yang dapat terdeteksi.

Menggunakan Pisau Analisis
Setajam apa pisau analisis yang Anda miliki, Anda boleh mengujinya. Mari kita menggunakan pisau analisis kita untuk membedah sebuah pembelajaran dengan melakukan kegiatan berikut.
Buatlah sebuah proyek analisis pembelajaran dimulai dengan merancang, melaksanakan dan mengevaluasi. Rancanglah satu unit pembelajaran (mungkin satu kompetensi dasar) dengan teliti. Pada skema analisis pembelajaran dapat dilihat komponen-komponen yang harus dirumuskan. Anda harus menganalisis potensi seluruh komponen ketika merancangnya. Semakin baik analisis Anda terhadap potensi setiap komponen, akan semakin baik rancanagn pembelajaran yang Anda susun. Kemudian rumuskan setiap komponen secara detil dan jelas. Semakin detil rancangan yang Anda susun, semakin mudah melaksanakan dan mengevaluasinya.
Melalu rancangan pembelajaran yang dirumuskan, Anda harus dapat menggambarkan dengan jelas target-target yang diharapkan pada setiap komponen. Dari mulai target hasil belajar (baik kognitif, afekrif, maupun psikomotor), apa yang akan dilakukan peserta didik, suasani hati peserta didik, apa yang akan Anda lakukan dan seterusnya.
Kalau Anda sudah yakin dengan rancangan yang Anda susun, laksanakanlah tepat pada waktunyadan lakukan sebuah analisis untuk mendeteksi apakah terjadi kesenjanga antara harapan dengan pelaksanaan. Caranya dengan membandingkan apa yang tertuang dalam rancangan dengan apa yang terjadi dalam pelaksanaan. Amati dan rasakan apakah target-target yang diharapkan pada setiap komponen dapat dilaksanakan? Anda boleh meminta bantuan kepada kolega (teman sejawat) untuk ikut menganalisis.

Mungkin Anda akan menemukan banyak hal. Misalnya, ternyata strategi yang telah ditetapkan tidak dapat dilaksanakan dengan lancar, peserta didik kelihatan tidak tertarik dengan media yang digunakan, kegiatan pembelajaran membutuhkan waktu terlalu lama, peserta didik cenderung pasif, dan sejenisnya.
Proses analisis belum tuntas. Ketika pembelajaran satu paket selesai segeralah ukur hasilnya, olah datanya dan buat kesimpulan. Bandingkan hasil evaluasi dengan target yang telah ditetapkan dalam perencanaan. Apabila target hasil tercapai maka meskipun banyak temuan dalam proses pelasksanaan namun pembelajaran dapat dikalatak suskses. Namun sebaliknya apabila target pembelajaran tidak tercapai maka hasil analisis terhadap proses pelaksanakan merupakan data yang harus ditindaklanjuti.
Pada umumnya proses menentukan hasil. Prosesnya tidak bermasalah maka hasilnya cenderung baik. Bisa juga  terjadi ketika proses tidak bermasalah namun hasilnya kurang baik. Itu tergantung dari banyak faktor yang kadang sulit diamati.
Cobalah untuk mencatat atau memaparkan temuan-temuan dalam bentuk jurnal. Proses memaparkan dalam bentuk tulisan sangat penting karena dpat mempertajam hasil analisis. Rumusan-rumusan yang Anda tuliskan itulah yang dimaksud dengan masalah dalam pembelajaran. Semakin banyak poin-poin yang Anda rumusan maka semakin banyak masalah yang teridentifikasi dan itu merupakan indikasi semakin baik daya ianalisis Anda.
Berikut ini beberapa masalah yang mungkin ditemukan.
1.    Berdasatkan hasil wawancara dengan peserta didik, banyak yang tidak menyukai mata pelajaran.
2.    Berdasarkan pengamatan teman sejawat, banyak peserta didik yang ngobrol ketika pembelajaran berlangsung.
3.    Berdasarkan angket yang disebar, penjelasan pendidik sulit dipahami karena terlalu cepat.
4.    Berdasarkan hasil evaluasi, peserta didik belum memiliki kemampuan analisis yang memadai untuk mengerjakan soal-soal cerita.
5.    Berdasarkan wawancara dengan peserta didik, mereka kesulitan mengerjakan lembar kegiatan.
6.    Berdasarkan pengamatan teman sejawat, pendidik kurang ramah sehingga kuranag disenangi.
7.    Berdasarkan pengamatan, kegiatan pembelajaran terlalu banyak sehingga waktu yang tersedia tidak cukup untuk menyelesaikannya.

Penutup
Apabila kita sudah dapat mendeteksi adanya masalah dalam pembelajaran, maka selanjutnya adalah menyelesaikannya. Lalu bagaimana cara menyelesaikan masalah pembelajaran? Untuk menjawabnya Anda mungkin perlu melakukan survey sederhana melalui pengamatan, wawanacara, kaji dokumen, menyebar angket, fokus grup dan sejenisnya.  Atau apabila masalahnya kompleks Anda dapat melakukan studi kasus dan atau jenis penelitian lain. Yang lebih kompleks lagi mungkin Anda melakukan penelitian kerelasional atau experimental. Melalui penelitian-penelitian tersebut Anda dapat mendeskripsikan fenomena-fenomena yang terjadi dan menemukan solusinya.
Hanya saja ketika seorang pendidik melakukan penelitian jenis tersebut sering kali berhenti pada penjelasan sebagai sebuah teori dan tidak berdampak terhadap peningkatan mutu pembelajaran. Yang dibutuhkan adalah sebuah penelitian yang memberikan solusi atas masalah yang dihadapi kemudian hasilnya dapat dilihat secara langsung. Ketika pendidik menemukan masalah rendahnya hasil belajar, atau masalah mengenai proses pembelajaran maka pendidik tersebut harus merencanakan sebuah penelitian tindakan untuk memperbaikinya.
Melalui penelitian ini pendidik mencoba mendeteksi adanya masalah dalam sebuah kelas, merumuskannya dengan jelas, mencari tahu penebabnya, menentukan alternative-alternatif solusi, menetapkan salah satu alternatif solusi,  menguji coba solusi secara beruang-ulang.
Penelitian seperti itu disebut penelitian tindakan kelas atau lebih terkenal dengan PTK. Yaitu sebuah penelitian yang bertujuan memperbaiki atau meningkatkan mutu melalui tidakan yang dilakukan secara sistimatis, logis dan empiris. Penelitian ini berbeda dengan penelitian lain. Pada umumnya penelitian seperti korelasional, eksperimen studi kasus dan lainnya bersifat deskriptif. Artinya hanya berhenti pada penjelasan mengenai fenomena masalah.  Sedangkan penelitian tindakan tidak berhenti pada penjelasan melainkan focus pada bagaimana memperbaiki sesuatu. Penelitian tindakan kelas artinya sebuah penelitian yang dilakukan dalam bentuk tindakan untuk memperbaiki pembelajaran yang terjadi di kelas sehingga terjadi perubahan.

DAFTAR PUSTAKA

Churches, A. (n.d.). Teachlearning. Retrieved April 23, 2015, from Bloom's Digital Taxonomy: http://edtech4schools.pbworks.com/w/page/24160285/Bloom%27s%20Digital%20Taxonomy
 Mark R. Young, Eve Rapp, James W. Murphy. "Aabri.Com." Aabri Manuscript. Maret 11, 2015. http://www.aabri.com/manuscripts/09377.pdf.
Master, J. "The History of Action Research." Hughes Action Research Electronic Reader, 1995: 3.
Pine, Gerald G. Teacher Action Reserasch. California: Sage Publication, 2009.
Ralph Hewitt, Mary Little. Leading Action Research in School. Florida: University of Central Florida, 2005.


Ipsum

Delete this widget in your dashboard. This is just an example.

Dolor

Delete this widget in your dashboard. This is just an example.