Saya pernah mondok dua tahun ketika duduk di bagku SMP. Ketika saya meninggalkan pondok, rasanya tak ada yang sangat berharga saya peroleh selama dua tahun tersebut. Tapi menjelang tengah baya saya menyadari sesuatu. Sebenarnya saya diajari keikhlasan dan penyedaran diri secara total kepada Sang Pencipta. Hanya saja ketika itu saya masih bau kencur maka saya tidak dapat menangkap sinyal-sinyal itu. Ndabkek!!!
Ketika saya menjelang setengah baya saya merasa gundah, marah dan ketakutan. Usiaku sudah setengah baya namun belum punya apa-apa. Saya telah lama bekerja tapi tidak punya jabatan apa-apa. Anak saya sudah dua, akankah saya dapat membekali mereka untuk menjadi menjadi orang sukses? Teman-teman sebaya sudah mencapai kesuksesan tertetnu kok saya begini-begini saja.Banyak lagi kegundahan-kegundahan dan ketakutan lain sejenisnya.
Kegundahan dan ketakutan seperti itu membuat saya cepat marah dan kesal dan pda akhirnya menyudutkan saya menjadi seorang penuntut, pemberontak dan oportunis. Yang ada di benak saya adalah sebuah obsessi untuk meraih sesuatu. Kadang saya berpikir: tidak adil, saya tidak mendapatkan sesuatu yang saya inginkan padahal kerjaku lebih banyak dari yang mereka lakukan. Kadang saya teriak: Tuhan, berikan yang saya inginkan!!! Tapi Tuhan tidak pernah menjawabnya.
Ternyata Tuhan menjawab dengan cara yang lain. Saya diberi kerinduan untuk datang kembali ke pondok yang saya tinggali 30 tahun lalu untuk menemukan sebuah mutiara yang selama ini tidak saya sadari keberadaannya.
Foto Kiyayi yang terpampang di ruang tamu mengingatkan saya kepada sosoknya yang sederhana, ikhlash namun tegas. Seperti dalam sebuah film, pikiran saya mengalami flash back ke era 30 tahun yang lalu.
Pekerjaan Kiyayi setiap hari berpindah dari ruang pengajian satu keruang pengajian lain. Pekerjaan sampingannya hanya menagkarkan ikan yang sesekali dijualnya dan lebih banyak dipelihara untuk makan para tamu. Yang mengherankan, beliau tidak pernah mengeluh mengenai keuangan. Anak-anaknya mendapat pendidikan yang layak, rumahnya tidak cumpang-camping. Satu lagi, meskipun banyak orang yang tinggal di rumnya dan setiap hari banyak tamu yang bertandang, Kiyayi tidak pernah kekurangan makanan.
Saya masih ingat suatu saat Kiyayi sudah kebelet untuk menunaikan ibadah haji, tiba-tiba saja ada SUTET lewat di atas area rumah dan tanahnya dan beliau mendapatkan ganti rugi yang cukup untuk ongkos naik haji. Ketika Kiyayi mengatakan "sudah membutuhkan kendaraan tertutup untuk pergi ke pengajian"; tiba-tiba datang orang tua santri menawarkan "Mau pilih mobil yang mana Yai?"; tanpa diminta.
Pertanyaannya, mengapa bisa seperti itu?
Lama saya merenung dan di akhir renungan sampai kepada kesadaran spiritual bahwa yang kita peroleh adalah yang kita berikan.
Ya, yang kita peroleh adalah yang kita berikan.Seperti halnya menanam sebatang pohon mangga maka yang akan diperoleh adalah buah mangga. Semakin baik pemeliharaannya maka kemungkinan akan semakin banyak mangga yang dipanen. Kiyayi telah memberikan apa yang Beliau punya kepada orang lain dengan ikhlash, maka beliau layak memperoleh apa yang Beliau inginkan.
Mutiara yang baru kusadari itu adalah kepasrahan total kepada Sang Penguasa Rezeki. Berikan saja apa yang kita bisa. Biarkan saja Tuhan membuat keputusan. Karena apa yang kita harapkan belum tentu sama dengan apa yang Ia kehendaki.
Jawaban itu telah berhasil meredam gundah, kemarahan dan ketakutan. Dalam sujudku aku pasrah. Mau Kau apakan aku, adalah urusan-Mu. Kewajiban saya hanyalah memberi apa yang saya bisa. Jadi kalau hari ini saya belum memperoleh apa yang saya inginkan berarti saya belum cukup memberikan apa yang saya bisa.