Feature Top (Full Width)

NASIONALISME YANG LUNTUR

Senin, 01 Desember 2014


Oleh: Asip Suryadi
   Hari ini tanggal 17 Agustus 2013, Hari Kemerdekaan RI ke 68. Kemarin saya dibentak seorang teman ketika saya mengatakan “Saya tidak bisa ikut upacara bendera”, karena harus mengerjakan sesuatu yang lebih penting dari sekedar upacara. Dia bilang “Dimana nasionalisme kamu?”
   Peristiwa itu membuat saya  bertanya dalam hati. Apa ukuran seorang warganegara yang memiliki rasa nasionalisme? Apakah nasionalisme cukup dinyatakan dalam bentuk menghormati bendera dan menyanyikan lagu Indonesia Raya dalam upacara? Siapa yang lebih nasionalis antara  seorang PNS yang rajin mengikuti upacara bendera tapi tidak jelas apa yang dikerjakan setiap hari dengan tukang sapu pegawai Pemda yang setiap jam lima pagi sudah stand by di jalanan membersihkan sampah bekas orang-orang lalu lalang seharian?
   Mungkin benar isi bentakan teman saya itu, nasionalisme saya telah luntur.  Materialisme, pragmatisme, globalalisme; dan juga isme-isme lain;  telah memporakporandakan sendi-sendi ke-Indonesiaan hingga tataran praktis.  Secara historis kolonialisme masa lalu telah membangkitkan ke-Indonesiaan namun kemudian isme-isme tersebut telah mengurainya kembali mejadi serpihan-serpihan sehingga secara psikis sulit disatukan. Secara de facto dan de jure Indonesia masih massif namun spirit Indonesia semakin melemah. Kata “Indonesia” hanya  diteriakan dalam yel-yel di tribun penonton ketika saya menonton tim olah raga nasional bertanding melawan tim negara lain, atau dalam kampanye partai politik menjelang Pemilu atau Pemilu Kada. Itu semua hanya ekspresi dari naluri ingin menang, bukan untuk “Indonesia”.
    Pragmatisme telah menjangkit otak saya hingga lupa terhadap jati diri.  Beberapa praktek kontra nasionalis dalam kehidupan sehari-hari akibat serangan pragmatisme misalnya perilaku sehari-hari seperti membuang sampah sembarangan, datang ke kantor kesiangan, berlalu lintas seenaknya, perilaku selalu menuntut dari pada memberi dan sejenisnya. Itu adalah bukti perilaku tidak menghargai ne-geri ini sebagai hasil jerih payah para pejuang dan founding father. Seharusnya warga negara sadar bahwa negeri ini adalah miliki semua, yang dilahirkan melalui pertumpahan darah para pejuang. Ini adalah “Ibu Pertiwi”, tidak beradab apabila anaknya berperilaku buruk. Oleh karena itu tidak boleh berperilaku sekarep  dewek (semau gue).
    Materialisme dan hedonisme telah  menjangkit jiwa saya dan jiwa bangsa ini menjadi bangsa yang serakah dan keji. Perilaku korup adalah salah satu bentuk keserakahan dan kekejian yang sangat nyata dan berbahaya. Seorang koruptor dengan tega-nya menggasak apa yang mungkin digenggam untuk kepenting-an diri dan kelompoknya. Naluri keserakahan telah mengalahkan hati nurani, akal sehat, intelektual dan kesadaran kebersamaan berbangsa dan bernegara untuk kepentingan diri dan kelompok. Bersembunyi di balik kekuasaan dengan mengatakan “Ini untuk kepentingan dan keselmatan negara”, padahal untuk melengkapi koleksi rumah mewah, mobil mewah, dan istri-istri mewah.
   Globalisasi telah menggerogoti spirit Indonesia, merangsek se-perti rayap mengunyah kayu. Wujud kayunya tetap utuh  namun dalamnya telah berubah menjadi udara dan tanah. Beberapa ukuran keporakporandaan sendi nasionalisme akibat globalisasi misal-nya, warga negara lebih bangga membeli produk bermerk luar negeri dari pada produk dalam negeri, lebih bangga menggunakan istilah-istilah asing dalam berbahasa padahal padanannya ada dalam Bahasa Indonesia, malu mengatakan “I’m Indonesian” ketika berada di luar negeri, penguasaan pengolahan sumber daya alam tidak lagi oleh perusahaan nasional, lebih baik menggunakan tenaga ahli dari luar ne-geri dari pada mendidik tenaga ahli lulusan sekolah dalam negeri, dan sejenisnya. Bangsa ini hanya marah dan berteriak ketika miliknya mau direbut bangsa lain tapi tidak mau memelihara dan mengembangkannya sehingga menjadi hak milik seutuhnya. Ibu pertiwi telah tergadai, entah berapa puluh tahun kedepan akan bisa membayarnya dan menjadi miliki kembali secara utuh. 

   Beberapa bulan lalu bangsa ini heboh karena tidak bisa goyang lidah di atas ritme kelezatan tempe gara-gara harga kedelai melambung. Katanya negeri ini negeri agraris tapi kedelai harus impor dan sang importir memainkan harga kedelai untuk menujukkan kekuasaannya. Produksi kedelai nasional hanya memenuhi 40% kebutuhan dan para kong-lomerat lebih senang berdagang barang kedelai impor dari pada mendukung para petani nasional untuk bertani kedelai berteknologi sehingga  hasilnya meningkat lalu menjual hasilnya secara beradab. Itu terjadi bukan hanya pada kedelai tapi juga pada beras, gula dan garam yang merupakan makanan dasar. Belum lagi pada produk susu dan daging.  Negeri ini tidak memiliki kedaulatan dalam bidang ekonomi, masih tetap terjajah seperti ratusan tahun yang lalu. Demikian juga dalam bidang politik, keuang-an, pendidikan, budaya dan pertahanan.
   Semua itu adalah bukti rendahnya nasionalisme. Ya, saya mengakui ada di dalamnya. Lalu bagaimana keluar dari kondisi ini? Tentu bukan pekerjaan sederhana dan instan. Harus mulai dari political will dari semua komponen bangsa.
Ada sebuah gambaran dari cerita sejarah. Tahun 1958 Bung Karno ingin membuat patung “Selamat Datang” sebagai lambang semangat kebangsaan untuk menyongsong siapa saja yang datang ke kota Jakarta. Beliau menyuruh seorang seniman untuk membangun patung setinggi 9 meter. Perintah Bung Karno ini sempat membuat sang seniman terkejut karena merasa tidak mampu untuk membuat patung sebesar itu dari perunggu.
   Apa jawaban Bung Karno. ”Kamu punya rasa bangga berbangsa dan bernegara atau tidak? Coba kamu pikir, apa saya perlu menyuruh seniman asing untuk membuat monumen di dalam negeri? Sontak, jawaban itu membuat sang seniman tersadar. Sang seniman pun mulai mencari buku belajar mengecor logam perunggu. Lima tahun kemudian patung itu selesai dengan ketinggian 6 meter setelah mendapat persetujuan Bung Karno. Sampai hari ini patung tersebut menjadi salah satu maskot Jakarta.
    Spirit nasionalisme yang ditularkan Bung Karno tersebut menggambarkan apa yang harus kita lakukan hari ini.
   Tokoh Soekarno adalah pimpinan berwibawa yang tidak sekedar memerintah namun memberi inspirasi, dan tokoh seniman menggambarkan warga negara yang memiliki spirit nasionalisme dalam bentuk konkrit yaitu itikad baik, kreatif, mandiri, tekun dan tak pantang me-nyerah. Itu adalah bentuk nasionalisme yang mudah dipahami, diamalkan dan dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari. Nasionalisme yang berwujud sederhana untuk menunjukkan bahwa bangsa Indonesia memiliki peradab-an yang unggul.
   Tanpa kedua komponen itu Indonesia yang utuh dan beradab akan susah ditegakkan.
   Jadi bentuk nasionalisme yang dibutuhkan di zaman ini bukan sekedar nasionalisme simbolik dalam bentuk meneriakkan kata “Indonesia” di depan umum, mengikut upacara bendera, menyanyikan lagu kebangasaan, hafal nama-nama pahlawan, dan sejenisnya; melainkan akhlak sehari-hari yang menggambarkan kesadaran memiliki negara dimulai membuang sampah di tempatnya sampai menghindari korupsi, kemudian bekerja keras tanpa kenal lelah pada bidang garapan masing-masing.
  Jangan sampai seperti teman saya yang menuduh saya “Tidak punya nasionlisme“. Ketika upacara dimulai saya belum melihat batang hidungnya. Ia baru masuk kedalam barisan ketika lagu Indonesia Raya dimulai. Ketika upacara selesai ia tergesa menandatangani daftar hadir dan menagih uang transport. Setelah itu ia menghilang.

0 comments:

Posting Komentar

Ipsum

Delete this widget in your dashboard. This is just an example.

Dolor

Delete this widget in your dashboard. This is just an example.