Oleh: Asip Suryadi
Hari ini saya menghabiskan waktu dua jam setengah untuk dapat sampai di kantor. Tepatnya 137 menit. Padahal jarak dari rumah ke kantor hanya 20 Km dan lewat jalan tol pula. Ini berarti kecepatan bergerak saya sama dengan 14.6 m per menit. Kecepatan seperti itu lebih lambat dari pada berjalan kaki biasa.
Banyak kerugian yang diakibatkan oleh fenomena ini. Yang kentara adalah bahan bakar. Mobil saya bersilinder 1500 cc. Karena mobil tua yang sudah tidak efektif lagi maka setelah dibaca di jarum indikator bahan bakar menghabiskan bensin sebanyak 7 liter. Artinya saya telah menghabiskan uang sebesar Rp. 31.500,- ditambah dengan tarif tol sebesar Rp. 7.500,- menjadi 39 000,-. Belum lagi harus melewati tiga orang Pa Ogah di persimpangan yang masing-masing harus merogoh receh Rp. 500,- . Jadi total jenral pagi ini saya menghabiskan uang transport sebanyak RP. 40.500,-. Kalau nanti sore terulang maka isi dompetku berkurang sebanyak RP. 81.000,-.
Saya tidak sendirian. Ratusan (atau mungkin ribuan) orang yang mengalami nasib yang sama seperti saya pagi ini. Jadi berapa kubik bensin yang dihabiskan oleh mesin yang dihidupkan namun berjalan sangat lambat dalam kurun waktu dua setengah jam setengah.
Kemubadziran yang luar biasa. Ya, kemubadziran yang luar biasa. Dalam Islam kemubadziran adalah amalan syaiton.
Penyebab utama dari kemacetan pagi ini adalah pintu tol. Buntut dari kemacetan menyebar kemana-mana hingga berkilo-kilo. Bahkan ada yang sampai ke depan pintu garasi sehingga mobil mau keluar saja susah. Jadi sebenarnya kemacetan tersebut adalah dari sebuah sistem yang direncanakan. Yaitu sistem transportasi jalan tol yang didesain untuk kelancaran transportasi.
Tentu yang mendesain adalah para insinyur yang berpengalaman. Bahkan kalau menurut berita di koran dan televisi, yang terlibat dalam pembangunan tol tersebut adalah konsorsium yang melibatkan perusahaan multi nasional. Lalu apanya yang salah? Desain sistemnya? Atau cara memakainya? Apakah tidak ada sistem lain yang secara teknologi memungkinkan untuk lebih baik?
Saya marah. Berkali-kali saya memukulkan kepalan tangan ke stir mobil hingga bergetar. Mungkin orang lain juga mengalami hal yang sama. Kalau itu terjadi berarti di jalan sekitar itu terdapat ratusan (bahkan ribuan) orang yang marah. Bayangkan apa yang akan terjadi di ruangan kerja masing-masing (bagi para karyawan), di kelas-kelas (bagi guru, dosen, widyasiwara, para siswa dan mahasiswa), dan di rumah-rumah setelah mereka tiba dari kemacetan tersebut. Suasana marah pasti terbawa ke ruang-ruang kerja, ke kelas-kelas, dan ke rumah-rumah. Suasana marah tersebut akan menular ke sekitar ruangan dan dapat memicu orang lain di ruangan itu marah dengan intensitas yang lebih tinggi. Bisa saja terjadi hal-hal yang tidak seharusnya terjadi karena kemarahan bagai api yang dapat melahap apa saja benda yang ada di sekitarnya.
Saya sendiri untuk beberapa saat hanya bersandar di kursi merasakan pegal dan lelah. Saya hanya berusaha diam saja untuk meredam kemarahan agar tidak menular kepada orang lain. Baru satu jam kemudian dapat memulai pekerjaan dengan suasana psikologis yang kondusif. Ini berarti saya sudah kehilangan tiga jam kerja. Dua jam karena telat dan satu jam untuk meredakan kemarahan. Karena telat dua jam mungkin saya tidak akan terdaftar untuk memperoleh uang makan hari ini. Disamping itu target pekerjaan saya tidak tercapai sehingga harus mengerjakannya di hari berikutnya. Mungkin banyak juga siswa yang tidak dapat mengikuti pelajaran karena kena hukuman terlambat. Mungkin banyak juga karyawan yang kena teguran pimpinannya, dan banyak mahasiswa yang terlambat untuk lulus karena dosen yang mau mengujinya terlambat. Bahkan mungkin saja ada pasien yang meningal gara-gara dokter yang akan mengobatinya terlambat.
Semua itu salah satunya dipicu oleh kebijakan yang salah. Dalam kasus macet di pintu tol kesalahan bisa terjadi karena kesalahan kebijakan menerapkan teknologi. Bisa juga terjadi karena kelambatan pelayanan penjaga pintu tol. Juga yang pasti akibat kesalahan kebijakan tentang sistem transportasi yang menyebabkan alat transportasi terlalu banyak. Dan yang paling kentara adalah kesalahan kebijakan penerapan aturan lalu lintas yang menyebabkan warga tidak disiplin dalam berlalu lintas.
0 comments:
Posting Komentar