Feature Top (Full Width)

PHILANTHROPY

Selasa, 03 Februari 2015



Oleh Asip Suryadi



        Suatu sore di awal musim gugur sepuluh tahun yang lalu saya menumpang sebuah trem menuju kota. Saya masih ingat benar, itu hari Rabu yang sangat panas. Angin yang  kering mulai kencang menerpa muka menimbulkan mata perih meski sudah dilindungi dengan kaca mata cengdem. Body lotiontidak mempan mencegah kulit untuk tidak meranggas dan bersisik. Juga lips gloss (murahan itu), pun tak mampu menjaga bibir orang tropis yang terbiasa dengan angin yang lembab dan hangat agar tidak keriting dan pecah-pecah. Kondisi seperti itu menyebabkan sebagian penumpang yang agak sesak menjadi murung.  Sebagian mencoba mengusir kebosanan dengan untuk tidur  atau membaca. Tapi upaya itu tidak membantu. Akhirnya banyak yang menyerah, semua penumpang membisu. Hanya aura kegelisahan yang hadir di kedua gerbong trem rute 76 itu. Saya yang baru saja dicecar pertanyaan oleh teman-taman dan profesor dalam presentasi kelas hari ini mengalami hal yang sama. Kalau ngaca mungkin wajah saya kelihatan keriput dan kusam.
    Tidak biasanya, di sebuah shelter masinis trem (atau apa namanya) diganti. Kebetulan saya duduk di gerbong kedua, jadi tidak dapat melihat secara detil sosok seperti apa masinis pengganti nya.  Hanya saja ada yang tidak biasa pada masinis tersebut.  Tiba-tiba saja keluar suara siulan di pengeras suara yang biasanya berbunyi  sesekali untuk memberitahukan nama shelter yang akan dilalui agar penumpang tidak kebablasan. Lama-lama yang terdengar bukan hanya siulan, tapi nyanyian. Suaranya tidak bagus, namun terdengar lucu. Kelucuannya itu yang menggelitik telinga, menjalar ke  wilayah bawah sadar setiap orang. Para penumpang mulai tersenyum-senyum sendiri, lalu mengomentari dan mulai bercakap-cakap dengan penumpang di sebelahnya.
    Ajaib. Suasana menjadi  berubah. Wajah-wajah murung menghilang seketika, berganti dengan wajah ceria. Sadar atau tidak banyak penumpang yang terhipnotis dengan siulan dan nyanyian tersebut.
   Yang menjadi pertanyaan bagi saya, ilmu apa yang dia miliki hingga bisa menghipnotos orang-orang di sekitar menjadi ceria? Atau apakah hanya kebetulan saja dia senang menyanyi . Tapi kalau hanya sekedar senang menyanyi mengapa menayangkannya melalui pengeras suara?
   Terlepas dari apakah dia memiliki dasar ilmiah tertentu untuk melakukannya atau hanya sekedar senang saja, ada sebuah ada makna yang dapat dipetik. Masinis tersebut sudah membagikan rasa senang kepada para penumpang. Saya mengira dia memiliki rasa peduli kepada penumpang. Atau bahkan sebagai seorang masinis yang sehari-harinya bergelut dengan penumpnag, ia memiliki rasa cinta kepada para penumpangnya.  Dalam bahasa romantic yang duganakan sehari-hari, rasa cinta itu dinyatakan dengan member dan dia telah memberika kesenangan kepada para penumpang.
   Dalam dunia popular masa kini muncul istilah "philanthropy”. Istilah tersebut berasal dari bahasa Yunani, philos yang artinya cinta, peduli, perhatian;  dan anthropos yang artinya human being atau kemanusiaan. Jadi philanthropy kira-kira artinya mencintai atau peduli terhadap kemanusiaan.
   Istilah ini telah lama digunakan namun mulai popular lagi awal abad 21 terutama di Amerika terkait dengan donor, bantuan, beasiswa dan bentuk kepedulian lainnya baik yang dilakukan oleh perseorangan, lembaga pemerintah, perusahaan maupun yayasan. Secara individual yang dianggap penggagas kegiatan bersifat philanthropis dilakukan oleh para tokoh terkenal seperti Bill Gates si raja computer dan si raja investor Warren Buffet, mantan Presiden Jimmy Carter dan, Al Gore dan lainnya. Di Indonesia sendiri istilah ini mulai marak digunakan. Banyak yayasan dan individu yang melakukannya seperti misalnya Habibi Center yang memberi beasiswa, dan yayasan lain sejenis. Yang lebih menarik lagi apa yang dilakukan oleh Ibu Kembar Sri Rosiyanti dan Sri Irianingsih pendiri Sekolah Darurat Kartini. Mereka peduli dengan anak jalanan dan menampungnya di sebuah sekolah seadanya. Di lingkungan perusahaan akhir-akhir ini dikenal dengan istilah CSR (corporate social responsibility). Setiap perusahaan memiliki kewajiban untuk memiliki rasa peduli terhadap lingkungan sekitar. Telkom misalnya, memiliki program I-Chat (I can hear and tolk), sebuah aplikasi portal yang membantu masyarakat khususnya guru Sekolah Luar Biasa.
     Kesenangan memberi adalah sebuah nilai universal. Semua agama mengajarkannya dan semua bangsa mewariskannya. Pribahasa yang sering diungkapkan di negeri ini diantaranya: tangan di atas lebih baik dari tangan di bawah. Sangat ringan untuk diucapkan namun kadang sulit dilakukan. Bahkan ketika kita melakukannya, keikhlasan belum menyertainya. Ini hanya dapat dipraktekkan ketika kita memiliki keyakinan bahwa kita tidak akan jatuh miskin ketika kita memberi. Nyatanya dalam catatan sejarah tidak ada orang kaya yang jatuh miskin karena memberi.
     Apakah hanya the have dan korporasi saja yang dapat melakukan philanthropy? Tentu saja tidak. Si masinis adalah seorang phylanthropis. Ketika kita ditatap oleh seorang bayi dan tersenyum kepadanya dengan ikhlas maka itu juga termasuk phylanthropy. Mencintai manusia bukan hanya melalui pemberian harta namun bisa juga dengan sikap. Inti dari phylanthropyadalah peduli dan dinyatakan dengan memberi. Apakah memberi perhatian, member pertolongan, memberikan motivasi, memberi barang, uang dan sebagainya. Malah Rasulullah saw menyarankan, berikanlah apa yang paing kamu sukai. Saya memberi apresiasi dengan huruf A+ kepada sang masinis untuk kepeduliannya kepada para penumpang trem yang dia kemudikan. Ia seorang philanthrop sejati.
Lalu apakah kita juga seorang philanthrop? Mungkin harus mengukurnya dengan parameter  frekuensi memberi dalam minggu terakhir ini.

0 comments:

Posting Komentar

Ipsum

Delete this widget in your dashboard. This is just an example.

Dolor

Delete this widget in your dashboard. This is just an example.