Oleh Asip Suryadi
Assalamualaikum wr. Wb.
Pada tadarus pedagogi topik 3 kita telah mendiskusikan proses pembentukan pengetahuan berdasarkan teori kognitivisme Piaget. Topik kita masih mengenai teori kognitivisme. Kali ini kita diskusi mengenai “Prinsip aktivitas”.
Seperti telah disampaikan pada topik 2, bahwa salah satu prinsip pembelajaran pada teori kognitivisme adalah prinsip aktivitas. Artinya, informasi bermakna untuk diolah oleh otak melalui proses asimilasi atau akomodasi dapat diperoleh melalui berbagai aktivitas belajar. Semakin banyak dan semakin baik kegiatan belajar yang dilakukan siswa maka semakin banyak dan bermutu informasi yang diperoleh dan semakin mudah otak mencernanya. Itu karena otak memperoleh fakta yang banyak untuk menciptakan simpulan.
Salah satu teori pendukung yang dapat digunakan untuk mendekati prinsip tersebut adalah teori mengenai pengalaman belajar yang sudah diteliti oleh Edgar Dale sejak tahun 1969. Edgar Dale menyebutnya “Cone of learning”. Teori tersebut dimodifikasi oleh para ilmuwan berikutnya. Salah satunya dilakukan oleh Wyatt dan Looper tahun 1999. Mari kita lihat kerucut pengalaman.
Kerucut di atas menjelaskan hubungan antara jenis kegiatan dengan informasi yang dapat diolah dan disimpulkan. Melalui kegiatan membaca, otak hanya dapat mengolah informasi sebanyak 10%. Bisa dikatakan bahwa apabila seorang peserta didik belajar melalui kegiatan membaca maka kemungkinan hasilnya hanya 10% saja. Berbeda lagi apabila seorang peserta didik mempelajari sesuatu melalui kegiatan lain seperti melihat diagram, melihat video, melihat demonstrasi, maka informasi yang mungkin diperoleh mencapai 30%. Lebih tinggi lagi ketika seorang peserta didik malakukan kegiatan belajar sampai bermain peran, melakukan simulasi, dan mengerjakan hal yang nyata. Melalui kegiatan tersebut informasi yang mungkin diperoleh sampai 90%.
Wyatt dan Looper membagi jenis-jenis kegiatan tersebut kedalam 4 kelompok yaitu verbal, visual, terlibat dan berbuat. Menurut hasil penelitian mereka, belajar melalui kegiatan berbuat adalah kegiatan terbaik. Teori ini sejalan dengan filosofi yang diungkapkan oleh konfusius 2600 tahun yang lalu. Confusius mengungkapkan kalimat berikut:
ni ching ni wanchi,
ni khan ni shiang,
ni kunco ni cheto.
Artinya:
Anda dengar-Anda lupa,
Anda lihat-Anda ingat,
Anda lakukan-Anda paham.
Jadi apabila kita ingin peserta didik sampai paham maka pembelajarannya harus sampai melakukan. Apalagi ketika hasil belajarnya berbentuk keterampilan, maka mutlak belajarnya harus berbentuk latihan.
Mari kita lihat sebuah kasus. Minggu kemarin anak perempuan saya (kelas V) MI membawa PR matematika mengenai prisma. Ada beberapa soal mengenai prisma yang harus diselesaikan. Diantaranya luas alas, luas selimut dan volume prisma dengan berbagai bentuk. Anak saya sulit sekali mengerjakan soal-soal tersebut sehingga harus melanjutkan membuat PR pagi hari. Saya penasaran bertanya kepada dia: Bagaimana guru mengajar materi tersebut? Dia bilang: Gurunya memberi rumus, memberi contoh soal, memberi latihan, dan memberi PR. Saya Tanya lanjut: Apakah menggunakan alat ketika mengajar? Anak saya bilang: Tidak. Dalam hati saya “Pantas hasilnya seperti ini”. Jangankan menghitung volume prisma, mengitung luas persegi saja dia tidak yakin.
Anak saya memang tidak terlalu cerdas dalam bidang matematika. Dalam rapotnya, nilai yang bagus adalah nilai-nilai mata pelajaran agama dan Bahasa Arab. Ia memang selalu kesuitan dalam materi yang terkait dengan hitung-menghitung. Tapi saya berpikir, saya masih bisa meningkatkan kemampuan matematikanya.
Saya harus memulai meyakinkan dia tentang menghitung luas segi empat. Saya menggulung tikar untuk memperlihatkan kepadanya sebuah segi empat. Lantai yang tersusun oleh keramik saya gunakan sebagai alat peraga. Karena di bukunya menggunakan satuan centimeter (cm), maka saya katakan: Andaikan satu keramik sama dengan 1 cm, berapa cm persegi luas lantai ini? Dia menghitungnya dan memperoleh angkanya. Lalu saya Tanya: bagaimana cara meghitung jumlah keramik lebih cepat? Dia berpikir, dan dia katakan: Tidak tahu. Saya ajak lagi berpikir sampai dia mengatakan: panjang x lebar. Mungkin dia ingat hasil belajar sebelumnya. Lalu saya luruskan: sisi x sisi, karena yang ia sebutkan kurang universal. Saya lanjutkan dengan mengajak latihan menghitung PR yg berkatan dengan luas.
Saya masih punya tugas untuk memahamkan luas alas dan luas sisi prisma. Kebetulan di rak dapur ada dus bekas sepatu. Saya ambil dan menyuruh dia membongkarnya. Dia kelihatan heran karena ternyata kalau dibongkar dus menjadi bidang datar yang terdiri dari 6 persegi panjang. Saya ajukan pertanyaan: Mana alas prisma? Dia dapat menunjukkannya. Pertanyaan berikutnya: Bagaimana menentukan luas alas prisma? Dia menjawabnya: Sisi x sisi. Berikutnya saya mengajak dia menentukan luas seluruh permukaan prisma. Kejadian tersebut terjadi subuh hari kurang dari 15 menit. Selanjutnya saya menunggui dia mengerjakan PR. Dia masih tidak yakin dengan apa yang dia lakukan dan saya memberi umpan balik.
Kaitannya dengan teori kerucut pengalam belajar tersebut adalah, pembelajaran matematika materi luas selimut (sisi) prisma hanya dilakukan dengan hanya mendengar, dan latihan. Pembelajaran tersebut sangat abstrak sehingga para peserta didik tidak menangkap konsep yang diajarkan. Pembelajaran yang baik untuk meteri seperti itu adalah demonstrasi, simulasi, berbuat dan latihan. Kegiatan harus mulai dari membuat prisma dari karton, kemudian melakukan simulasi menghitung luas tiap-tiap bagian. Baru latihan, dan kalau belum selesai dilanjutkan dengan pekerjaan rumah. Kegiatan paling penting pada rangkaian kegiatan tersebut adalah kegiatan kelompok (3 orang) membuat prisma dari karton dan menentukan luas masing-masing bagian. Melalui Kegiatan tersebut guru telah menghadirkan konsep matematika abstrak menjadi kongkrit sehingga mudah dipahami. Jadi konsep luas alas dan sisi prisma dapat ditangkap dengan tepat oleh sebagian besar peserta didik. Pada kerucut pengalaman kegiatan tersebut termasuk ke wilayah berbuat sehingga memungkinkan hasil belajar mencapai 90%.
Demikian tadarus kali ini. Semoga memberi sedikit pengetahuan.
1 comments:
Dari postingan diatas saya berkomentar bahwa proses belajar pada tahap verbal,visual,terlibat dan berbuat masing -masing mempunyai keutamaaan walau dua opsi terakhir sepertinya memberikan hasil lebih tetapi verbal dan visual memiliki kelebihan seperti bisa dilakukan dimana saja dan kapan saja
Posting Komentar