Oleh Asip Suryadi
Ada yang menarik dari pernyataan (atau kebijakan?) Mendikbud berikut. “Kami mendorong para guru untuk tidak menyelesaikan semua materi dalam kurikulum. Yang paling penting adalah siswa masih terlibat dalam pembelajaran yang relevan seperti keterampilan hidup, kesehatan, dan empati”. Kutipan ini saya salin dari halaman berita di Sekertariat Negara dan juga dimuat berbagai media massa baik web maupun TV.
Tidak banyak pakar, politikus dan praktisi yang membahas pernyataan tersebut. Saya tidak tahu apakah banyak yang setuju, atau lebih banyak yang tidak setuju. Sepertinya isu ini tidak menguntungkan bagi para politisi untuk di-blowup. Mungkin juga isu ini kurang penting bagi pakar pendidikan di kampus-kampus karena tidak sesuai denga grand theory yang dianut. Diamnya para praktisi mungkin karena sudah bosan dengan perubahan yang tak berdampak. Para guru lebih sering mengatakan “Ganti menteri, ganti kurikuum. Yang lama belum tuntas, yang baru sudah mendesak”.
Menurut saya, ini penting untuk dibahas karena genting. Nyaris 96% satuan pendidikan tidak dapat menyelenggarakan pembelajaran reguler karena berada di zona kuning dan merah. Pada zona tersebut pembelajaran hanya dapat disajikan dengan pendekatan blended, atau daring penuh. Pada kondisi ini, paling untung hanya 50% waktu saja yang dapat dugunakan oleh satuan pendidikan dalam menyajikan proses pembelajaran. Selebihnya, peserta didik harus belajar secara mandiri di tempat tinggal masing-masing. Oleh karena itu tentu saja satuan pendidikan tidak bisa menyajikan pembelajaran dengan kurikulum regular. Saya memprediksi, hanya 50% rumusan kompetensi dasar yang dapat disajikan. Itu pun kalau pembelajaran disajikan dengan efektif dan efisien.
Solusinya adalah kebijakan seperti yang disampaikan oleh Mas Menteri di atas. Instansi penyelenggaran pendidikan setingkat pemerintah daerah kabupaten/kota, atau tingkat satuan pendidikan boleh menyajikan sebagian kurikulum. Kata Mas Menteri: Yang paling penting adalah siswa masih terlibat dalam pembelajaran yang relevan seperti keterampilan hidup, kesehatan, dan empati.
Bagi banyak orang, itu pernyataan aneh. Sebelumnya, Kurikulum Nasional bersifat Mastery. Seluruh peserta didik harus menyelesaikan semua kurikulum (dengan rincian kompetensi yang ada dalam rumusan Kompetensi Dasar (KD)) dan batas lulus tertentu (KKM). Bagi yang tidak dapat menyelesaikan kurikulum, maka tidak bisa memperleh ijazah. Tiba-tiba sekarang, guru tidak usah menyelesaikannya. Ini tentu tidak dapat dipahami dengan cara berpikir lama. Kita harus berpindah paradigma. Ini adalah sebuah antitesis.
Jadi apa yang dimaksud dengan “… mendorong para guru untuk tidak menyelesaikan semua materi dalam kurikulum”? Apakah guru boleh memilih-milih KD untuk diajarkan? Atau mengajarkan KD tidak sampai tuntas? Jawaban yang lebih baik adalah: Guru memilih KD substansial, namun pembelajaran disajikan secara mendalam dan kontekstual meyangkut pengetahuan, keterampilan hidup dan nilai-nilai kehidupan yang dialami siswa sehari-hari. Atau instansi pengelola pendidika/satuan pendidikan/guru membuat kurikulum yang relevan.
Pembelajaran seperti itu tidak bisa dilakukan apabila tidak mengubah paradigma. Menurut saya, konsep yang harus digunakan adalah “belajar untuk hidup dan kehidupan”; bukan belajar untuk lulus ujian melalui mengerjakan soal pilihan ganda semata (paper and pencil test). Pada paradigma alternatif ini peserta didik hanya dapat lulus dari sekolah apabila memiliki kompetensi untuk hidup pada tingkatan tertentu sesuai dengan perkembangan usianya.
Target hasil belajar utama adalah, taat beribadah serta memiliki sikap mandiri, jurjur, persistent (ngotot/pantang menyerah), dan fleksibel. Menguasai pengetahuan substansial, bukan pengetahuan remeh temah yang tidak berdampak. Memahami konsep-konspes dasar yang dapat melandasi perkembangan intelektualitas untuk mempelajari konsep yang lebih tinggi. Memiliki keterampilan berpikir analitis, kritis dan kreatif. Memiliki kemampuan kolaborasi dan problem solving. Memiliki fisik yang sehat dan kuat. Dapat menggunakan peralatan yang sering digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Menguasai ICT untuk belajar dan berkomunikasi. Mas Menteri sempat menyebutkan kompetensi 4C dalam beberapa kesempatan, yaitu collaboration (kerja bersama), communication (komunikasi), creativity (kreatifitas), critical thinking (berpikir kreatif). Itu adalah kompetensi Abad 21 yang harus menjadi kompetensi inti pada kurikulum “belajar untuk hidup dan kehidupan”.
Pada paradigma pendidikan tersebut materi ajar bukan target utama melainkan hanya jembatan saja. Artinya, apapun materi ajarnya, harus mengantarkan peserta didik untuk menguasai kompetensi tersebut. Dengan demikian, satuan pendidikan/guru dapat memilih tema materi menarik yang sesuai dengan muatan dan kondisi lokal. Bahkan, guru beberapa mata pelajaran dapat menyajikan pembelajaran tematik dengan tema terkini. Misalnya, tema utama pembelajaran adalah “Mengatasi Pandemi Covid 19”. Beberapa mata pelajaran digabungkan dalam rangka mengkaji tema tersebut.
Tentu saja strategi pembelajaran harus berbeda dari bisanya. Model pembelajaran yang diguakan adalah problem base, inquiry dan project base. Melalui model pembelajara tersebut peserta didik difasilitasi untuk belajar yang berawal dari masalah, kemudian melebar ke pencarian informasi untuk problem solving. Selanjutnya dapat disajikan projek. Kegiatan-kegiatan belajar seperti itu secara teoretis dapat membentuk watak, melatih kemampuan berpikir tingkat tinggi (HOTs) dan melatih keterampilan brkomunkasi, merencanakan, menata keiatan, menyusun laporan, dan menkomunikasikannya dalam berbagai bentuk menggunakan ICT.
Tentu saja pembelajaran tersebut disesuaikan dengan tingkat perkembangan usia. Anak kelas 1 SD misalnya, memulai dari melakukan projek mengenai dirinya dan lingkungan keluargnya. Mereka dibimbing dari jarak jauh untuk menyebutkan nama dirinya, nama keluarganya, menggambar rumahnya, mengenalkan hewan peliharaannya, memvideokan teman-teamnnya, memoto kegiatan ibadah dirumah dan sejenisnya. Berbeda dengan kelas 10. Mereka melakukan proyek mengenai kegiatan sosial, politik dan ekonomi dan keagamaan di wilayah kelurahan atau kecamatan. Kemudian melakukan penelitian sain mengenai dampak kehidupan modern terhadap lingkungan.
Dalam paradigma belajar tersebut, apabila satuan pendidikan/guru masih memilih Kurikulum Nasional sebagai acuan, kaka satuan pendidikan/guru dapat memilih sebagian KD dari KD yang terdaftar. Apabila dalam setahun terdapat 10 Kompetensi Dasar (KD), maka guru harus memilih sebagian KD saja untuk disajikan. Kalau substansi KD besar-besar, maka dapat memilih 5 KD saja. Atau kalau dalam kasus KD substansi KD kurus maka dapat maka dapat memilih 6 atau 7 KD saja.
Lalu bagaimana cara memilih KD? Tentu saja beberap kirteri dapat diidentifikasi seperti kontkstual, up to date, mudah ditemui kaitannya dengan kehidupan lokal, berguna, lebih manarik dan memiliki kaitan dengan masa depan. Caranya, buatlah matriks ceklis pemetaan KD dengan kriteria tersebut. Pada kolom pertama dituluskan nomor dan rumusan setiap KD, kemudian di komom berikutnya cantumkan kriteria tersebut. Telaah satu per satu dan petakan terhadap kriteria. Rumusan KD yang memperoleh tanda ceklis terbanyak pantas dipertimbangkan sebagai KD yang dipilah.
Selanjutnya cobalah berkolaborasi dengan mata pelajaran lain. Cara ini banyak keuntungannya. Pertama mengajar bias berkolaborasi sehingga lebih ringan. Kedua waku bias digabungkan sehingga waktu belajar bertambah. Ketiga, mata pelajaran menjadi lebih sederhana. Dengan cara ini pembelajaran dapat dipangkas menjadi 50% sehingga memungkinkan untuk disajikan dengan pembelajaran blended atau fully online dalam kondisi pandemic Covid 19.
Gagasan ini merupakan alternatif solusi. Kurikulum dipangkas, namun harapanya hasil belajar meningkat. Ini aneh, namun dapat dilakukan. Perlu ada yang menginisiasi dan mencobanya. Namun demikian yang menjadi prasyarat adalah perubahan pola pikir. Dengan mengubah pola pikir maka sesuatu yang asing menjadi normal. Itulah salah satu interpretasi terhadap pernyataan (kebijakan) Kemdikbud yang disebutkan di awal. Salah satu moda pendidikan era new normal.
Sumber:
- Bacaan: Inilah Perubahan Kebijakan Pendidikan Selama Masa Pandemi Covid-19 oleh Humas Sekretariat Kabinet Republic Indoneisa, dipublikasikan pada 15 Mei 2020, https://setkab.go.id/inilah-perubahan-kebijakan-pendidikan-selama-masa-pandemi-covid-19/
- Gabar: https://prowritingaid.com/Antithesis, diambil 29-7-2020
31 comments:
Semakin tercerahkan bagaimana seharusnya proses pembelajaran dapat terlaksana secara optimal yg diawali dg perubahan paradigma seorang guru
Luar biasa, Keren, Muantap, pastinya bermanfaat menambah wawasan bagi yg membaca artikel ini, selamat sobat....
Mari kita bersama-sama berexperimen untuk menerapkan paradigma alternatif
Mantul Pak idenya, memang paradigma berpikir guru harus diubah dari mengajarkan materi menjadi mengajarkan kompetensi untuk hidup dan kehidupan.
Hajar Bu Erna. Ajak teman-teman.
Luar biasa Pak Asip atas pencerahannya
Yang kita hadapi masalah teknis, ada kbm, sinyal internet siap, ada HP tapi anak ngeluh gk punya paket internet.
Terima kasih pak Doktor atas pencerahannya
SAma-sama
Mantap Bro Asip....bisa dicoba
Mamtap Bro Asip bisa dicoba, ditunggu tulisan selanjutnys
Luarbiasa. Tulisan bergizi dan menginspirasi
Terima kasih.
Pendidikan sekarang memang membingungkan karena guru dituntut tidak hanya mengejar materi tersampaikan ke para siswa tapi siswa diharapkan terlibat dalam pembelajaran yang relevan seperti keterampilan hidup, kesehatan, dan empati. Untuk sekarang, pendidikan belum bisa dilaksanakan seperti sedia kala.Maka Instansi penyelenggaran pendidikan setingkat pemerintah daerah kabupaten/kota, atau tingkat satuan pendidikan boleh menyajikan sebagian kurikulum. Kata Mas Menteri: Yang paling penting adalah siswa masih terlibat dalam pembelajaran yang relevan seperti keterampilan hidup, kesehatan, dan empati.Tapi sulit melaksanakannya. konsep yang harus digunakan adalah “belajar untuk hidup dan kehidupan”; bukan belajar untuk lulus ujian melalui mengerjakan soal pilihan ganda semata (paper and pencil test). Pada paradigma alternatif ini peserta didik hanya dapat lulus dari sekolah apabila memiliki kompetensi untuk hidup pada tingkatan tertentu sesuai dengan perkembangan usianya. Pada paradigma pendidikan tersebut materi ajar bukan target utama melainkan hanya jembatan saja. Artinya, apapun materi ajarnya, harus mengantarkan peserta didik untuk menguasai kompetensi tersebut. Dengan demikian, satuan pendidikan/guru dapat memilih tema materi menarik yang sesuai dengan muatan dan kondisi lokal. Bahkan, guru beberapa mata pelajaran dapat menyajikan pembelajaran tematik dengan tema terkini. Misalnya, tema utama pembelajaran adalah “Mengatasi Pandemi Covid 19”. Beberapa mata pelajaran digabungkan dalam rangka mengkaji tema tersebut. Tentu saja strategi pembelajaran harus berbeda dari bisanya. Model pembelajaran yang diguakan adalah problem base, inquiry dan project base. Melalui model pembelajara tersebut peserta didik difasilitasi untuk belajar yang berawal dari masalah, kemudian melebar ke pencarian informasi untuk problem solving. Selanjutnya dapat disajikan projek. Kegiatan-kegiatan belajar seperti itu secara teoretis dapat membentuk watak, melatih kemampuan berpikir tingkat tinggi (HOTs) dan melatih keterampilan brkomunkasi, merencanakan, menata keiatan, menyusun laporan, dan menkomunikasikannya dalam berbagai bentuk menggunakan ICT. Disajikanpun sesuai dengan usia peserta didik. Untuk penyampaian KDpun tidak bisa tersampaikan semua KD, tapi hanya sebagian KD saja yang abisa tersampaikan.Selanjutnya cobalah berkolaborasi dengan mata pelajaran lain. Cara ini banyak keuntungannya. Pertama mengajar bias berkolaborasi sehingga lebih ringan. Kedua waku bias digabungkan sehingga waktu belajar bertambah. Ketiga, mata pelajaran menjadi lebih sederhana. Dengan cara ini pembelajaran dapat dipangkas menjadi 50% sehingga memungkinkan untuk disajikan dengan pembelajaran blended atau fully online dalam kondisi pandemic Covid 19. Ide ini merupakan alternatif, memang agak sulit dilakukan tetapi bisa dilakukan. Yang tepenting adalah merubah pola pikir kita, menjadikan sesuatu yang sulit emnajdi gampang, emnjadikan suatu yang asing menjadi normal.
Pendidikan tidak hanya bergantung pada satu unsure saja, seperti bergantung kepada peserta didik. Namun keberhasilan proses kegiatan belajar mengajar juga ditentukan oleh faktor guru yang kreatif, inovatif sehingga dapat memotivasi peserta didik dalam proses belajarnya. Karena jika unsur pendidikan yang hanya bergantung pada satu atau dua unsur diyakini tidak akan dapat mencapai tujuan pembelajaran yang diharapkan
pernyataan Mendikbud yakni yang bapak tulis di atas. “Kami mendorong para guru untuk tidak menyelesaikan semua materi dalam kurikulum. Yang paling penting adalah siswa masih terlibat dalam pembelajaran yang relevan seperti keterampilan hidup, kesehatan, dan empati” ini menimbulkan banyak interpretasi di kalangan masyarakat bebas. Mungkin ini bagian dari klebingungan yang sedang dihadapi pada masa sekarang ini. Kondisi dimana tidak dapat yang banyak dilakukan lagi. Sebagai seorang guru tentu nya kami bertindak sesuai regulasi yang ada. meski dilapangan terkadang timbul seribu pertanyaan. sebenarnya mau di bawa kemana arah dunia pendidikan kita. Jika dikatakan bahwa guru tidak harus menyelesaikan kurikulum, terus untuk apa kurikulum itu di buat dan dijalankan. jika guru diminta untuk mengajarkan anak didik agar berempati, itu sudah pasti dilakukan karena tidak mungkin guru mengajarkan hal yang yang buruk kepada peserta didiknya. karena menjadi seorang guru itu adalah panggilan jiwa yang di yakini akan membawa dampak positif berupa pahala jika dilakukan dengan tulus ikhlas. Untuk kurikulum yang sudah di tetapkan tentu nya tetap di jalankan, meski gutu di minta untuk memilah mana KD yang yang penting atau tidak. untukini bagi sebagian guru tentu nya menjadi bingung, disilah penting adanya kelompok kerja guru mata pelajaran dari bebagai sekolah ini mungkin bisa disepakati. sehingga materi atau KD yang ajarkan dapat disamakan pada tiap sekolah.
KURIKULUM antitesis sebenernya itu melelahkan, karena kita harus mengejar guru untuk mengetahui pelajaran tersebut kalau tidak akibatnya kita akan ketinggalan pelajaran dan kadang guru juga jarang masuk ke kelas sehingga kita jadi ketinggalan beberapa materi yang seharusnya sudah dipelajari” sekaligus berat banget pelajarannya dan terlalu banyak hal tidak pentingyang harus dipelajari”, dan juga membebani siswa seperti robot”, “begitu juga melelahkan, sehingga waktu istirahat yang tidak begitu renggang. Hanya satu hari untuk istirahat? Belum tentu hari itu kita istirahat. Belum lagi kalau ada PR! Lalu pekerjaan rumah yang contohnya seperti membantu orang tua dalam hal berberes di rumah. Tolong mengerti jika seusia kami membutuhkan waktu istirahat yang banyak. Bayangkan! Kami berangkat sekolah dari pagi sampai pulang sore. Belum lagi tugas-tugas dari Bapak/Ibu Guru yang cukup banyak.
Kami mendorong para guru untuk tidak menyelesaikan semua materi dalam kurikulum. Yang paling penting adalah siswa masih terlibat dalam pembelajaran yang relevan seperti keterampilan hidup, kesehatan, dan empati. Saya setuju mengembangkan kecakapan hidup, kesehatan, empati, dan moral. Beri kesempatan pada anak untuk dapat belajar secara mandiri. Bukan materinya yang diberikan, seperti memberikan ikan, tapi kailnya yang diberikan sehingga peserta didik bsa mencari ikan sendiri. Bangun percaya diri tingkatkan kemampuan kolaborasi, berikan kesempatan memecahkan masalah hanya bermodalkan rumus definisi dasar, arahkan keterampilan siswa untuk dapat mengembangkan rumus sendiri. Jangan sampai lulus sekolah bingung, karena dalam kehidupan sehari-hari rumusnya sangat sulit dan kompleksm bahkan kesannya tidak ada rumusnya. Maka bukan rumus yang dikumpulkan tapi creative thinking sehingga dapat memecahkan masalah, kecerdasan spiritual bahwa ada Allah sang maha penentu, tawakkal bukan berarti menyerah pasrah begitu saja. Tawakkal adalah berusaha semaksimal mungkin selanjutnya berserah diri kepada Allah sang Maha Penentu, keberhasilan bukan karena usaha kita tapi karena ridho Allah. Sekolah berpuluh puluh tahun rumus lupa semua. Gali definisi kembangkan pemikiran untuk memecahkan masalah. Bangkitkan kesadaran peserta didik bahwa berlatih adalah tanggung jawab mandiri. harus bisa berlatih tanpa didampingi.
Saya memahaminya dari pernytaan pa mentri, bahwa dalam kondisi pandemi COvid 19, pembelajaran tetap ada walaupun tidak bisa dilakukan secara maksimal, dan sekalipun ketercapaian KI KD tidak tuntas, dan pastikan materi yang essensial yang didahulukan, yang penting, si guru masih punya kesempatan tatap muka walaupunjarak jauh , secara virtual dan dalam waktu terbatas, siswa masih terlibat dalam pembelajaran yang relevan seperti keterampilan hidup, kesehatan, dan empati.
ada yang lebih penting lagi sebetulnya arget hasil belajar utama adalah, taat beribadah serta memiliki sikap mandiri, jurjur, persistent (ngotot/pantang menyerah), dan fleksibel. Menguasai pengetahuan substansial, bukan pengetahuan remeh temah yang tidak berdampak. Memahami konsep-konspes dasar yang dapat melandasi perkembangan intelektualitas untuk mempelajari konsep yang lebih tinggi. Memiliki keterampilan berpikir analitis, kritis dan kreatif. Memiliki kemampuan kolaborasi dan problem solving. Memiliki fisik yang sehat dan kuat. Dapat menggunakan peralatan yang sering digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Menguasai ICT untuk belajar dan berkomunikasi. Mas menteri sempat menyebutkan kompetensi 4C dalam beberapa kesempatan, yaitu collaboration (kerja bersama), communication (komunikasi), creativity (kreatifitas), critical thinking (berpikir kreatif). Itu adalah kompetensi Abad 21 yang harus menjadi kompetensi inti pada kurikulum “belajar untuk hidup dan kehidupan”.bukan belajar untuk lulus. terima kasih pa pencerahannya.
Terima kasih komentarnya
Pernyataan pak mentri pendidikan yan berbunyai: “Kami mendorong para guru untuk tidak menyelesaikan semua materi dalam kurikulum. Yang paling penting adalah siswa masih terlibat dalam pembelajaran yang relevan seperti keterampilan hidup, kesehatan, dan empati” Menurut saya ini menimbulkan banyak komentar dan pemikiran. Materi dalam kurikulum tidak perlu diselesaikan. Namun tidak ditetapkan materi mana saja yang perlu di selesaikan akan . para guru tentu merasa semua materi yang sudah ada pada kurikulum melibatkan siswa dalam pembelajaran yang relevan, seperti keterampilan hidup, kesehatan dan empati. Sebaiknya pemerintah sudah menetapkan materi mana saja yang di anggap krusial untuk di tuntaskan, sehingga bisa lebih fokus. Karena pembelajaran dilakukan secara online. Apalagi pada kondisi ini tidak dapat dilakukan pembelajaran tatap muka, waktu yang boleh dipakai untuk proses belajar juga tidak banyak. Contoh nya anak saya sekolah di suatu sekolah swasta berbasis agama, biasanya melakukan proses belajar tatap muka dari jam 07.00 sampai jam 15.30 wib, sekarang hanya dilakukan sampai jam 12.00 wib siang mulainya pun sudah jam 08.00 wib. Guru tentu akan kesulitan juga menentukan, mana dari materi dalam kurikulum yang harus diselesikan dengan rentang waktu yang disediakan.
Pernyataan mentri pendidikan membawa angin segar tidak perlu menuntaskan materi dalam kurikulum. Namun yang menjadi sulit adalag materi mana yang di anggap essensial atau tudak essensial ini tentu menjadi kebingungan tersendiri. Disini sangat di butuhkan komuniasi antar kelompok guru mata pelajaran seperti MGMP (Musyawarah Guru Mata Pelajaran) disana dapat ditentukan dan disepakati mana materi essensial mana yang tidak. Hanya saja nanti pada saat ujian nya juga harus disesuaikan. Jangan sampai materi yang tidak diajarkan tetapi di ujikan. Kurikulum pandemi ini kadang membuat guru bingung, sepeti beberapa hari yang lalu dikatakan oleh kepalas sekolah sekarang ada kebijakan mata pelajaran yang boleh tidak di berikan pada masa pembelajaran online, yaitu mata pelajaran lintas minat. Misalnya mata pelajaran kimia yang sebelumnya dapat di berikan pada kelas Ips sekarang tidak lagi diberikan. Namun jam nya tetap dimasukkan. Ini tentu menjadi kan guru bingung. Memang waktu mengajar jadi dipersingkat, menghindari guru memberikan tugas terlalu banyak, sehingga mengurangi mapel yang bukan jurusanya.
Jika Pembelajaran untuk hidup dan kehidupan bukan untuk lulus ujian, sulit untuk mengukur keberhasilan proses belajar mengajar itu sendiri. Kurikulum di kurangi namun hasil yang dicapai harus maksimal. Memng perlu usaha maksimal yang lebih tepat dilakukan pada massa pandemi seperti sekarang ini.
pembelajaran pada masa New normal dilaksanakan untuk memberikan pengalaman belajar yang bermakna bagi peserta didik,lebih menitik beratkan kepada pendidikan kecakapan hidup, misalnya pemahaman tentang cara belajar hidup sehat dan bisa terhindar dari covid-19,penguatan karakter atau akhlak,serta keterampilan beribadah ditengah keluarga.
Bukti atau produk aktivitas belajar di masa new normal yang dapat diambil dari peserta didik bisa bersifat kualitatif dan berguna bagi guru tanpa harus memberikan nilai kuantitatif.dan untuk penilaian yang bersifat kuantitatif dapat berupa tugas,proyek,produk,porto folio,dan penilaian afektif,tetapi tetap mempertimbangkan situasi dan kondisi daerah dan tetap tinggal peserta didik dan fasiltas belajar peserta didik.
Jadi pembelajaran masa new normal harus lebih banyak memberikan praktik-praktik kepada siswa secara langsung.dengan model dan metode belajar yang variatif yang sesuai atau cocok dengan tujuan pembelajaran saat ini memberikan pengalaman belajar yang bermakna,menyenangkan,bervariasi dengan menggunakan media belajar yang disukai atau yang menarik yang sekarang ini akrab dengan dunia anak milenial yaitu teknologi digital.
sampai saat ini masih banyak para guru yang mencoba menafsirkan tentang pernyataan Pak mendikbud "kami mendorong para guru untuk tidak menyelesaikan semua materi kurikulum. yang paling penting siswa masih terlibat dalam pembelajaran yang relevan seperti keterampilan hidup, kesehatan, dan empati".Para guru diminta untuk memilih KD esensial. Hal ini menimbulakan kebingungan bagi peserta didik dan menyebabkan ketidak keseragaman tiap-tiap masing sekolah, daerah dalam penentuan KD esensial .Namun saya juga paham akan pernyataan pak menteri akan kurikulum dimasa darurat ini.
sampai saat ini masih banyak para guru yang mencoba menafsirkan tentang pernyataan Pak mendikbud "kami mendorong para guru untuk tidak menyelesaikan semua materi kurikulum. yang paling penting siswa masih terlibat dalam pembelajaran yang relevan seperti keterampilan hidup, kesehatan, dan empati".Para guru diminta untuk memilih KD esensial. Hal ini menimbulakan kebingungan bagi peserta didik dan menyebabkan ketidak keseragaman tiap-tiap masing sekolah, daerah dalam penentuan KD esensial .Namun saya juga paham akan pernyataan pak menteri akan kurikulum dimasa darurat ini.
Sebenarnya pada konsep KTSP, kurikulum bisa dikembangkan stuan pendidikan meskipun tetap harus berlandaskan Stnadar Nasional. Dalam era vandemi, satuan pendidikan dalat mengurangi KD yang ada dalam Sstandar Nasional. Keputusan satuan pendidikan untuk memilih KD berbeda tidak jadi masalah. Ketika satuan pendidikan dan guru merumuskan silabis yang elas dan tegas, maka siswa akan emngikutinya. Mereka akan mengikuti suguhan kurikulum yang disajikan.
Kurikulum Antitesa yang ditawarkan oleh pemerintah merupakan gerakan yang luar biasa berani, dimana guru tidak diharuskan untuk menyelasaikan Semua KD dan SKL. Dalam kurikulum ini, siswa diajarkan belajar untuk hidup dan kehidupan, bukan belajar untuk lulus dan ijazah semata. Kurikulum ini akan efektif, jika guru atau pendidik dalam proses pembelajarannya tetap mengguna konsep 4 C. Siswa diajar berkollaborasi, dapat Berkomunikasi dengan baik, berkreasi dan Berfikir Kritis. Karena dengan konsep 4 c ini, siswa akan memiliki attitude yang taat, sabar, berinteraksi baik, persistent dan jujur.
Jadi Kurikulum Antitesis adalah gerakan yang luar biasa. Mudah-mudahan menghasilkan lulusan yang luar biasa juga. Amin
Kondisi negara akibat pandemi Covid 19 dimana zona merah dan kuning yang lebih banyak membutuhkan pemikiran yang bijak. Saya setuju dengan dengan konsep pembelajaran “belajar untuk hidup dan kehidupan”. Ini sejalan dengan pernyataan Bapak menteri Pendidikan yang menyebutkan kompetensi 4C yang merupakan kopetenai inti dalam pembelajaran Abad 21 , yaitu collaboration (kerja bersama), communication (komunikasi), creativity (kreatifitas), critical thinking (berpikir kreatif).
Dalam kondisi pandemi Covid 19 ini memang guru harus mengantarkan peserta didik untuk menguasai kompetensi tersebut. Dengan demikian, satuan pendidikan/guru dapat memilih tema materi menarik yang sesuai dengan muatan dan kondisi lokal. Bahkan, guru beberapa mata pelajaran dapat menyajikan pembelajaran tematik dengan tema terkini.
Pembelajaran harus disesuaikan dengan usia peserta didik. Selain itu tentu saja guru harus bisa membuat strategi pembelajaran berbeda dari bisanya. Model pembelajaran yang diguakan adalah problem base, inquiry dan project base. Melalui model pembelajara tersebut peserta didik difasilitasi untuk belajar yang berawal dari masalah, kemudian melebar ke pencarian informasi untuk problem solving. Selanjutnya dapat disajikan projek. Kegiatan-kegiatan belajar seperti itu secara teoretis dapat membentuk watak, melatih kemampuan berpikir tingkat tinggi (HOTs) dan melatih keterampilan berkomunkasi, merencanakan, menata kegiatan, menyusun laporan, dan menkomunikasikannya dalam berbagai bentuk menggunakan ICT.
Pemilihan KD-KD yang perlu diberikan ke peserta didik dapat dimusyawarahkan melalui MGMP dengan tinjauan berdasarkan Urgensi, Kontinuitas, Relevansi, dan Keterpakaian. Gagasan ini merupakan alternatif solusi. Mudah-mudahan di tengah kondisi seperti ini walaupun kurikulum dipangkas, namun harapanya hasil belajar meningkat.
Assalamu'alaikum wr, wb
saya sepakat sekali dengan apa yang bapak paparkan di atas dan sangat termotivasi dengan "belajar untuk hidup dan kehidupan”; bukan belajar untuk lulus ujian melalui mengerjakan soal pilihan ganda semata (paper and pencil test). Dan bukan kurikulum yang ditinggalkan atau pun KD yang dihilangkan, tapi dipilih mana yang sesuai dan tepat sasaran dengan kehidupan kini. saran alternatif solusi yang sangat tepat bahwa Target hasil belajar utama adalah, taat beribadah serta memiliki sikap mandiri, jurjur, persistent (ngotot/pantang menyerah), dan fleksibel. Menguasai pengetahuan substansial, bukan pengetahuan remeh temah yang tidak berdampak. Memahami konsep-konspes dasar yang dapat melandasi perkembangan intelektualitas untuk mempelajari konsep yang lebih tinggi. Memiliki keterampilan berpikir analitis, kritis dan kreatif. Memiliki kemampuan kolaborasi dan problem solving. Memiliki fisik yang sehat dan kuat. Dapat menggunakan peralatan yang sering digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Menguasai ICT untuk belajar dan berkomunikasi.
Cukup menarik artikel di atas untuk dibahas. Artikel dengan judul Kurikulum Antitesis membuat saya menikmati membacanya. Menurut saya kurikulum dapat dikatakan sebagai ruhnya kegiatan pembelajaran. Kualitas hasil belajar pada satuan pendidikan tergantung dari kurikulum yang menyusunnya.
Penyusunan kurikulum melibatkan para pakar dan ahli pendidikan. Kurikulum dibuat sebagai rambu-rambu atau acuan operasional kegiatan pembelajaran. Sejatinya sebuah kurikulum itu sederhana. Membuat materi pelajaran yang sulit jadi mudah. siswa yang tidak bisa jadi bisa. awalnya tidak tahu jadi tahu. Tapi pada kenyataannya Kurikulum kita dapat dikatakan “menyulitkan” pendidik dan peserta didik. Apalagi kita termasuk negara yang memiliki kurikulum pendidikan “gemuk” .
Pengantian kurikulum tiap 10 tahun sekali atau kurang dari itu bertujuan memperbaiki kualitas pendidikan. Dengan hasil lulusan yang dapat bersaing di dalam dan luar negeri. Memiliki kompetensi dan berkarakter.
Menurut Zulfikar Anas pada Pusat Kurikulum dan perbukuan Selama ini pendidikan kita masih terperangkap paradigma transfer knowledge. Dimana siswa diposisikan sebagai konsumen. Belajar dari pagi sampai sore, berlomba-lomba mengerjakan tugas untuk mendapatkan nilai tertinggi. Namun tidak memperhatikan apakah anak tersebut memiliki karakter bertanggung jawab, mandiri, jujur, berempati dan lain sebagainya. Padahal karakter seperti itluah yang diharapkan oleh kurikulum.
Jadi pernyataan Menteri pendidikan yang mengatakan, “Kami mendorong para guru untuk tidak menyelesaikan semua materi dalam kurikulum. Yang paling penting adalah siswa masih terlibat dalam pembelajaran yang relevan seperti keterampilan hidup, kesehatan, dan empati” menurut saya dapat diterima. Apalagi pada kondisi darurat seperti pandemi covid ini . Para pendidik pun diminta untuk menyusun rencana pembelajaran darurat. Yaitu dengan memasukkan materi-materi esensial saja yang akan dipelajari. Sehingga beban siswa tidak berat yang dapat menyebabkan stres, yang akhirnya berujung pada penurun imunitas. Kemudian sakit, sehingga tujuan kurikulum tidak tercapai. Pernyataan Pak menteri inilah yang bisa dikatakan sebagai antitesa kurikulum yang kita jalankan sekarang.
Kurikulum yang ingin diterapkan/diharapkan oleh Menteri Pendidikan kesannya antitesis namun sebenarnya tidak karena sistem pembelajarannya lebih mengutamakan subtansi sehingga hasil dari pembelajaran lebih terasa dan nyata tidak sekedar teoritis.
Saya memahaminya dari pernytaan pa mentri, bahwa dalam kondisi pandemi COvid 19, pembelajaran tetap ada walaupun tidak bisa dilakukan secara maksimal, dan sekalipun ketercapaian KI KD tidak tuntas, dan pastikan materi yang essensial yang didahulukan, yang penting, si guru masih punya kesempatan tatap muka walaupunjarak jauh , secara virtual dan dalam waktu terbatas, siswa masih terlibat dalam pembelajaran yang relevan seperti keterampilan hidup, kesehatan, dan empati.
ada yang lebih penting lagi sebetulnya arget hasil belajar utama adalah, taat beribadah serta memiliki sikap mandiri, jurjur, persistent (ngotot/pantang menyerah), dan fleksibel. Menguasai pengetahuan substansial, bukan pengetahuan remeh temah yang tidak berdampak. Memahami konsep-konspes dasar yang dapat melandasi perkembangan intelektualitas untuk mempelajari konsep yang lebih tinggi. Memiliki keterampilan berpikir analitis, kritis dan kreatif. Memiliki kemampuan kolaborasi dan problem solving. Memiliki fisik yang sehat dan kuat. Dapat menggunakan peralatan yang sering digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Menguasai ICT untuk belajar dan berkomunikasi. Mas menteri sempat menyebutkan kompetensi 4C dalam beberapa kesempatan, yaitu collaboration (kerja bersama), communication (komunikasi), creativity (kreatifitas), critical thinking (berpikir kreatif). Itu adalah kompetensi Abad 21 yang harus menjadi kompetensi inti pada kurikulum “belajar untuk hidup dan kehidupan”.bukan belajar untuk lulus. terima kasih pa pencerahannya.
Posting Komentar