Feature Top (Full Width)

BELAJAR DARI RUMAH

Kamis, 09 Juli 2020


Oleh Asip Suryadi 

Guru inspiratif, apakah Anda merasakan adanya tuntutan perubahan akibat dampak pandemi Covid19 pada pandangan Anda mengenai pendidikan, pembelajaran dan peran guru sebagi pigur penting dalam pendidikan? Bersyukurlah bagi yang merasakannya. Itu artinya Anda adalah guru adaptif.

Kita terhenyak dengan peristiwa besar yang menyebabkan setiap orang harus tinggal di rumah untuk beberapa bulan sebagai upaya isolasi agar virus pandemik yang diberi nama Covid19 tidak menyebar lebih luas. Banyak orang tidak sadar dan menganggap itu sepele. Itu yang menyebabkan virus ini tak terbendung sehingga di Indonesia hingga hari ini tanggal 10 Mei orang yang terjadngit sudah sampai 13.645. Kompas.com 14 April memprediksi bahwa sampai Mei suspek bisa sampai 50.000. Pada kondisi tersebut rumah sakit akan lumpuh. Kamar rawat rumah sakit dapat dibangun tapi tenaga medis tidak dapat dicetak dalam sehari. Lalu apa yang terjadi?

Bukan hanya itu, damapak pandemik tersebut telah memaksa tatanan sosial, politik dan ekonomi mengubah paradigmanya. Salah satu masalah yang akan dihadapi misalnya, pada ketahanan pangan. Berapa lama cadangan makanan dapat bertahan ketika pertanian berhenti, pabrik makanan tidak jalan, dan trasnprotasi lumpuh? Berapa lama masyarakat bisa hudup pada kondisi seperti itu? Bisa dibayangkan ketika pasokan makanan terbatas dan semakin langka. Tidak menutup kemungkinan terjadi keos baik pada tataran lokal, regional maupun global. Bisa saja terjadi perang antar negara merebutan sumber daya alam seperti air, energi, atau sumber makanan lain. Tentu akan memakan banyak korban pada pihak yang lemah. Pada kondisi tersebut dapat terjadi bencana kemanusiaan. 

Di tengah krisis yang belum pernah terjadi sebelumnya seperti ini, sulit untuk melihat masa depan dengan akurat. Seolah-olah kita berkeliaran dalam kabut tebal. Kita sering kali hanya bisa berdoa. Oleh kaena itu seyogyanya kita menyadari bahwa banyak hal yang tidak dapat diprediksi. Alam memiliki sifat yang belum dipahami seutuhnya. Beberapa ahli secara ekstrim mengklaim bahwa dampak pandemi ini dapat memusnahkan ras manusia di bumi. Kemusnahan ras manusia (homo sapiens) bisa saja terjadi, seperti kepunahan homo erectus sekitar 500 ribu tahun lalu. Diprediksi bahwa kemusnahan jenis hominid tersebut karena mereka malas beradaptasi. Tidak mampu berinovasi. Makanya satu-satunya jalan untuk menjaga keberlanjutan ras manusia adalah beradaptasi dengan mekanisme alam.

Pada kesempatan ini mari kita diskusi mengenai adapatasi yang harus dilakukan masyarakat lokal dan global dalam bidang pendidikan. Salah satu dampak pandemi Covid19 adalah lockdown sekolah. Penutupan sekolah di 184 negara menyebabkan 1.53 milyar pelajar dirumahkan. Tentu dirumahkan bukan untuk libur belajar melainkan harus belajar dirumah. Namun di beberapa tempat penutupan sekolah benar-benar berarti hilanganya kesempatan belajar karena tidak ada fasilitas untuk terjadi interaksi antara guru dan siswa, sedangkan keluarga tidak memungkinkan untuk mengajari mereka. Pada kondisi ini proses pendidikan dapat berhenti total.

Pada umumnya di Indonesai dampak pandemi terhadap anak-anak tidak terlalu parah. Kecuali di lokasi-lokasi tertentu. Meraka hanya terkena aturan Belajar Dari Rumah (BDR). Meskipun begitu, kenyataannya program BDR bukan hal yang mudah. Pada bulan pertama guru, orang tua dan siswa mengalami kesulitan. Guru dan orang tua kebingungan bagaimana caranya mengajar anak di rumah. Pada bulan kedua malah tidak lebih baik karena intensitas belajar anak-anak malah menurun karena guru, orang tua dan siswa menghindari stress. Guru dan orang tua menjadi permisif. Pada saat artikle ini ditulis, adalah bulan ketiga belajar di rumah. Kebetulan bersamaan dengan bulan Romadhan. Rasanya suasana belajar di rumah semakin tidak kondusip. Lalu bagaimana selanjutnya kalau lockdown diperpanjang?

Belajar dari rumah!!! Yang mengajar sekarang bukan guru, tapi mamah-papah, om, tante atau kakak. Anak-anak seperti bertanya dalam dirinya. Apa ini belajar? Kalau belajar dengan guru, anak-anak tidak meminta syarat untuk mengerjakan sesuatu. Kalau dengan orang tua, mereka punya jurus jitu, yaitu kata “tidak mau”, atau minta syarat. Lalu orang tua mengalah. Pada kondisi ini banyak belajar yang tidak terjadi, atau intensitasnya sangat minim. Karena orang tua tidak ingin nilai anaknya buruk maka mengirim tugas hasil rekayasakepada guru.

Dalam regulasi dan tradisi persekolahan kita, tentu belajar di rumah seperti itu tidak akan sama hasilnya dengan belajar di kelas. Dapat dipastikan untuk semester ini, malah bisa saja untuk beberapa semester kedepan, anak-anak kehilangan waktu untuk menguasai kompetensi yang disyaratkan dalam kurikulum. Beruntung sebagian anak yang memiliki orang tua paham pendidikan sehingga dapat melakukan home schooling. Bagi banyak anak, berhenti pergi kesekolah berarti kehilangan waktu belajar.

Belajar di rumah sebenarnya bukan sebuah kesalahan. Banyak keluarga sukses melakukan home schooling. Hasilnya juga tidak buruk. Dengan metode ini justru anak-anak dapat belajar untuk menjalani hidup pada latar yang sebenarnya. Dibandingkan dengan skolah formal yang sering kali banyak terjebak dengan regulasi dan standar yang menyebabkan hasil belajar kurang bermakna. Banyak hasil homeschooling yang berbasis kompetensi. Salah satu contoh homeschooling yang dilakukan teman saya, setarap lulusan sekolah menengah dapat menulis buku yang diterbitkan di penerbit ternama. Contoh lain, pada usia sekeloah menengah anak sudah berhasil memulai wirausaha. Beberapa hasil homeschooling juga dapat masuk ke universitas ternama. 

Keberhasilan homeschooling salah satunya disebabkan karena orang tua berhasil membangun kemampuan belajar mandiri (self-regulated dan self-directed learning). Sementara di sekolah regular, anak-anak lebih banyak belajar dengan cara mengikuti arahan guru yang menyebabkan anak-anak sangat tergantung pada gurunya.

Homeschooling adalah salah satu contoh sebauh keberhasilan (best practice). Dapat dijadikan alternatif pola untuk mengatasi disrupsi akibat pandemi Covid19. Namun itu terbatas untuk orang tua yang memiliki wawasan, keberanian dan kesepakatan dengan anak-anak untuk belajar tanpa keterlibatan guru reguler. Lantas bagaimana dengan sebagian besar keluarga yang masih membutuhkan keterlibatan guru reuler untuk mengajar anak-anaknya? Salah satu alternatifnya adalah distance education (belajar berjarak). Pada pola ini kurikulum dirancang oleh guru kemudian disajikan menggunakan teknologi agar peserta didik melakukan proses belajar mandiri. 

Guru inspiratif, sebagai pendidik kita pasti merespon disrupsi ini dengan positif. Kita harus menjadikannya sebagai milestone sebuh perubahan. Pengalaman yang kita alami saat ini kita jadikan inspirasi untuk mengadaptasi cara berpikir dan cara bertindak kita yang selama ini ternyata tidak berlaku untuk situasi disruptif seperti sekrang ini.

Belajar berjarak bagi banyak guru dan orang tua bukan hal yang biasa sebelumnya. Sesuatu yang baru, namun “tidak bisa dihindari” sekarang ini. Orang tua lebih sering beranggapan: Kalau mau belajar, ya di sekolah. Guru juga beranggapan: Kalau mau belajar datang kepadaku. Malah banyak guru yang masih merpendapat bahwa, “Kalau tidak saya jelaskan anak-anak tidak mengerti”. Persepsi ini sudah berlangsung turun-temurun sejak nenek moyang. Mungkin menjadi sebuah keyakinan. Bagaiman keyakinan ini dapat diubah?

Tapi keadaan mendesak. Keyakinan tersebut harus diubah. Dari keyakinan belajar dengan tatap muka (face-to face) ke belajar berjarak (distance).  Dari pembeajaran yang biasanya para siswa dan guru bertemu dalam sebuah ruang kelas pada jadwal tertentu (regular) menjadi pembelajaran yang terjadi kapan saja dan dimana saja (irregular). Dari pembelajaran yang guru adalah sumber utama pembelajaran menjadi pembelajaran dengan beragam sumber belajar. Dan dari “siswa mendapat pelajaran dari guru (directed)” menjadi “siswa belajar mandiri” (self-directed).

Pembelajaran berjarak adalah konsep yang berbeda dengan pembelajaran tatap muka. Mengajar dari rumah bukan sekedar mengirimkan tugas untuk dikerjakan dan dikirimkan kepada guru seperti kebanyakan guru melakukanya sekarang ini.  Mengajar dari rumah adalah membantu siswa agar belajar mandiri melalui sajian pelajaran yang dirancang untuk belajar berjarak. Dengan pola pembeljaan tersebut tidak masalah ketika guru ada di tmpat “X” dan peserta didik berada di tempat “Y” yang jaraknya bisa sangat jauh. Pada konsep ini guru tetap mengajar dan peserta didik tetap belajar. 

Mari kita memanfaatkan momen ini untuk bereksperimen dengan pola pendidikan baru. Yaitu pola pendidikan yang mengedepankan anak-anak memiliki lebih banyak kebebasan, tanggung jawab dan kehendak untuk belajar mandiri. Pola Pendidikan yang mengarahkan agar anak-anak memiliki target belajar sendiri dan dapat mengendalikan dirinya mencapai suskes belajarnya. Melalui pola tersebut diharapkan anak-anak dapat menjadi independent learners dan long life learners sehingga tidak terpengaruh dengan krisis seperti distancing. Apabila anak-anak sudah memiliki sikap seperti itu maka kehadiran guru tidak menjadi syarat begi mereka untuk belajar.

Saya mempredikis bahwa disrupsi yang disebabkan oleh pandemi Covod19 akan mengubah tatanan persekolah di negeri ini. Kelihatannya pemerintah dan masyarakat akan mengembagkan lebih banyak ICT untuk pendidikan. Akan dibangun imprastruktur lebih banyak lagi sampai ke peloksok tanah air dan mengubah paham pendidik mengenai peran ICT dalam pembelajaran. Secara bertahap ke depan kelas-kelas akan diubah menjadi learning center berbasis ICT. Mungkin HP tidak lagi dilarang dibawa ke sekolah tapi akan digunakan sebagai media dan sumber belajar dari pada sebagai alat hiburan. Kalau itu terjadi maka pendidik harus beradaptasi secara radikal. 

Guru inspirstif, Anda telah memulai berkeksperimen melakukan distance education. Guru mengirim tugas kepada siswa untuk mengerjakan soal-soal yang ada di buku melalui media sosial. Sebagian mengirimkan gambar dan video untuk dipelajari dan dites. Sebagian menambahkan dengan pertemuan virtual menggunakan aplikasi video convrencing. Sebagian ada yang lebih maju lagi, menggunakan LMS untuk menyajikan pembelajaran fully online

Sebagian sudah baik, tapi Sebagian besar belum memenuhi kriteria pembelajaran jarak jauh yang baik. Kebanyakan guru belum mengunakan prinsip-prinsip pembelajaran jarak jauh dalam eksperimen ini. Pembelajaran jarak jauh yang dilakukan lebih banyak memperlihatkan kesan seakan-akan hanya memindahkan kegiatan tatap muka dari kelas ke rumah. Pada pendidikan dasar SD/MI, praktek ini hanya memindahkan tugas mengajar dari guru kepada orang tua yang membuat mereka banyak bertengkar. Pada peserta didik tingkat menengah, praktek pembelajaran jarak jauh ini menyulitkan. Banyak peserta didik kebingungan apa yang harus dilakukan karena instruksi sangat singkat dan seakan-akan semua instruksi adalah tes.  Praktek seperti ini membuat peserta didik stress. Itu semua karena pembelajaran tersebut tidak dirancang untuk fungsi pembelajaran berjarak.

Tidak apa. Itu sudah merupakan sebuah upaya. Tidak ada yang salah pada praktek tersebut karena pola pembelajaran tersebut tidak bisa bagus dengan sendirinya. Yang perlu kita pikirkan kemudian adalah bagaimana memperbaikinya?

Bagi yang belum pernah sebelumnya, tidak gampang merancang dan menyajikan pembelajaran jarak jauh. Perubahan dari tatap muka ke jarak jauh tidak bisa menggunakan pedagogi tatap muka melainkan harus menggunakan pedagogi pembelajaan jarak jauh. Langkah pertama yang harus kita lakukan dalah mengenalkan distance education dan jenis-jenisnya. Selanjutnya kita belajar merancangnya

Pentingnya mempelajari pola pendidikan jarak jauh tentu bukan hanya untuk kebutuhan sesaat khususnya program BDR, tetapi memiliki prospek untuk perubahan persekolahan jangka panjang. Misalnya, selama ini sekolah hanya melayani peserta didik yang bisa pergi ke sekolah. Anak-anak yang sakit secara fisik dan tidak bisa pergi ke sekolah/madrasah baik selamanya atau sementara karena kecelakaan tidak bisa dilayani. Seyogyanya sekolah/madrasah mengubah paradigma ke arah pendidikan untuk semua. Kita harus punya visi “no one left behind” (tidak ada satu anak pun yang tertinggal). Contoh lain, anak berkebutuhan khusus yang tidak diizinkan oleh orang tuanya pergi ke sekolah/madrasah tidak dilayani untuk belajar karena tidak ada guru regular yang mau mengajarinya.

Gagasan ini memiliki implikasi terhadap semua stakeholder pendidikan. Legislatif harus mulai memikirkan regulasi mengenai keharusan satuan Pendidikan menyelenggarakan distance education agar pola ini mulai tumbuh secara nasional. Perguruan tinggi harus mulai menginisiasi dengan measukkan materi distance education dalam kurikulum pendidikan keguruan. Pemerintah harus mulai membangun kebijakan dan infrastruktur teknologi untk mendukung distance education. Lembaga kediklatan harus mulai menyusun kurikulum pelatihan untuk membekali para pendidik dan tenaga kependidikan pengetahuan dan keterampilan mengenai distance education. Selanjutnya, yang menjadi ujung tombaknya, guru harus mulai belajar serius untuk memahami dan terampil menyeajikan pembelajaran dengan pola distance education.

Guru inspiratif, tidak ada pilihan kecuali kita memulainya. Kita tidak harus menunggu pemerintah untuk menyelenggarakan pelatihan distance education. Mari kita pelajari pola pembelajaran tersebut sedikit demi sedikit. Banyak sumber belajar yang dapat kita akses untuk mempelajarinya baik berupa teks maupun multimedia. Pelajari hingga kita memahami dan tidak ragu leagi untuk mempraktekkannya.

Di blog ini akan disajikan artikel-artikel terkait dengan tema tersebut. Silakan mengikuti terus.  

Selamat belajar.

Sumber gambar: http://www.pvsd.org/staff/brent-trinkle/learning-from-home 

PENDIDIKAN JARAK JAUH

Oleh Asip Suryadi



Guru inspiratif, di artikle sebelumnya saya sudah menyodorkan kepada Anda alternatif pola pendidikan dan pembelajaran dalam mengantisipasi disrupsi yang telah dan akan mengubah pola kebijakan dan praktek pendidikan dan pembelajaran.  Berikutnya mari kita diskusi mengenai definisi pendidikan jarak jauh. Saya sengaja membaca beberapa buku lama mengenai konsep pendidikan jarak jauh untuk mengambarkan bahwa konsep pendidikan jarak jauh bukan konsep baru. Karena sifatnya teoretis, mungkin artikel agak membosankan. Tapi saya pikir konsep ini penting untuk dipahami agar kita memiliki landasan untuk mengembangkannya.

Pendidikan terbuka jarak jauh adalah sebuah pendekatan alternatif dimana peserta didik dan guru tidak bertemu muka dalam arti fisik. Pendektan ini merupakan solusi untuk menaggulangi keterbatasn geografis, waktu dan biaya yang terjadi pada pendidikan dengan pendekatan tatap muka.Pendekatan pendidikan ini bukan konsep baru. Sejarah pertama penyelenggaraan pendidikan jarak jauh terjadi di era 1800 ketika pertama kali Universitas Choicago menyelenggarakan sebuah pendidikan dimana peserta didik dan guru berada di tempat yang berbeda menggunakan media korespondensi.

Para ahli di bidang pendidikan jarak jauh mengkaji pendidikan jarak jauh dari perspektif yang berbeda. B¨orje Holmberg, Charles A. Wedemeyer, dan Michael G. Moore mendefinisikan pendidikan jarak jauh lebih banyak dari sisi proses sedangkan Desmond Keegan, Otto Peters, Randy Garrison, dan John Anderson mengkajinya dari sisi pengorganisasiannya.

Holmberg (2008) menjelaskan bahwa pendidikan jarak jauh dicirikan dengan adanya keterpisahan antara guru/instruktur dengan peserta didik dan adanya penggunaan satu atau lebih media sebagai alat untuk menyatukannya. Media yang digunakan bisa tulisan tangan, cetakan, rekaman audio, TV, video, telepon, teleconference, web cam, video conference, e-mail dan jejaring sosial berbasis internet.

Keegan dalam Verduin dan Klark (1991) menjelaskan bahwa sebuah pendidikan jarak jauh memiliki 4 elemen yang menjadi karakter dari pendidikan jarak jauh. Keempat karakter yang dimaksud yaitu:

a.  Adanya keterpisahan antara guru dengan peserta didik pada sebagian besar proses pembelajaran.

b.     Peran lembaga pendidikan termasuk didalamnya perangkat evaluasi.

c.     Peran media untuk menyatukan guru dan peserta didik sert.

d.     Perangkat untuk menyelenggarakan two-way communication antara guru, tutor, atau agen pendidikan dengan perserta belajar.

Menurut Verduin dan Clark elemen pertama dari definisi tersebut menjelaskan bahwa sebuah pendidikan dapat disebut pendidikan jarak jauh apabila lebih dari setengah proses pembelajarannya dilakukan secara asynchronous. Elemen kedua memuat gambaran pentingnya organisasi, evaluasi dan komponen kelembagaan lainnya. Elemen ketiga menggambarkan peran media untuk menyatukan hubungan antara guru dengan peserta didik; dan elemen keempat menggambarkan   pentingnya komunikasi dua arah antara guru/tutor/fasilitator dengan peserta didik. Terkait dengan harus adanya komuniasi dua arah Hillary Perraton memberikan batasan bahwa sebuah proses pendidikan dapat dikatanan pendidikan jarak jauh apabila mayoritas proses pembelajaran diselenggarakan secara asynchronous.

Perraton (1993) mejelaskan bahwa dalam definisi-definisi tersebut digambarkan adanya karakter industrialisasi pada pendidikan jarak jauh. Hal ini memang menjadi salah satu isu terkait dengan pendidikan jarak jauh yang sering diangkat oleh para ahli terutama di Amerika seperti Keegan, Peters, Garrison dan Anderson. Pendidikan jarak jauh memang diselenggarakan dengan tujuan pragmatis untuk efesiensi dan efektifitas proses dan hasil pendidikan. Salah satunya untuk menjangkau peserta didik yang tidak memungkinkan untuk belajar dengan cara tatap muka dalam jumlah yang banyak dengan biaya pendidikan minimal.

Menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistim Pendidikan Nasional (SISDIKNAS), yang dimaksud dengan pendidikan jarak jauh (PJJ) adalah pendidikan yang peserta didiknya terpisah dari pendidik dan pembelajarannya menggunakan berbagai sumber belajar melalui teknologi komunikasi, informasi dan media lainny. Soekartawi (2006) mengelaborasi pernyataan undang-undang tersebut dengan memberikan ciri yang spesifik dari pendidikan jarak seperti berikut:

a.     Kegiatan belajar terpisah dengan kegiatan pembelajaran. Selama proses belajar peserta didik dan guru terpisahkan oleh tempat, jarak geografis dan waktu atau kombinasi dari ketiganya.

b.     Karena peserta didik dan guru terpisah selama pembelajaran, maka komunikasi diatara keduanya dibantu dengan media pembelajaran, baik media cetak (bahan ajar berupa modul) maupun media elektronik (CD-ROM, VCD, telepon, radio, video, televisi, komputer).

c.     Jasa pelayanan disediakan baik untuk peserta didik maupun untuk guru, misalnya resource learning center atau pusat sumber belajar, bahan ajar, infrastruktur pembelajaran, dsbnya). Dengan demikian baik peserta didik maupun guru tidak harus mengusahakan sendiri keperluan dalam proses belajar-mengajar.

d.     Komunikasi antara peserta didik dan guru bisa dilakukan baik melalui cara komunikasi satu maupun dua arah (two-ways communication). Contoh komunikasi dua arah ini, misalnya teleconferencing, videoconferencing, emoderating, dsb-nya).

e.     Poroses belajar-mengajar di PJJ masih dimungkinkan dengan melakukan pertemuan tatap muka (tutorial), walaupun itu bukan suatu keharusan. 

f.      Selama kegiatan belajar, peserta didik cenderung membentuk kelompok belajar, walaupun sifatnya tidak tetap dan tidak wajib. Kegiatan berkelompok diperlukan untuk memudahkan peserta didik belajar. 

Miarso (2007) menyatakan bahwa istilah pendidikan terbuka (open education) merupakan istilah umum (generic). Istilah ini menggambarkan sebuah konsep pendidikan terbuka dan sepanjang hayat. Menurtu Edward yang dikutip  Dabbagh (2005), pembelajaran terbuka merupakan pendekatan baru yang menekankan kepada peralihan dari kurikulum yang telah dipatok kepada belajar yang bersifat kehendak dan kebutuhan individual melalui penciptaan fasilitas agar peserta didik dapat belajar dalam konteks sekarang dan disini. Prinsip kunci dari pmebelajaran terbuka menurut The California State University Center for Distributed Learning yang dukutip Dabbagh adalah pembelajaran yang terpusat pada peserta didik, menitikberatkan kepada proses balajar dari pada mengajar. Selain itu pembelajaran terbuka menyediakan keleluasaan kepada peserta didik untuk menentukan tujuan belajar sendiri.

Konsep pendidikan ini berbeda dengen konsep pendidikan formal konvensional dimana peserta didik harus mengikuti program pembelajaran dengan kurikulum tertentu, pada kurun waktu tertentu, jadwal tertentu dan di tempat tertentu, tidak terikat dengan persyaratan dan target maupun kualifikasi akademis seperti itu.

Dalam prakteknya pendidikan terbuka dapat diselenggarakan secara formal maupun non formal. Contoh pendidikan terbuka formal di Indonesia adalah program SMP terbuka. Program ini memfasilitasi anak-anak usia sekolah unutk belajar tanpa harus datang ke sekolah di waktu tertentu meskipun harus mencapai target tertentu untuk sertifikasi (ijazah). Contoh lain dari pendidikan terbuka adalah Universitas Terbuka yang telah diselenggarakan hampir setengah abad di negeri ini dan pelatihan jarak jauh bagi pegawai atau karyawan, kursus terbuka, konferensi, workshop dan sejenisnya.

Contoh pendidikan terbuka nonformal adalah program-program pendidikan di TV, radio, media masa cetak dan media masa elektronik lainnya seperti tayangan film kartun untuk anak usia dini, ceramah agama, kolom tertetnu di majalah dan koran, sampai informasi ilmu pengetahuan yang dimuat di internet seperti knowledge networks, knowledge portals, asynchronous learning networks, virtual classrooms, dan telelearning. Melalui media tersebut setiap orang dapat belajar kapan saja, dimana saja dan benar-benar bebas dari target tertentu.

Istilah distance education (pendidikan jarak jauh) merupakan istilah yang mengandung konsep lebih spesifik. Menurut Miarso, (2007) semua pendidikan jarak jauh adalah pendidikan terbuka namun tidak sebaliknya. Pendidikan jarak jauh adalah pendidikan terbuka yang terstruktur dan ketat karena harus mengikuti program yang telah dirancang. Jadi pendidikan jarak jauh adalah pendidikan terbuka yang bersifat formal.

Distance education (pendidikan jarak jauh), distance teaching (pembelajaran jarak jauh) dan distance learning (belajar jarak jauh) sering kali digunakan secara bergantian (interchangeable). Keegan (1991) membedakan ketiga istilah tersebut sebagai berikut. Distance Teaching menggambarkan proses pembelajaran menggunakan bahan ajar mandiri yang dapat digunakan oleh lembaga pendidikan untuk memberikan pelajaran dari jauh. Dengan perkataan lain istilah distance teaching menggambarkan kegiatan yang dilakukan oleh guru. Distance Learning lebih banyak menekankan pada proses belajar. Istilah ini menggambarkan penekanan pada bantuan-bantuan yang perlu diberikan kepada peserta didik supaya mereka belajar dan dapat memahami isi pelajarannya. Istilah Distance Education merupakan perpaduan istilah Distance Teaching dan Distance Learning (Verduin & Clark, 1991).

Dalam praktek komunikasi belajar jarak jauh dikenal istilah syncheonous (bersaman waktu) dan asynchronous (berbeda waktu). Istilah ini menunjukkan hubungan antara narasumber/turor/guru dengan peserta didik. Pembelajaran dapat terjadi secara synchronous, yaitu pertemuan antara sumber/turor/guru dengan peseta didik pada waktu yang bersamaan seperti kegiatan tatap muka, melalui telepon, chating melalui jejaring sosial atau teleconference melalui audio/video online. Kegiatan asynchronous dilakukan dalam bentuk belajar mandiri melalui membaca, tutorial melalui media cetak (modul), e-mail, video on dimand (VOD), diskusi online, simulasi onlne, online game dan sebagianya. Jadi istilah synchronous dan asynchronous menggambarkan bentuk komunkasi antara peserta didik dengan tutor/narasumber/guru dalam pendidikan jarak jauh. Dalam open learning baik asynchronous maupun synchronous merupakan pembelajaran yang tidak terjadwal.

Distributed earning memiliki konsep yang serupa dengan belajar jarak jauh namun istilah ini menggambarkan karakter dari media dan bentuk kegiatan balajarnya.  Distributed earning didefinisikan sebagai sebuah model instruksional yang melibatkan berbagai macam teknologi seperti video/audio conferencing, penyiaran via satelit dan web-base untuk membantu peserta didik belajar dengan mudah kapan saja dan dimana saja. Raiser dan Dempsey (2007) menjelaskan bahwa karekter distributed learning adalah penggunaan beragam bentuk peralatan yang menyebabkan peserta didik dapat belajar dalam berbagai bentuk.

Menurut Knowledge yang dikutip Dabbagh (2005), distributed learning adalah konsep yang menggambarkan pendidikan yang disampaikan kapan saja, dimana saja, di tempat beragam, menggunakan satu atau lebih jenis teknologi. Dabbagh menambahkan bahwa dalam konteks perkembangan teknologi IT, distributed learning menggambarkan sebuah wahana pembelajaran (learning environment) dimana peserta didik menyelesaikan program pendidikan di rumah atau di kantor dengan cara berkomuniaksi dengan penyelenggara dan peserta didik lain melalui e-mail, forum elektronik, videoconference, media komouter lainnya serta web-based teknologi lainnya. Dalam model pendidikan ini peserta didik dapat menentukan arah dan jadwal belajar menurut kebutuhan sendiri.

Berdasarkan perspektif pedagogi, menurut Dabbagh distributed learning "…result in diffuse of cognition-where what is know lies in the interaction between individual and artifact, such as computer and other technologycal devices." (terjadinya proses penyerapan pengetahuan kedalam pikiran dimana pengetahuan yang diserap terletak pada proses interaksi antara individu dengan media) (Dabbagh, 2005: 30). Dalam konsep ini sumber belajar menyebar dalam media berteknologi yang dapat diperoleh kapan saja, dimana saja tanpa terikat dengan jadwal melalui proses interaksi antara individu dengan media. Contohnya perkuliahan terbuka, pelatihan terbuka, seminar online dan sejenisnya.

 Pendidikan jarak jauh merupakan kebalikan dari pendidikan dengan pola tatap muka. Bates menggambarkan kontinum pendidikan tatap muka menuju pendidikan jarak jauh seperti pada skema berikut (Bates, 2015).

Pada skema di samping digambarkan pendekatan pendidikan dari tatap muka sampai jarak jauh beserta teknologi penyertanya. Diantara pendekatan tatap muka dan jarak jauh ada pendekatan blended (campuran tatap muka dan jarak jauh). Pada pendekatan tersebut digunakan beragam teknologi dari korespondensi sampai internet. Pada konteks teknologi Bates menggunakan konsep ditributed learning untuk pendidikan jarak jauh menggunakan internet.

Dari segi metode pendidikan dimulai dari non-e-learning hingga e-learning seluruhnya. Dalam perubahan tersebut terjadi juga perubahan bentuk komunikasi antara guru-peserta didik dari pembelajaran tatap muka pada non-online learning hingga pendidikan jarak jauh pada e-learning. Sementara itu sifat sumber belajar berubah ke arah distributred learning.

Berdasarkan penjelasan singkat di atas maka dapat disimpulkan bahwa pendidikan jarak jauh adalah sebuah bentuk pendidikan (formal maupun non formal) dimana guru dan peserta didik berada di tempat berbeda dan sebagian besar penyelenggarakan komunikasi edukatif dilakukan secara tidak tatap muka menggunakan teknologi informasi dalam berbagai bentuk dengan tujuan agar pembelajaran dapat dijangkau oleh peserta didik lebih leluasa (fleksibel) dari segi waktu, empat dan biaya. Dalam konsep tersebut terdapat empat aspek yang membangun pendidikan jarak jauh yaitu konsep pendidikan terbuka jarak jauh, organisasi pembelajaran, media pembelajaran dan pedagogi pembeljaran jarak jauh.

DAFTAR PUSTAKA

Bates, A. W. (Tony). (2015). Teaching in a Digital Age Guideline for Designing Teaching and Learning. In Teaching in a digital age. Tony Bates Associates LTD. https://doi.org/10.1017/CBO9781107415324.004

Dabbagh, N. (2005). Pedagogical Models for E-Learng: inA Theory-Based Design Framework. International Journal of Technology in Teaching and Learning, 1(1), 25–44. http://www.sicet.org/journals/ijttl/issue0501/DabbaghVol1.Iss1.pp25-44.pdf

Holmberg,  et al. (2008). The evolution, principles and practices of distance education. In Distance Education. http://www.mde.uni-oldenburg.de/download/asfvolume11_eBook.pdf

Miarso, Y. (2007). Menyemai Benih Teknologi Pendidikan. Kencana Prenada Media Group.

Peratton, H. (1993). Context. In H. Perraton (Ed.), Distance Education for Teacher Training (p. 4). Routledge. http://ir.obihiro.ac.jp/dspace/handle/10322/3933

Soekartawi. (2006). Blended e-Learning: Alternatif Model Pembelajaran Jarak Jauh di Indonesia. Seminar Nasional Aplikasi Teknologi Informasi 2006 (SNATI 2006), A-93-A-100.

Verduin, J. R., & Clark, T. A. (1991). Distance Eduction: The Foundations of Effective Practices. Jossey-Bass Publisher.

Ipsum

Delete this widget in your dashboard. This is just an example.

Dolor

Delete this widget in your dashboard. This is just an example.