Feature Top (Full Width)

ANATOMI SELF CONFLIKC

Selasa, 03 Februari 2015



Konflik dalam organisasi tidak dapat dihindari. Bahkan konflik adalah sebuah indikasi keberadaan organisasi. Adanya konflik dalam organisasi menunjukkan bahwa organisasi tersebut bernafas, menggeliat, dan bergerak. Tidak adanya konflik dalam sebuah organisasi, bisa berarti organisasi itu mati, stagnan, statis atau koma. Jadi, tidak ada konflik, tidak bagus.
Konflik dalam organisasi adalah kumpulan dari konflik-konflik yang ada dalam setiap individu (self conflick). Kalau ada lima orang yang bergerak dalam organisasi maka sedikitnya ada 5 konflik. Kalau ada seratus orang yang bergerak dalam organisasi maka sedikitnya ada seratus konflik yang bergabung. Konflik-konflik tersebut bersentuhan, berarsir, bergabung menjadi lebuh besar; bahkan bertunas membentuk cabang-cabang konflik  baru yang berbeda struktur dan karakternya. Kalau itu terjadi, organisasi berubah menjadi rumah konflik.
Konflik tidak selalu bersisi negatif. Kalau diasosiasikan sebagai kelompok kuman, tidak semua kuman merugikan. Bahkan banyak kuman yang harus dipelihara karena menjadi katalisator dalam proses kimiawi. Namun demikian jangan dibiarkan sisi negatifnya tampil lebih dominan. Ia harus dikendalikan jangan sampai menginfeksi sehingga menyebabkan abses, bernanah dan membususk.  Pembusukan itulah yang disebut masalah dalam organisasi.
Sumber  konflik bisa apa saja dari mulai masalah organisasi sampai masalah pribadi. Sumber konflik pertama dan yang paling besar adalah miskonsepsi mengenai tugas, fungsi, manfaat dan masa depan organisasi (visi dan misi). Ketika seseorang gagal memahami hal itu maka pemikiran dan tindakannya akan selalu berbeda dengan arah gerak organisasi. Ini menyebabkan tujuan organiasasi tak akan pernah tercapai. Makanya prinsip pertama dalam teori organisasi belajar Marquardt adalah shared vision. Visi harus dibangun bersama atas dasar kesepakatan. Dengan demikian akan dapat mengurangi kemungkinan individu yang tidak memahami visi. Kalaupun ada orang baru yang bergabung kedalam organisasi maka visi harus dipahamkan terlebih dahulu dan disepakati. Kalau tidak sepakat, sebaiknya orang baru tidak dibiarkan bergabung.
Sumber konflik kedua adalah jabatan dan kekuasaan. Ini masalah prestise dan kepuasan. Dalam piramida kebutuhan Abraham Maslow tergolong dalam self actualization need (kebutuhan akan aktualisasi diri).  Orang-orang yang sudah merasa berada dalam posisi tertentu dalam dirinya timbul kebutuhan, hasrat dan nafsu untuk menunjukkan atau mengaktualisasikan dirinya dalam bentuk memegang jabatan atau posisi strategis tertentu. Ketika orang-orang tersebut tidak memperolehnya, atau jebatan yang diinginkannya diraih orang lain maka terjadi rebelion (pemberontakan) terhadap tatanan yang sedang berlangsung. Biasanya ini menjadi konflik yang berkepanjangan.
Sumber konflik ketiga adalah suka dan tidak suka (like and dislike). Ini masalah perbedaan selera, perilaku, budaya, bahasa etnik, agama, cara berfikir dan perbedaan lainnya. Kelihatannya sederhana namun dapat berdampak konflik signifikan.  Ketika seseorang sudah merasa tidak suka maka apapun yang dilakukan orang yang tidak disukainya meskipun benar, tetap dipermasalahkan. Ini biasanya terjadi dalam individu yang dominan berfikir sektoral,  dogmatis, diskriminatif dan egosentris. Individu ini dominan menganggap dirinya atau kelompoknya saja yang baik dan benar, lainnya tidak. Mereka belum dapat menerima cara berfikir dan bersikap multikultural.
Sumber konflik keempat adalah keuntungan ekonomis (benefit). Ini menyangkut logika berpikir perut. Pada dasarnya individu bergabung dengan organisasi memang  untuk memenuhi kebutuhan hidup. Kalau organisasi tidak dapat memenuhi kebutuhan tersebut maka menimbulkan ketidakpuasan. Kelihatannya sumber konflik ini menjangkiti setiap individu dalam organisasi. Tidak ada seorangpun yang dapat terhindar dari sumber ini. Masalahnya ini adalah kebutuhan pokok. Makanya Maslow meletakkan kebutuhan ada pada tingkat terbawah. Orang dapat hidup tanpa jabatan namun tak dapat hidup tanpa makan.
Sumber konflik kelima adalah tabiat individu seperti rakus, angkuh, sombong, ngeyel, selfy, sulit bekerja sama dan sebagainya. Sumber terakhir ini adalah kebodohan individual namun dapat menjadi racun bagi individu di sekitarnya. Bahkan orang baik pun dapat terjangkiti. Sumber-sumber konflik sebelumnya dapat diterima akal sehat karena memiliki alasan tersendiri. Namun yang terakhir ini buta dan tuli, tidak punya tujuan, ambigu dan absurd sehingga sulit diajak kompromi. Orang seperti ini sering kali tidak merasa mengalami konflik dalam dirinya namun dapat menyebabkan konflik bagi orang lain. Orang yang mengalami konflik yang disebabkannya dapat terhindar dari konfik seperti itu apabila mau legowo memakluminya.
Konflik juga memiliki tingkatan dari tingkat rendah, menengah dan parah. Tingkatan konflik dapat kita ukur sendiri dari apa yang kita sering pikirkan setiap saat. Apabila konflik yang kita alami di tingkat rendah, kita tidak sering memikirkanya dan tidak mengganggu efektitifitas dan efisiensi kinerja. Apabila kita mulai sering memikirkannya, dan berdampak terhadap kinerja maka kemungkinan berada di tingkat menengah. Apabila kita setiap saat memikirkannya, bahkan sampai di tingkat stres seperti sulit tidur, sensitif, alergi terhadap seseorang atau sindrom lainnya; kemudian membuat orentasi kinerja kita berubah maka kita berada di tingkat konflik yang parah.
Kita masing-masing memiliki konflik dalam diri kita. Dari segi sumbernya mungkin kita memiliki satu saja, atau malah memiliki keenamnya. Dari segi tingkatannya mungkin konflik biasa saja, atau malah parah. Namun dari mana sumber konflik yang kita miliki, berapa jumlahnya dan di tingkatan apa, yang penting bagaimana kita mengelolanya. Ketika kita mengalami sebuah konflik dalam diri kita maka kita harus pandai meredamnya jangan sampai menyeruak secara berlebihan, dan juga tidak boleh memendamnya hingga terjadi konflik berkepanjangan dan tidak diselesaikan.
Untuk mengatasi terjadinya konflik pada diri, pertama setiap orang harus memiliki imunitas terhadap serangan konflik. Imunitas tersebut berupa kemampuan berpikir analisis terhadap sebab dan akibat terjadinya sumber konflik, kemampuan untuk menerima (legowo dan ikhlash) terhadap apa yang terjadi  dan sensibilitas untuk merasakan situasi pada diri orang lain.
Konflik pada diri sering disebabkan karena kita kurang analitis sehingga kita tidak paham terhadap apa yang sebenarnya terjadi. Ketidakmampuan tersebut sering menyebabkan kecurigaan dan syak wasangka. Keikhlasan juga merupakan komponen dari imunitas terhadap konflik. Seringkali kita menganggap bahawa kita harus memperoleh hak. Namun sering lupa bahwa banyak hak yang bukan milik individu melainkan milik bersama. Misalnya hak untuk memegang sebuah jabatan. Ketika kebetulan yang mendapatkan hak bersama itu bukan kita maka kita hrus menerimanya dengan ikhlash.  Konflik juga sering disebabkan karena kita tidak memiliki kemampuan untuk merasakan apa yang dirasakan orang lain. Karena kita kurang sensibel maka kemungkinan kita bisa salah ucap, salah tingkah dan salah membuat keputusan.
Kedua, kalau konflik tidak dapat dihindari maka konflik harus diredam. Konflik yang terjadi pada diri kita jangan diumbar karena bisa menjadi bumerang atau bisa menjadi konflik baru bagi orang lain.  Ketika kita mengekspresikan konflik dalam bentuk kemarahan, pemberontakan, atau agresifitas fisik maka kemungkinan besar akan berdampak negatif terhadap diri kita. Setidaknya orang lain akan berkesan negatif. Kesan negatif tersebut bisa menurunkan citra. Dalam hal ini kita membutuhkan kecerdasan emosional dalam mengelolanya. Dalam teori kecerdasan jamak Howard Gardener disebut kecerdasan intrapersonal. Salah satu triknya adalah melihat masalah dari segi positifnya dari pada segi negatifnya. Lebih baik bersikap cool untuk merespon masalah dari pada agresif. Kalau orang lain melakukan kekeliruan yang menyebabkan konflik pada diri kita lebih baik menganggap ia keliru dan lebih arif untuk memaafkannya.
Ketiga, konfliki yang terjadi jangan dipelihara. Konflik bisa seperti biji yang tumbuh mengecambah, semakin disiram dan dipupuk maka semakin cepat pertumbuhannya. Dalam waktu tertentu dapat berbunga dan berbuah. Yang jadi masalah buahnya beracun sehingga tidak dapat dimanfaatkan. Bahkan ketika jatuh ke tanah dan membusuk, racunnya akan menyebar kedalam tanah  kemudian terserap oleh akar sendiri dan akar tumbuhan lain dan menyebabkan kematian. Oleh karena itu konflik harus diselesaikan. Kalau konflik berhubungan dengan orang lain maka harus segera islah. Allah menyerukan watawa saoubil haq, watawa saubis-sobr. Kalau konfliknya agak tajam maka bernegosiasilah. Kalau belum berhasil juga maka mintalah orang lain untuk menjadi penengah.
Tentu saja menyelesaikan konflik pada diri sendiri tidaklah mudah. Rosulullah mengelompokkan perjuangan ini sebagai perang sabil. Aristoteles berseloroh I count him braver who overcomes his desires than him who conquers his enemies; for the hardest victory is over self (seseorang yang dapat mengalahkan diri sendiri lebih berani dari pada orang yang dapat mengalahkan musuh-musuhnya; mengalahkan diri sendiri adalah kemenangan paling besar.
Untuk dapat melakukannya seseorang memerlukan kerendahan hati, menerima kelemhan diri dan menerima keberadaan orang lain di sekitar kita. Itu hanya bisa kalau kita dapat menguras arogansi dan egosentrisme.

NASIONALISME YANG LUNTUR

Senin, 01 Desember 2014


Oleh: Asip Suryadi
   Hari ini tanggal 17 Agustus 2013, Hari Kemerdekaan RI ke 68. Kemarin saya dibentak seorang teman ketika saya mengatakan “Saya tidak bisa ikut upacara bendera”, karena harus mengerjakan sesuatu yang lebih penting dari sekedar upacara. Dia bilang “Dimana nasionalisme kamu?”
   Peristiwa itu membuat saya  bertanya dalam hati. Apa ukuran seorang warganegara yang memiliki rasa nasionalisme? Apakah nasionalisme cukup dinyatakan dalam bentuk menghormati bendera dan menyanyikan lagu Indonesia Raya dalam upacara? Siapa yang lebih nasionalis antara  seorang PNS yang rajin mengikuti upacara bendera tapi tidak jelas apa yang dikerjakan setiap hari dengan tukang sapu pegawai Pemda yang setiap jam lima pagi sudah stand by di jalanan membersihkan sampah bekas orang-orang lalu lalang seharian?
   Mungkin benar isi bentakan teman saya itu, nasionalisme saya telah luntur.  Materialisme, pragmatisme, globalalisme; dan juga isme-isme lain;  telah memporakporandakan sendi-sendi ke-Indonesiaan hingga tataran praktis.  Secara historis kolonialisme masa lalu telah membangkitkan ke-Indonesiaan namun kemudian isme-isme tersebut telah mengurainya kembali mejadi serpihan-serpihan sehingga secara psikis sulit disatukan. Secara de facto dan de jure Indonesia masih massif namun spirit Indonesia semakin melemah. Kata “Indonesia” hanya  diteriakan dalam yel-yel di tribun penonton ketika saya menonton tim olah raga nasional bertanding melawan tim negara lain, atau dalam kampanye partai politik menjelang Pemilu atau Pemilu Kada. Itu semua hanya ekspresi dari naluri ingin menang, bukan untuk “Indonesia”.
    Pragmatisme telah menjangkit otak saya hingga lupa terhadap jati diri.  Beberapa praktek kontra nasionalis dalam kehidupan sehari-hari akibat serangan pragmatisme misalnya perilaku sehari-hari seperti membuang sampah sembarangan, datang ke kantor kesiangan, berlalu lintas seenaknya, perilaku selalu menuntut dari pada memberi dan sejenisnya. Itu adalah bukti perilaku tidak menghargai ne-geri ini sebagai hasil jerih payah para pejuang dan founding father. Seharusnya warga negara sadar bahwa negeri ini adalah miliki semua, yang dilahirkan melalui pertumpahan darah para pejuang. Ini adalah “Ibu Pertiwi”, tidak beradab apabila anaknya berperilaku buruk. Oleh karena itu tidak boleh berperilaku sekarep  dewek (semau gue).
    Materialisme dan hedonisme telah  menjangkit jiwa saya dan jiwa bangsa ini menjadi bangsa yang serakah dan keji. Perilaku korup adalah salah satu bentuk keserakahan dan kekejian yang sangat nyata dan berbahaya. Seorang koruptor dengan tega-nya menggasak apa yang mungkin digenggam untuk kepenting-an diri dan kelompoknya. Naluri keserakahan telah mengalahkan hati nurani, akal sehat, intelektual dan kesadaran kebersamaan berbangsa dan bernegara untuk kepentingan diri dan kelompok. Bersembunyi di balik kekuasaan dengan mengatakan “Ini untuk kepentingan dan keselmatan negara”, padahal untuk melengkapi koleksi rumah mewah, mobil mewah, dan istri-istri mewah.
   Globalisasi telah menggerogoti spirit Indonesia, merangsek se-perti rayap mengunyah kayu. Wujud kayunya tetap utuh  namun dalamnya telah berubah menjadi udara dan tanah. Beberapa ukuran keporakporandaan sendi nasionalisme akibat globalisasi misal-nya, warga negara lebih bangga membeli produk bermerk luar negeri dari pada produk dalam negeri, lebih bangga menggunakan istilah-istilah asing dalam berbahasa padahal padanannya ada dalam Bahasa Indonesia, malu mengatakan “I’m Indonesian” ketika berada di luar negeri, penguasaan pengolahan sumber daya alam tidak lagi oleh perusahaan nasional, lebih baik menggunakan tenaga ahli dari luar ne-geri dari pada mendidik tenaga ahli lulusan sekolah dalam negeri, dan sejenisnya. Bangsa ini hanya marah dan berteriak ketika miliknya mau direbut bangsa lain tapi tidak mau memelihara dan mengembangkannya sehingga menjadi hak milik seutuhnya. Ibu pertiwi telah tergadai, entah berapa puluh tahun kedepan akan bisa membayarnya dan menjadi miliki kembali secara utuh. 

   Beberapa bulan lalu bangsa ini heboh karena tidak bisa goyang lidah di atas ritme kelezatan tempe gara-gara harga kedelai melambung. Katanya negeri ini negeri agraris tapi kedelai harus impor dan sang importir memainkan harga kedelai untuk menujukkan kekuasaannya. Produksi kedelai nasional hanya memenuhi 40% kebutuhan dan para kong-lomerat lebih senang berdagang barang kedelai impor dari pada mendukung para petani nasional untuk bertani kedelai berteknologi sehingga  hasilnya meningkat lalu menjual hasilnya secara beradab. Itu terjadi bukan hanya pada kedelai tapi juga pada beras, gula dan garam yang merupakan makanan dasar. Belum lagi pada produk susu dan daging.  Negeri ini tidak memiliki kedaulatan dalam bidang ekonomi, masih tetap terjajah seperti ratusan tahun yang lalu. Demikian juga dalam bidang politik, keuang-an, pendidikan, budaya dan pertahanan.
   Semua itu adalah bukti rendahnya nasionalisme. Ya, saya mengakui ada di dalamnya. Lalu bagaimana keluar dari kondisi ini? Tentu bukan pekerjaan sederhana dan instan. Harus mulai dari political will dari semua komponen bangsa.
Ada sebuah gambaran dari cerita sejarah. Tahun 1958 Bung Karno ingin membuat patung “Selamat Datang” sebagai lambang semangat kebangsaan untuk menyongsong siapa saja yang datang ke kota Jakarta. Beliau menyuruh seorang seniman untuk membangun patung setinggi 9 meter. Perintah Bung Karno ini sempat membuat sang seniman terkejut karena merasa tidak mampu untuk membuat patung sebesar itu dari perunggu.
   Apa jawaban Bung Karno. ”Kamu punya rasa bangga berbangsa dan bernegara atau tidak? Coba kamu pikir, apa saya perlu menyuruh seniman asing untuk membuat monumen di dalam negeri? Sontak, jawaban itu membuat sang seniman tersadar. Sang seniman pun mulai mencari buku belajar mengecor logam perunggu. Lima tahun kemudian patung itu selesai dengan ketinggian 6 meter setelah mendapat persetujuan Bung Karno. Sampai hari ini patung tersebut menjadi salah satu maskot Jakarta.
    Spirit nasionalisme yang ditularkan Bung Karno tersebut menggambarkan apa yang harus kita lakukan hari ini.
   Tokoh Soekarno adalah pimpinan berwibawa yang tidak sekedar memerintah namun memberi inspirasi, dan tokoh seniman menggambarkan warga negara yang memiliki spirit nasionalisme dalam bentuk konkrit yaitu itikad baik, kreatif, mandiri, tekun dan tak pantang me-nyerah. Itu adalah bentuk nasionalisme yang mudah dipahami, diamalkan dan dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari. Nasionalisme yang berwujud sederhana untuk menunjukkan bahwa bangsa Indonesia memiliki peradab-an yang unggul.
   Tanpa kedua komponen itu Indonesia yang utuh dan beradab akan susah ditegakkan.
   Jadi bentuk nasionalisme yang dibutuhkan di zaman ini bukan sekedar nasionalisme simbolik dalam bentuk meneriakkan kata “Indonesia” di depan umum, mengikut upacara bendera, menyanyikan lagu kebangasaan, hafal nama-nama pahlawan, dan sejenisnya; melainkan akhlak sehari-hari yang menggambarkan kesadaran memiliki negara dimulai membuang sampah di tempatnya sampai menghindari korupsi, kemudian bekerja keras tanpa kenal lelah pada bidang garapan masing-masing.
  Jangan sampai seperti teman saya yang menuduh saya “Tidak punya nasionlisme“. Ketika upacara dimulai saya belum melihat batang hidungnya. Ia baru masuk kedalam barisan ketika lagu Indonesia Raya dimulai. Ketika upacara selesai ia tergesa menandatangani daftar hadir dan menagih uang transport. Setelah itu ia menghilang.

Ipsum

Delete this widget in your dashboard. This is just an example.

Dolor

Delete this widget in your dashboard. This is just an example.