Feature Top (Full Width)

PENERAPAN TEORI BEHAVIORISME

Selasa, 24 Januari 2017



Oleh Asip Suryadi

Ada dua istilah yang sangat akrab dengan guru, yaitu “belajar” dan “mengajar”. Kedua kata  tersebut berasal dari kata yang sama yaitu “ajar”. Kata “ajar” menurut Kamus Besar bahasa Indonesia Online berabti “petunjuk yang diberikan kepada orang supaya diketahui (diturut)”. Terus terang saya juga baru tahu arti kata “ajar” ketika menulis topik ini sekarang. Itulah manfaatnya sering menulis.

Saya sering bertemu dengan guru madrasah dari seluruh Indonesia dan kadang saya suka usil dengan mengajukan pertanyaan kepada mereka: Apa yang dimaksud dengan “belajar”?, dan Apa yang dimaksud dengan “mengajar”? Jawabannya sangat beragam. Bahkan ada yang kelihatan sulit menjawabnya.
Saya juga inigin usil kepada Anda dengan mengajukan pertanyaan yang sama. Coba Anda jawab dengan sepontan dalam hati masing-masing, atau lebih baik menuliskannya dalam selembar kertas bekas dengan masing-masing jawaban satu kalimat singkat saja.

Anda sudah menuliskan jawabannya? Terima kasih atas jawabannya. Jawaban Anda sangat penting karena itu setidaknya konsep yang Anda pegang sebagai landasan dalam mengembagkan praktek pembelajaran. Ini memang tidak sekedar celoteh. Pengertian yang Anda pahami tenatng “belajar” dan “mengajar” merupakan gambaran pembelajaran yang Anda lakukan. Pengertian Anda tentang “belajar” sangat menentukan cara Anda “mengajar”. 

Mari kita mengkajinya agak teoretis. Ada beberapa teori yang menjelaskan apa “belajar” dan “mengajar” yaitu behaviorisme, kognitivisme, kontruktivisme, humanism, dan cyberneteisme. Lima teri tersebut disebut teori psikologi belajar dan setiap teori menjelaskan “belajar” dan “mengajar” dari perspektif berbeda. Tentu rekan-rekan juga pernah membaca teorinya, dan tentu telah mempraktekannya. Kira-kira teori mana yang sering Anda praktekkan?

Baik, kita akan mutilasi satu pe rsatu. Behaviorisme (jangan diputus-pustus  membacanya)secara historis di dunia modern merupakan teori belajar yang paling sulung. Teori ini digagas oleh ahli psikologi Rusia bernama Ivan Pavlov yang hidup tahun 1826–1890. Selanjutnya behaviorisme dikembangkan oleh John B. Watson dan B.F. Skiner.

Teori behaviorisme yang lebih sering disebut operant conditioningmenjelaskan bahwa belajar adalah perubahan perilaku sebagai akibat dari stimulus yang diberikan.  Teori ini sering sinyatakan dengan rumus S-R-Bond. Seseorang akan melakukan belajar apabila diberi stimulus dan sebagai hasil belajarnya adalah perubahan perilaku. 

Mari kuta bicarakan penerapannya. 

Anda tentu pernah melihat sirkus. Mengapa seekor singa yang buas bisa tunduk di hadapan anak kecil yang hanya memegang sebatang tongkat atau cemeti  kecil pula? Mengapa seekor gajah bisa berjoged? Mengapa seekor ikan pesut bisa berhitung? Apakah mereka cerdas seperti manusia? Jawabannya “bukan”. Mereka hanya takut terhadap sesuatu dan meniru apa yang dicontohkan dalam latihan. Tahun lalu di Jakarta pernah geger dengan “sarimin” yang banyak berkeliaran di jalanan kota Jakarta. Yang diprotes bukan sekedar masalah  kekumuhannya tapi mengenai perilaku manusia yang tidak “berprikehewanan” ketika melatih monyet untuk bisa berjoged, berpayung seperti sarimin, naik speda dan memungut uang dari tangan penonton. Mereka disiksa dalam latihan untuk memiliki perilaku-perilau tersebut. Pelatih singa menggunakan api dan strum tegangan tinggi untuk membiasakan seekor singa dapat melompati lingkaran api. Pelatih memukul ikan pesut ketika tidak menuruti perintyah dan memberikan hadiah ikan ketika melakukan aksi yang benar. Tindakan pelatih tersebut dilakukan untuk membentuk perilaku. Itulah beberapa praktek penerapan behaviorisme pada hewan.

Contoh penerapannya pada manusia diantaranya pembentukan watak disiplin pada tentara. Saya pernah menonton seorang kapten mengajar taruna menggunakan meriam. Ketika seorang taruna melakukan kesalahan kecil dalam melakukan prosedur penggunaan meriam, maka taruna taruna tersebut dipukul dengan sabuk. Sang Kapten ingin membentuk watak disiplin pada taruna karena apabila melakukan kesalahan maka kesalahannya akan menjadi malapetaka bagi dirinya dan orang di sekelilingnya.

Dam bidang pendidikan Anak misalnya, seorang ibu/guru memberikan hadiah peremen kepada anaknya yang membuang sampah di tematnya, dan menghukumnya ketika membuang sampah sembarangan. Seorang guru matematika melatih siswa cara menyelesaikan operasi hitung dengan instruksi : kalau begini maka harus ….. Seorang wali kelas menerapkan aturan dengan cara memuji siswa yang menepati aturan dan menghukum yang tidak menepati aturan. 

Strategi tersebut dilakukan untuk membiasakan perilaku. Apakah Anda melaklukannya?
Dalam dunia pendidikan anak teori tersebut sudah banyak ditinggalkan. Alasannya karena kurang manusiawi , dan kurang mengedepankan intelektualitas. Bisa jadi ketika seorang siswa bisa menlakukan operasi hitung tertentu bukan karena paham, melainkan karena kebiasaan sebagai hasil dari latihan yang tekin. Masalahnya, ketika diberi soal yang berbeda, mereka tidak terbiasa dan tidak bisa mengerjakannya. Mereka bilang, “belum diajarkan buuuu/pakkkkk”. Mungkin Anda sering mengalaminya. Lain lagi kalau mereka paham konsepnya, ketika diberi soal yang berbeda mereka akan berpikir untuk mencari solusi. 

Kelemahan lain, teori ini hanya digerakkan oleh motivasi internal. Peserta didik akan merespon apabila diberi stimulus. Mereka akan diam saja apabila tidak diberi stimulus. Artinya teori ini dapat menyebabkan siswa pasif. Misalnya, mereka memtaati aturan karena takut dihukum, bukan karena kesadaran bahwa kalau melanggar aturan maka akan meruguikan dirinya dan orang lain.

Tentu saja tidak dilarang untuk menerapkan teori ini , namun harus di ranah yang tepat. Misalnya dalam menegakkan aturan, namun tidak degnan humuman yang tidak edukatif.

Beberapa contoh penerapan behaviorisme yang dilarang.

  1. Anak yang sering kesiangan diberi hukuman dengan cara ditahan di gerbang.
  2. Anak yang tidak membuat PR dihukum dengan berdiri di depan kelas atau mengerjakan PR lebih banyak.
  3. Melatih siswa mengerjakan soal sejenis sampai dia bisa, tapi tidak berusaha agar siswa paham konsepnya.
Mari kita diskusikan

DJJ ONLINE DIKLAT TAK PERNAH USANG

Kamis, 28 April 2016




Belakangan terjadi drama jalanan yang membuat beberapa titik penting di ibu kota lumpuh seharian. Gara-garanya para supir angkutan umum tradisional khusunya ojek dan taksi berdemo memprotes keberadaan angkutan umum beraplikasi olnlineyang dua tahun terakhir mulai menjamur. Peristiwa ini membuat heboh semua kalangan hingga menteri dan presiden pun angkat bicara.
Yang jadi pemicu menurut para supir angkutan tradisional adalah menurunnya pendapatan mereka karena penumpang beralih ke angkutan beraplikasi online. Bagi para supir angkutan umum tradisional ini masalah genting. Lahan pencaharian mereka direbut begitu saja dengan mudah. Lalu “Kami mau makan apa? Bagaimana bayar biaya sekolah anak-anak? Selain itu mereka illegal. Oleh karena itu mohon pemerintah menghapuskannya.” Begitu teriak para supir angkutan umum tradisional.
Selidik punya selidik, mengapa penumpang beralih ke angkutan beraplikasi onlineternyata karena angkutan ini tarifnya lebih murah dan dapat dipanggil kapan saja ketika penumpang ada dimana saja. Penumpang tidak harus pergi ke halte, pangkalan atau terminal, tapi angkutan yang menghamiri penupang. Jelas ini lebih menguntungkan penumpang. Selain itu mereka tepat waktu. Jadi “Ngapain harus susah-susah. Ini zaman Online”, kata penumpang.
Teknologi online adalah kenyataan. Waktu telah melahirkannya tanpa beban apapun. Semua bangsa dari masyriki sampai maghribi ikhlas menerima kehadirannya. Dahsyatnya, teknologi ini memiliki daya tarik luar biasa. Sekarang ini hanya generasi “Y“ yang paling terbelakang saja yang di tangannya tidak menempel teknologi online.
Terteknologi online tidak dapat dihindari, apalagi dilawan. Siapa saja yang menolaknya, atau menghindarinya, maka tidak  punya masa depan, akan gulung tikar. Menurut  pernyataan para ahli, itu yang sedang terjadi pada angkutan tradisional. Mereka sedang melawan waktu, dan mereka terancam punah. Seharusnya mereka tidak melawan, melainkan menyesuaikan.
Kasus semacam tersebut dapat terjadi di segala bidang, tak terkecuali di dunia Diklat. Kalau saja praktek kediklatan tidak mengakomodasi tren online, atau malah menolaknya, saya kira tidak harus menunggu lima tahun untuk menjadi usang. Bagaimana tidak, sistem informasi sudah menggunakan aplikasi online; media dan sumber belajar sejak lama sudah dapat disajikan di dunia maya, dan pegawai dapat mengaksesnya semakin mudah dan murah. Seiring dengan itu teknologi onlinetelah mendorong revolusi cara berkomunikasi yang berdampak terhadap revolusi perilaku belajar. Hal itu berimplikasi terhadap revolusi kurikulum Diklat, tuntutan kompetensi widyaiswara, strategi pembelajaran dan sistem pengelolaan. Komponen-komponen tersebut menjadi satu paket revolusi sistem Diklat Abad 21 yang salah satu karakternya adalah berbasis teknologi online.
Mari kita kaji Diklat kita sekarang ini. Apakah kurikulumnya sudah memenuhi tuntutan kompetensi Abad 21? Apakah widyaiswara sudah memiliki kompetensi Abad 21? Apakah sudah menerapkan metodologi Abad 21? Masih agak sulit menjawabnya karena belum ada data empirik yang dapat disajikan. Bagi saya, masih sering melihat Diklat yang banyak diselenggarakan di lingkungan Kemenag sekarang lebih cenderung Diklat tradisional. Rasanya, secara konseptual Diklat sekarang tidak berbeda signifikan dengan Diklat Prajabatan yang saya ikuti 20 tahun lalu. Hanya tren materi dan medianya yang diganti.
Mari kita lihat tren Diklat di luar lingkungan kita. Sejak beberapa tahun tumbuh merebak bentuk-bentuk fasilitas belajar berbasis online yang dapat menunjang pengembangan karir. Sebut saja salah satunya “Indonesia X” (https://indonesiax.co.id/tentang-indonesiax), sebuah e-learning a-la Indonesia yang menyajikan berbagai pendidikan dan latihan keterampilan hidup. Atau yang a-la luar negeri seperti Futurelearn(https://www.futurelearn.com/). Pada e-learning tersebut suguhan materi, tutor dan strategi pembelajarannya sudah menggunakan konsep pembelajaran berbasis ICT.
Diklat-diklat tersebut menawarkan alternatif baru dunia kediklatan. Bagi pegawai yang sudah melek ICT, pendidikan dan latihan ini lebih menarik. Mereka dapat memilih materi sesuai dengan kebutuhan, tidak terikat dengan waktu, tidak harus pergi meninggalkan pekerjaan dan tidak mahal. Selain itu bentuk Diklat tersebut termasuk kedalam bentuk pengembangan kompetensi yang harus dilakukan oleh paegawai sesuai tuntutan Undang-Undang ASN. Lama-lama para pegawai akan mengatakan “Ngapain ikut diklat “tradisional”. Ngabis-ngabisin waktu dan duit. Enakan ikut Diklat online. Murah, mudah dan tetap dapat mengerjakan tugas.” Tidak mustahil kalau Pusdiklat dan Balai Diklat Kemenag makin lama makin susah mencari peserta diklat. Diklat tradisional bisa jadi di ambang senja kala.
Tapi alhamdulillah kegalauan saya terobati. Tahun 2015 terbit Surat Keputusan Kepala badan Litbang dan Diklat Nomor 75 Tahun 2015 Tentang Pedoman Pengembangan Information and Communication Technology (ICT) di Lingkungan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama. Pasal 12 surat keputusan tersebut menegaskan bahwa e-Diklat Jarak Jauh merupakan aplikasi yang wajib digunakan dalam menyelenggarakan Diklat di lingkungan Badan Litbang dan Diklat Kemenag. Aplikasi tersebut harus dikembangkan oleh Pusdiklat selambat-lambatnya tahun 2016 dan setiap unit kediklatan wajib memanfaatkan aplikasi tersebut.
Sementara ini inisiasi telah dilakukan di Pusdiklkat Tenaga Teknis Pendidikan dan Keagamaan (PTTPK). Mulai tahun 2015 PTTPK telah merancang bangun konsep, mengembangkan kurikulum dan membangun Learning Management  System (LMS) Diklat Jarak Jauh (DJJ) Online. Tahun 2016 PTTPK mulai sosialisasi ke setiap BDK. Diharapkan mulai diujicoba tahun ini sehingga memperoleh masukan untuk tahun depan.
Harapan saya, tiga tahun yang akan datang   DJJ onlinemenjadi pilihan utama seperti halnya pilihan para penumpang terhadap angkutan umum berbasis online. Setelah beberapa tahun DJJ Onlinemenghilang seperti ditelan malam, esok lusa akan hadir lagi dengan wajah zaman. Dengan demikian Diklat di Kementerian Agama tidak akan pernah usang.

Prosedur Pelaksanaan PTK

Kamis, 13 Agustus 2015


Prosedur PTK

Kita sudah mendiskusikan karakteristik PTK. Melalui diskusi tersebut Anda pasti sudah mulai memahmi definisi PTK, bagaimana cara berpikirnya dan apa fungsinya. Sekarang mari kita diskusi mengenai bagaimana melakukannya.
Sebagai sebuah metode ilmiah PTK pada dasarnya memiliki pola umum yang sama dengan penelitian lainnya  yaitu identifikasi dan rumusan masalah, menentukan metode, mengkaji pustaka, merumuskan hipotesis (lalau diperlukan), mengumpulkan data, mengolah data dan menyimpulkan. Namun demikian ada beberapa ciri khas PTK yang berbeda dengan penelitian lainnya. Pertama PTK berbentuk uji coba tindakan (bukan eksperimen laboratorium, survey lapangan, kaji pustaka atau biography). Kedua, penelitian dilakukan dalam beberapa putaran yang disebut siklus. Ketiga, putaran berikutnya merupakan perbaikan tindakan dari tindakan putaran sebelumnya. Keempat, perbaikan pada siklus berikutnya merupakan hasil refleksi dari siklus sebelumnya.
Kemmis mengutip penjelasan lewin mengenai prosedur action research sebagai berikut. ... consisted in analisys, fact-finding, conceptualisation, planning, execution, more fact-finding or evaluation; and repetition of this whole circle of activities; indeed a spiral of such circle (Kemmis, ibid). Jadi dalam paradigma Lewinian, penelitian tindakan dilakukan dengan prosedur sebagai berikut.
1.    Menganalisis masalah nyata;
2.    Mengumpulkan fakta-fakta pendukung keberadaan masalah;
3.    Merumuskan masalah dengan jelas;
4.    Merencanakan tindakan;
5.    Melakukan tindakan (eksekusi);
6.    Mengevaluasi hasil tindakan dan merumuskan pernyataan (judgement) perbuhana;
7.    Mengulangi seluruh kegiatan dalam beberapa siklus.
Satu putaran yang dimaksud Lewin disebut satu siklus. Sebuah penelitian dapat terdiri dari beberapa siklus. Penelitian akan diakhiri apabila sudah terlihat adanya perubahan yang diinginkan. Sudah barang tentu pengulangan kegiatan tersebut substansinya tidak sama. Siklus kedua dilakukan dengan cara yang sama namun diawali dengan perubahan hasil refleksi yang dilakukan pada siklus pertama. Demikian juga kegiatan pada siklkus ketiga, diawali dari perubahan yang terjadi pada siklus kedua sehingga terjadi perubahan terus menerus. Dengan demikian sebenarnya putaran lebih menyerupai spiral dari pada siklus.
Ada beberapa model penelitian tindakan yang sering digunakan. Diantaranya Model Kurt Lewin, Model Kemmis dan McTaggart, Model John Elliot, Model Dave Ebbutt dan model lainnya. Model-model tersebut memiliki konsep dan prinsip yang sama namun digunakan dalam konteks yang berbeda. Didalam setiap model tersebut digambarkan cara berpikir, konteks dan dan prosedur pelaksanaannya.
Kita sebaiknya mengenal model-model tersebut untuk menambah awawasan dan kedalaman pemahaman mengenai PTK. Anda dapat mempelajari model-model tersebut di bagian lain modul ini. Dalam bagian ini kita akan mendiskusikan model PTK Kemmis-McTaggart yang sangat popular dan cenderung digunakan secara umum oleh para praktisi di Indonesia. Kita akan menggunakan model ini untuk latihan pada kegiatan berkutnya.

Reconnaissance
Sebelum melaksanakan PTK Anda harus mengawalinya dengan kegiatan pra-PTK yang disebut reconnaissance. Langkah pertama adalah mengeidentifikasi masalah yang berkaitan dengan pembelajaran di sebuah kelas. Pada langkah ini Anda membuat daftar masalah yang dirasakan. Setelah itu pilihlan salah satu masalah yag paling meresahkan dan perlu segera diselesaikan. Salah satu teknik untuk mengidentifikasi keberadaan masalah adalah dengan cara melakukan refleksi pembelajaran.
Langkah berikutnya, Anda harus melakukan verivikasi apakah masalah tersebut jelas keberadaannya. Langkah ini penting karena penelitian hanya boleh dilakukan apabila masalahnya benar-benar ada. Pada fase ini Anda harus mengajukan pertanyaan: Apa bukti keberadaan masalah? Yang perlu dilakukan pada langkah ini adalah mencari fakta keberadaan masaah. Fakta dapat berbentuk data kualitatif maupun kuantitatif. Data kuantitatif boleh berbentuk skor atau nilai hasil tes, nilai raport, angka hasil survey dan sejenisnya. Data kulitatif dapat berupa hasil pengamatan, hasil wawancara, foto, video dan sejenisnya.
Ketika Anda sudah dapat memverifikasi keberadaan masalah, maka selanjutnya Anda harus menelisik apa penyebab timbulnya masalah. Pada fase ini Anda harus brainstorming dan melakukan penelitian untuk menjawab pertanyaan: Apa penyebab masalah? Anda mungkin perlu melakukan wasancara dengan siswa, diskusi dengan kolega, bertanya kepada ahli atau dengan kegiatan lainnya.
Langkah terakhir pada kegiatan reconnaissance adalah brainstorming mengenai bentuk tindakan sebagai alternative solusi untuk menyelesaikan masalah. Dalam fase ini Anda harus mengkaji teori, diskusi dengan kolega, diskusi dengan expert, mengikuti seminar atau sejenisnya sehingga Anda mendapatkan inspirasi tindakan. Hal itu harus dilakukan karena pemilihan tindakan harus bersifat teoretis dan argumentative. Jangan sampai Anda memilih tindakan sekenanya sehingga penelitian menjadi tidak ilmiah dan kemungkiana nanti akan menjadi kendala dalam perjalanan melaksanakan penelitian.
Hasil reconnaissance ini akan Anda gunakan ketika menyusun rancangan penelitian dalam bentuk proposal. Data-data hasil recconaisance dapat digunakan untuk menyusun latar belakang, merumuskan judul penelitian, rumusan masalah, merumuskan tujuan dan draft kajian pustaka. Tanpa reconnaissance kemungkinan besar Anda akan kesulitan dalam penyusunan proposal.

Model Kemmis dan McTaggart
Setelah Anda selesai melakukan reconnaissance, selanjutnya Anda melaksanakan PTK. Model yang biasa digunakan adalah model Kemmis-McTaggart. Model ini dilakukan melalui empat langkah empat langkah yaitu planning (perencanan), acting (tindakan), observing (pengamatan) dan reflecting (refleksi). Berkut ini rincian kegiatan pada setiap langkah. Langkah tersebut dapat digambarkan dalam skema berikut.

a.    Planning (Rencanaan).
Pada langkah ini Anda menindaklanjuti hasil reconnaisance dengan cara menyusun rancangan penelitian. Bentuk ril dari rancangan penelitian adalah proposal penelitian.
Poin-poin penting yang harus dilakukan pada langkah ini yaitu merumuskan masalah, merumuskan tujuan penelitian, menentukan tindakan, merancang seting penelitian, menentukan jumlah siklus dan pertemuan, menentukan materi ajar, ,  menentukan teknik dan instrumen pengumpulan data dan menyusun jadwal penelitian. Yang harus dirancang termasuk rencana pembelajaran untuk pertemuan pada siklus pertama.
Perencanaan perlu disusun secara sistematis, logis dan kontekstual.  Dengan rencana yang dilakukan Anda akan memiliki bekal untuk melaksanakan penelitian dan Anda akan melaksanakan penelitian sesuai dengan rancangan tersebut.

b.    Action (Tindakan) dan Observing(Pengamatan)
Pelaksanaan dan observasi dilakukan bersamaan. Dalam langkah ini peneliti dan kolaborator berkumpul di kelas tempat subjek penelitian. Peneliti atau guru lain melaksanakan pembelajaran sesuai dengan rencana pembelajaran yang telah disiapkan sealamiah mungkin. Para kolaborator sebagai observer hadir di kelas mengambil posisi di sekitar siswa untuk merekam kegiatan. Tugas observer hanya merekam data, tidak berhak untuk mengintervensi pembelajaran. Diupayakan agar para observer seoptimal mungkin tidak mengganggu kealamiahan pembelajaran.


Observer sedang merekam kegiatan belajar
Jumlah pelaksanaan dan pengamatan (actingdan observing) sesuai dengan rencana yang telah dirancang dalam proposal. Apabila PTK dirancang tiga siklus dan setiap siklusnya 2 pertemuan maka pelaksanaan dan pengamatan akan dilaksanakan sebanyka 6 kali.  Peneliti boleh mengubah rencana pertemuan sesuai dengan kondisi atau atas rekomendasi yang dihasilkan dari kegiatan refleksi.
Jenis data yang dikumpulkan haarus sesuai dengan rumusan masalah. Jangan samapai para observer terlalu banyak mengumpulkan data namun tidak relevan dengan  rumusan masalah. Oleh karena itu jenis data yang harus dikumpulkan harus ditegaskan dari awal dalam proposal penelitian.
Data dapat berupa catatan pengamatan, foto, video, hasil wawancara dan jenis lain yang memungkin diperoleh. Wawancara penting dilakukan oleh observer untuk mendalami data hasil pengamatan. Wawancara dilakukan setelah pembelajaran selesai.
Untuk memperoleh data-data tersebut observer boleh dibekali dengan pertanyaan pengarah atau tabel pengamatan. Hal ini penting agar para observer merekam data yang memang benar-benar dibutuhkan sesuai denga rumusan masalah.
Observer harus hadir dari awal sampai akhir pembelajaran agar memperoleh data yang lengkap. Berikut ini beberapa rambu bagi para observer.
  1. Setelah memasuki ruangan kelas dengan tertib, semua observer hendaknya tidak lagi keluar masuk kelas, dan bersiap mengamati pembelajaran dengan menempatkan diri pada posisi yang paling tepat untuk mengamati siswa. Posisi yang tepat adalah di depan atau di samping siswa, sehingga observer dapat memperhatikan gerak-gerik dan raut wajah siswa ketika belajar.
  2. Observer dapat berpindah posisi pengamatan jika perlu, misalnya mendekat ke siswa dalam kelompok, namun jangan sampai mengalihkan perhatian siswa dari belajar atau menghalangi pandangan siswa.
  3. Pada awalnya, disarankan agar setiap observer berlatih mengamati satu kelompok atau beberapa siswa saja. Namun jika sudah merasa lebih mahir, observer dapat mengamati beberapa kelompok lain atau mengamati siswa dalam kelas secara keseluruhan.
  4. Selain mengamati aktivitas belajar siswa, observer juga harus memperhatikan langkah-langkah pembelajaran yang dilakukan oleh guru secara proporsional. Jika pandangan semua pengamat mengarah pada guru, maka dapat menimbulkan perasaan kurang nyaman atau “grogi” pada guru model.
  5. Tidak membantu guru peserta dalam proses pembelajaran dalam bentuk apapun. Misalnya ikut membagikan LKS, menenangkan siswa, dan lain-lain. Biarlah guru melakukan tugasnya secara mandiri dan terbebas dari intervensi siapapun. Observer bukan bagian dari ”team teaching”.
  6. Tidak membantu siswa dalam proses pembelajaran, misalnya mengarahkan pekerjaan siswa atau bertanya sesuatu kepada siswa yang sedang belajar. Jika siswa bertanya kepada Anda (sebagai pengamat), katakan agar siswa bertanya langsung pada guru.
  7. Tidak mengganggu pandangan guru/siswa selama pembelajaran. Jika Anda sedang mendekati siswa dalam kelompok atau berada di tengah-tengah kelas, kemudian tiba-tiba guru ingin memberikan arahan secara klasikal maka segeralah menepi agar tidak mengganggu pandangan siswa.
  8. Tidak mengganggu konsentrasi siswa dalam belajar, misalnya berbicara dengan pengamat  lain, keluar masuk ruangan, dll.
  9. Jika menggunakan kamera untuk mengambil gambar kegiatan belajar (guru/siswa) lampu kilat (flash) hendaknya dimatikan. Kilatan lampu kamera dapat mengganggu atau menghentikan konsentrasi belajar siswa.
  10. Gunakan lembar pengamatan yang tersedia untuk mencatat hasil pengamatan Anda. Jika fenomena yang diamati tidak tercantum dalam bagian lembar observasi, pengamat dapat menambahkannya sebagai catatan tambahan.
  11. Pengamat harus melakukan pengamatan secara penuh sejak awal sampai akhir pembelajaran.
Peneliti / guru yang melaksanakan pembelajaran juga jangan lupa membuat catatan mengenai pelaksanaan pembelajaran yang dia lakukan. Dalam catatan tersebut peneliti dapat dipaparkan perasaan dalam melaksanakan pembelajaran, temuan hasil pengamatan terhadap kegiatan belajar siswa, kesesuaian RPP dengan realisasinya, waktu pelaksanaan, dampak media yang digunakan terhadap kegiatan belajar dan sebagainya.
Semakin banyak data yang dikumpulkan maka semakin baik. Berdasarkan pengalaman sering kali peneliti kesulitan menyusun laporan PTK akibat kurrang lengkapnya data.
Data yang terkumpul kemudian digabungkan dan dikonfirmasi dengan data hasil pengamatan observer. Peneliti harus segera mengumpulkan dan menyimpan data yang telah dikumpulkan pada pertemuan tersebut. Sebaiknya langsung ditik dalam komputer dan disimpan dengan backup di beberapa bantuk seperti flash dish atau CD. Ada baiknya disimpan di web dalam bentuk e-mail, web sendiri (kalau punya)  atau blog. Akan lebih aman lagi kalau dilengkapi dengan printoutnya.

c.    Reflection (Refleksi)
Ketika peneliti dan kolaborator selesai melaksanakan pertemuan satu siklus maka dilakukan kegiatan refleksi. Dalam PTK refleksi bukan dilakukan setiap selesai pertemuan melainkan setiap selesai satu siklus. Jadi kalau kita merencanakan PTK tiga siklus dan setiap siklus terdiri dari 2 pertemuan maka refleksi dilakukan tiga kali bukan enam kali.
Refleksi meliputi kegiatan analisis, sintesis, penafsiran (penginterpretasian), dan menjelaskan data yang dikumpulkan melalui kegiatan observasi. Data-data tersebut setelah diolah kemudian dibandingkan dengan target-target yang telah dtetapkan dalam kriteria keberhasilan.  Hasil dari refleksi adalah rekomendasi perbaikan yang akan menjadi pertimbangan dalam merencanakan siklus berikutnya.
Pada dasarnya forum refleksi dilakukan dalam bentuk diskusi formal, namun non formal juga tidak masalah. Yang penting adalah mengarah kepada tujuan.


Kegiatan refleksi

Yang pertama harus berbicara adalah penelitia untuk menyampaikan kesan mengenai pembelajaran yang telah dilakukan dalam siklus tersebut. Selanjutnya setiap kolaborator menyampaikan tanggapan masing-masing dan dibahas secara tuntas. Kegiatan refleksi harus membahas data terkait dengan rumusan masalah yang telah diajukan.



Referensi

Burns, Anne. 1999. Collaborative AR for English Teachers. Cambridge, UK: Cambridge University Press.
_____ 2010. Doing AR in English Language Teaching. New York: Routledge.
Cohen, L., Manion, L., & Morrison, K. 2000. Research Methods in Education. London, UK: Routledge Falmer.
Cowie, N. 2001. “It’s not ARyet, but I’m getting there” approach to teaching writing. In J. Edge (Ed.), AR (pp. 21–33). Alexandria, VA: TESOL.
Creswell, John W. 2008. Educational Research: Planning, Conducting, and Evaluating Quantitative and Qualitative Research. New Jersey: Pearson.
Ferrance, E. 2000, Themes in Education: Action Research, The Education Alliance: Brown University, Providence, Rhode Island.
Gabel, Dorothy. 1995. “An Introduction to Action Research”. Disampaikan dalam pidato pembukaan National Association for Research in Science Teaching (NARST) di San Francisco, April 24, 1995.
Gall, J.P., Gall, M.D., and Borg, W.R. 1999. Applying Educational Research: A Practical Guide (4th Ed.). New York: Longman.
Johnson, A.P. 2005. A Short Guide to AR (2nd ed.). Boston: Allyn and Bacon.
Kemmis, S., & McTaggart, R. (Eds.). 1988. The AR Planner. Geeloong, Victoria, Australia: Deakin University Press.
Koshy, Valsa. 2005. AR for Improving Practice. Paul Chapman Publishing London.
McKay, Sandra Lee. 2008. Researching Second Language Classrooms. New jersey: Lawrence Erlbaum Associates, Inc., Publishers
McKeachie, W.J. 1999. Teaching Tips: Strategies, Research and Theory for College and University Teachers. Boston: Houghton Mifflin.
McMillan, J. H., & Schumacher, S. 2006. Research in Education: Evidence-Based Inquiry (6th ed.). Boston: Pearson.
Gwynn, Mettetal. 2002. “Improving Teaching through Classroom Action Research”. Diterbitkan dalam jurnal Toward the Best in the Academy Vol. 14, No. 7, 2002-2003 diunduh pada tanggal 27 Oktober 2009 dari: http://academic. udayton.edu/FacDev/Newsletters/EssaysforTeaching Excellence/
_____ 2001. “The What, Why and How of Classroom Action Research”. Diterbitkan dalam jurnal The Journal of Scholarship of Teaching and Learning (JoSoTL)Volume 2, Number 1 (2001).
Mills, G.E. 2003. Action Research: A Guide for the Teacher Researcher (2nd ed.). New Jersey: Merrill Prentice Hall.
Nunan, D. 1992. Research Methods in Language Learning. Cambridge, UK: Cambridge University Press.
Sagor, R. 2004. The AR Guidebook: A Four-Step Process for Educators and School Teams. Thousand Oaks, CA: Sage.
Sulipan. (n.a.)  “Penelitian Tindakan Kelas”. Makalah, disusun untuk Program Bimbingan Karya Tulis Ilmiah secara Online Dan Program Peningkatan Kompetensi Guru Sekolah Indonesia di Luar Negri. Diunduh pada tanggal 15 Juni 2008 dari:  http://massholeh.webs.com/sulipan.pdf
Tomal, D.R. 2005. AR for Educators. Lanham, Maryland: Rowman and Littlefield.
Weimer, M. 1996. Improving your Classroom Teaching. Newbury Park, CA: Sage.

Ipsum

Delete this widget in your dashboard. This is just an example.

Dolor

Delete this widget in your dashboard. This is just an example.