Feature Top (Full Width)

INDIKATOR SIKAP

Minggu, 13 Februari 2022


 

Merumuskan indikator hasil belajar sikap spiritual

Indikator sikap spiritual adalah perilaku yang dapat diamati terkait dengan ibadah dalam kehidupan sehari-hari. Untuk mata pelajaran Pendidikan Agama dan Budi Pekerti (PABP) dan PKn, indikator diturunkan dari KD. Untuk mata pelajaran lainnya indikator diturunkan dari nilai-nilai spiritual yang akan ditanamkan. Contoh pada mata pelajaran PAI.

 1.1.        Terbiasa membaca al-Qur’an dengan meyakini bahwa kontrol diri (mujahadah an-nafs), prasangka baik (husnuzzan), dan persaudaraan (ukhuwah) adalah perintah agama.

 

Untuk menjabarkan KD tersebut kedalam indikator maka harus dilihat kata kunci yang terkandung dalam kalimat KD tersebut. Apabila kita identifikasi, kita dapat menemukan kata kunci berikut: terbiasa membaca Al-Quran, mengontrol diri, berbaik sangka dan persaudaraan. Berdasarkan kata kunci tersebut kata kunci untuk kompetensi spiritualnya adalah “terbiasa membaca Al-Quran”. Indikator untuk KD tersebut misalnya: Membaca Al-Quran minilam satu kali setiap hari.

 

Dari keempat indikator tersebut hanya satu yang menjadi indikator sikap spiritual yaitu nomor 1, sedangkan indikator lainnya termasuk indikator sosial.

 

Mari kita lihat KD mata pelajaran PKN:

1.1.        Mensyukuri nilai-nilai Pancasia dalam praktik penyelenggaraan pemerintahan Negara sebagai salah satu bentuk pengabdian kepada Tuhan Yang Maha Esa.

 

Pada KD ini kata kuncinya adalah “menysukuri”. KD ini sulit ditemukan indikatornya karena substansinya “nilai-nilai Pancasia dalam praktik penyelenggaraan pemerintahan Negara” agak sulit dikaitkan dengan perilaku ibadah. Indikator yang paling dekat misalnya: Berdoa sebelum dan sesudah melakukan kegiatan. Jadi apabila sulit mencari indikatornya maka kembali lagi ke 11 nilai spiritual seperti nilai-nilai spiritual untuk mata pelajaran selain Agama dan PKN.

 

Untuk mata pelajaran selain PABP dan PKn indikator spiritual terdiri dari 10 poin sebagaiberikut:

  1. Berdoa sebelum dan sesudah melakukan kegiatan.
  2. Menjalankan ibadah sesuai dengan agama yang dianut.
  3. Memberi salam pada saat awal dan akhir kegiatan.
  4. Bersyukur atas nikmat dan karunia tuhan yang maha esa.
  5. Mensyukuri kemampuan manusia dalam mengendalikan diri.
  6. Bersyukur ketika berhasil mengerjakan sesuatu.
  7. Berserah diri (tawakal) kepada tuhan setelah berikhtiar atau melakukan usaha.
  8. Menjaga lingkungan hidup di sekitar satuan pendidikan.
  9. Memelihara hubungan baik dengan sesama umat ciptaan tuhan yang maha esa.
  10. Bersyukur kepada tuhan yang maha esa sebagai bangsa indonesia.
  11. Menghormati orang lain yang menjalankan ibadah sesuai dengan agama yang dianut.

Untuk setiap RPP dapat mengambil beberapa indikator di atas dengan cara memilih indikator yang cocok dengan substansi materi KD pengetahuan. Contoh untuk mata pelajaran sejarah berikut.

 

3.3. Menganalisis dampak politik, budaya, sosial, ekonomi, dan pendidikan pada masa penjajahan bangsa Eropa (Portugis, Spanyol, Belanda, Inggris) dalam kehidupan bangsa Indonesia masa kini.

 

Dari sebelas indikator di atas mana indikator spiritual yang tepat dengan substansi materi KD 3.3.? Bisa dipilih beberapa indikator yang paling tepat, misalnya:

  1. Bersyukur atas nikmat dan karunia tuhan yang maha esa.
  2. Bersyukur atas nikmat dan karunia tuhan yang maha esa
  3. Bersyukur kepada tuhan yang maha esa sebagai bangsa indonesia.

  

Merumuskan indikator hasil belajar sikap sosial

Indikator untuk KD dari KI-2 mata pelajaran PABP dan PPKn dirumuskan dalam perilaku spesifik sebagaimana tersurat di dalam rumusan KD mata pelajaran tersebut. Berikut contoh KD Spiritual mata pelajaran PABP kelas X:

 

2.1. Menunjukkan perilaku kontrol diri (mujahadah an-nafs), prasangka baik (husnuz-zan), dan persaudaraan (ukhuwah) sebagai implementasi perintah Q.S. al- Hujurat/49: 10 dan 12 serta Hadis terkait.

 

Indikator untuk KD tetsebut seperti sudah tertulismisalnya sebagai berikut:

  1. Tidak cepat marah ketika tersinggung.
  2. Berbaik sangka terhadap teman.
  3. Memiliki hubungan baik dengan teman.

Sementara indikator sikap sosial mata pelajaran lainnya dirumuskan dalam perilaku sosial secara umum dan dikembangkan terintegrasi dalam pembelajaran KD dari KI-3 dan KI-4. Berikut contoh indikator-indikator sikap sosial.

1.     Jujur, yaitu perilaku dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan. Indikator:

(a) tidak berbohong.

(b) tidak menyontek dalam mengerjakan ujian/ulangan.

(c) tidak menjadi plagiat (mengambil/menyalin karya orang lain tanpa menyebutkan sumber).

(d) mengungkapkan perasaan apa adanya;

(e) menyerahkan kepada yang berwenang barang yang ditemukan;

(f) membuat laporan berdasarkan data atau informasi apa adanya; dan

(g) mengakui kesalahan atau kekurangan yang dimiliki.

2.  Disiplin, yaitu tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada berbagai ketentuan dan peraturan. Indikator disiplin antara lain:

(a) datang tepat waktu;

(b) patuh pada tata tertib atau aturan bersama/satuan pendidikan; dan

(c) mengerjakan/mengumpulkan tugas sesuai dengan waktu yang ditentukan, mengikuti kaidah berbahasa tulis yang baik dan benar.

3.  Tanggung jawab, yaitu sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya, yang seharusnya dia lakukan, terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan (alam, sosial dan budaya), negara, dan Tuhan Yang Maha Esa. Indikator tanggung jawab antara lain:

(a) melaksanakan tugas individu dengan baik;

(b) menerima risiko dari tindakan yang dilakukan;

 (c) tidak menyalahkan/menuduh orang lain tanpa bukti akurat;

(d) mengembalikan barang pinjaman;

(e) mengakui dan meminta maaf atas kesalahan yang dilakukan;

(f) menepati janji;

(g) tidak menyalahkan orang lain untuk kesalahan tindakan sendiri; dan

(h) melaksanakan apa yang pernah dikatakan tanpa disuruh/diminta.

4.  Toleransi, yaitu sikap dan tindakan yang menghargai keberagaman latar belakang, pandangan, dan keyakinan. Indikator toleransi antara lain:

(a) tidak mengganggu teman yang berbeda pendapat;

(b) menerima kesepakatan meskipun ada perbedaan pendapat;

(c) dapat menerima kekurangan orang lain;

(d) dapat memaafkan kesalahan orang lain;

(e) mampu dan mau bekerja sama dengan siapa pun yang memiliki keberagaman latar belakang, pandangan, dan keyakinan.

(f) tidak memaksakan pendapat atau keyakinan diri pada orang lain.

(g) kesediaan untuk belajar dari (terbuka terhadap) keyakinan dan gagasan orang lain agar dapat memahami orang lain lebih baik. dan

(h) terbuka terhadap atau kesediaan untuk menerima sesuatu yang baru.

5.  Gotong royong, yaitu bekerja sama dengan orang lain untuk mencapai tujuan bersama dengan saling berbagi tugas dan tolong-menolong secara ikhlas. Indikator gotong royong antara lain:

(a) terlibat aktif dalam kerja bakti membersihkan kelas atau lingkungan sekolah;

(b) kesediaan melakukan tugas sesuai kesepakatan;

(c) bersedia membantu orang lain tanpa mengharap imbalan;

(d) aktif dalam kerja kelompok;

(e) memusatkan perhatian pada tujuan kelompok;

(f) tidak mendahulukan kepentingan pribadi;

(g) mencari jalan untuk mengatasi perbedaan pendapat/pikiran antara diri sendiri

dengan orang lain; dan

(h) mendorong orang lain untuk bekerja sama demi mencapai tujuan bersama.

6.  Santun atau sopan, yaitu sikap baik dalam pergaulan, baik dalam berbicara maupun bertingkah laku. Norma kesantunan bersifat relatif, artinya yang dianggap baik/santun pada tempat dan waktu tertentu bisa berbeda pada tempat dan waktu yang lain. Indikator santun atau sopan antara lain:

(a) menghormati orang yang lebih tua;

(b) tidak berkata kotor, kasar, dan takabur;

(c) tidak meludah di sembarang tempat;

(d) tidak menyela/memotong pembicaraan pada waktu yang tidak tepat;

(e) mengucapkan terima kasih setelah menerima bantuan orang lain;

(f) memberisalam, senyum, dan menyapa;

(g) meminta izin ketika akan memasuki ruangan orang lain atau menggunakan barang milik orang lain; dan

(h) memperlakukan orang lain dengan baik sebagaimana diri sendiri ingin diperlakukan baik.

7.  Percaya diri, yaitu suatu keyakinan atas kemampuan sendiri untuk melakukan kegiatan atau tindakan. Indikator percaya diri antara lain:

(a) berpendapat atau melakukan kegiatan tanpa ragu-ragu;

(b) mampu membuat keputusan dengan cepat;

(c) tidak mudah putus asa;

(d) tidak canggung dalam bertindak;

(e) berani presentasi di depan kelas; dan

(f) berani berpendapat, bertanya, atau menjawab pertanyaan.

 

Indikator untuk setiap butir sikap dapat dikembangkan sesuai kebutuhan satuan pendidikan. Indikator-indikator tersebut dapat berlaku untuk semua mata pelajaran. Dari contoh indikator umum tersebut dapat dikembangkan secara spesifik melalui mata pelajaran PPKn disesuaikan dengan KD pada KI-1.

 

Misalnya untuk KD mapta pelajaran sejarah pada contoh  di atas:

 

3.3. Menganalisis dampak politik, budaya, sosial, ekonomi, dan pendidikan pada masa penjajahan bangsa Eropa (Portugis, Spanyol, Belanda, Inggris) dalam kehidupan bangsa Indonesia masa kini.

 

Sikap sosial yang dipilih misalnya: Jurjur dan tanggung jawab, maka indikatornya dapat dipilih dari daftar di atas, misalnya:

1.    tidak berbohong;

2.    tidak menyontek dalam mengerjakan ujian/ulangan;

3.    melaksanakan tugas individu dengan baik,

4.    mengembalikan barang pinjaman

Menetapkan indikator untuk nilai sosial sebaiknya tidak terlalu banyak karena terkait dengan kegiatan penialaian yang akan dilakukan. Semakin banyak indikator yang tertulis dalam RPP, maka semakin banyak sikap yang harus diamati sehingga apabila terlalu banyak akan merepotkan guru.


INDIKATOR PENCAPAIAN KOMPETENSI


Oleh Asip Suryadi

Indikator hasil belajar adalah penanda yang menunjukkan ketercapai tujuan pembelajaran. Sering disebut juga indikator pencapaian kompetensi yang disingkat IPK. Fungsi utama indikator adalah sebagai landasan dalam menetukan teknik dan instrument evaluasi. Indikator hasil belajar akan digunakan untuk menyusun kisi-kisi instrument evaluasi yang kemudian dijadikan blueprint untuk menyusun instrument penilaia. Selanjutnya mari kita mendiskusikan bagaimana merumuskannya.

 

Rumusan indikator adalah sebuah kalimat yang menggambarkan pernyataan mengenai kompetensi spesifik yang menggambarkan ketercapapaian hasil belajar. Rumusan indikator diawali dengan satu kata kerja operasional dan diikuti dengan kompetensi yang harus dikuasai. Dalam merumuskan indikator perlu diperhatikan beberapa ketentuan umum sebagai berikut:

  1. Setiap KD pengetahuan dikembangkan sekurang-kurangnya menjadi tiga indikator; untuk KD/niali sikap dan keterampilan sesuaikan dengan substansinya.
  2. Keseluruhan indikator memenuhi tuntutan kompetensi yang tertuang dalam kata kerja yang digunakan dalam KD. Indikator harus mencapai tingkat kompetensi minimal KD dan dapat dikembangkan melebihi kompetensi minimal sesuai dengan potensi dan kebutuhan peserta didik.
  3. Indikator yang dikembangkan harus menggambarkan hirarki kompetensi.
  4. Rumusan indikator sekurang-kurangnya mencakup dua aspek, yaitu kata kerja operasional dan hasil belajar spesifik.
  5. Indikator harus dapat mengakomodir karakteristik mata pelajaran sehingga menggunakan kata kerja operasional yang sesuai.
  6. Rumusan indikator dapat dikembangkan menjadi beberapa indikator penilaian yang mencakup ranah sikap, pengetahuan, dan keterampilan.

Merumuskan indikator dapat dilakukandalam tiga langkah. Langkah pertama adalah menganalis apakah kompetensi yang akan dirumuskan indikatornya adalah aspek pengetahuan, sikap atau keterampilan. Indikator hasil belajar pengetahuan, sikap dan keterampilan memiliki kekhasan tersendiri.

 

Langkah kedua adalah menganalisis tingkat kompetensi dalam KD. Pada Kurikulum 2013 tingkat kompetensi pada sepk pengetahuan kompetensi mengikuti taksonomi Anderson dan Krathwohl yang terdiri dari 6 tingkatan yaitu (C1) ingatan, (C2) pemahaman, (C3) penerapan, (C4) Analisis dan Sintesis (C5) penilaian dan (C6) kreasi. Pada KD pengetahuan tinfkatan tersbut diwakili dengan kta kerja operasional.

 

Pada kompetensi sikap tingkatan kompetensi tidak dinyatakan dengan jelas. Komptensi sikap hanya disajikan dalam bentuk kompetensi inti. Artinya guru dapat menentukan bentuk sikap yang harus ditanamkan pada setiap kelas dan mata pelajaran. Meskipun demikain guru dapat menetapkan tingkat kompetensi sikap yang ingin ditanamkan dan merumuskan indikatornya meskipun sederhana (lihat di artikel terkait). Sedangkan pada kompetensi keterampilan, jenis kompetensi dinyatakan dengan jelas meskipun tidak ditentukan tingkatannya. Guru wajib merumuskan indikator kompetensi keterampilan sesuai dengan jenis keterampilan yang tercantum dalam KD dengan tingkatan yang sesuai dengan kebutuhan peserta didik.

 

Langkah ketiga merumuskan indikator. Rumusan indikator berupa kalimat pernyataan yang terdiri dari kate kerja operasional, kompetensi dan ingkatannya. Indikator harus spesifik megenai kompetensi tertentu misalnya menyebutkan A, membedakan B dan C, mendemonstrasikan D, melakukan E, menunjukkan sikap F dan sejenisnya.

 

Indikator pencapaian kompetensi berikutnya akan digunakan untuk rancangan teknik dan instrument penilaian. Oleh karena itu indikator harus dirumuskan dengan benar sesuai dengan tuntutan kompetensi. Beberapa pertanyaan untuk menguji apakah rumusan indikaotr sudah baik atau belum diantaranya sebagai berikut:

1.    Apakah substansi indikator sesuai dengan substansi KD?
2.    Apakah terdapat satu kata kerja operasional?
3.    Apakah hasil belajar dapat diukur?
4.    Apakah ada instrument yang dapat digunakan untuk mengukurnya?

Banyak RPP yang hanya mencantumkan indikator pengetahuan saja. RPP seperti itu tentu saja keliru karena sebuah pembelajaran harus mencnakup tiga ranah. Indikator sikap dan keterampilan banyak terlewat karena guru terjebak kepada tradisi pembelajaran pengetahuan semata. Pembelajaran seperti itu sudah harus dihindari agar hasil belajarn pada setia peserta didik menyeuruh.

Banyak RPP dengan indikator yang tidak jelas. RPP ini akan mengarah ke kegiatan pembelajaran yang bias dan teknik penilaian yang tidak valid. Oleh karena itu guru harus selalu menelaah kembali indikator pembelajaran setelah pembelajaran dilakukan. Apabila indikator dianggap tidak tepat maka indikator harus direvisi. Namun demikian yang paling uatama adalah ketika merumuskannya. Merumuskan indikator tidak dapat sambil lalu, melainkan harus melalui prosedur yang baik.

Selamat membaca.

Salam edukasi dari edunesiania. 

PERUBAHAN PANDANGAN PADA KURIKULUM

Sabtu, 13 Februari 2021

Oleh Asip Suryadi

Secara historis, pendidikan formal di Barat maupun Timur di era awal didirikan oleh lembaga agama. Tujuan utamanya adalah literasi kitab suci. Isi pendidikan di era terebut sangat tekstual. Para murid diwajibkan menghafal teks-teks ayat suci ketimbang memahaminya. 

Tujuh ratus tahun lalu baik di Cina mapun Eropa pendidikan untuk masyarakat elite bertujuan untuk mengusai beberapa kemampuan. Di sekolah Confusius lulusan harus menguasai beberapa keterampilan yaitu kaligrafi, memanah, musik, puisi, berkuda, ritual agama, dan menghafal teks kitab suci. Sementara itu di sekolah-sekolah Eropa, lulusan sekolah harus menguasai kecakapan yang disebut trivium yaitu grammar (tata bahasa), rhetoric (retorika) dan logic (logika). Dikenal juga kemampuan quadrivium yang terdiri dari musik, geometri, astronomi, dan arithmetika.

Pada semua pendidikan tersebut murid lebih cenderung diminta untuk menghafal dari pada memahami atau menerapkan ilmu. Para siswa dinyatakan berhasil lulus pada level tertentu apabila dapat mengingat dan mengulang kata-kata dan kalimat bijak para filosof seperti Confusius, Mencius, Artistoteles, Thomas Aquino, dan lainnya.

Di belahan Timur  Tengah pada masa kejayaan Peradaban Islam periode tahun 750 sampai 1250 Masehi pendidikan ditandai dengan perkembangan ilmu pengetahuan baik ilmu syariah maupun ilmu aqliah. Pada masa itu mulai berdiri lembaga-lembaga pendidikan formal mauun non formal. Berdirinya universitas telah melahirkan para ilmuwan Islam moderen yang teori-teorinya berdampak terhadap peradaban dunia. Kurikulum pendidikan Isalam pada masa itu lebih maju dari pada Eropa. Namun demikian belum dikenal pendidikan profesinal. 

SAma seperti pada peradaban Barat, ilmu-ilmu lebih cenderung baru sebatas pemikiran. Belum sampai kepada aplikasi. Keteramilan untuk bekerja seperti berdagang lebih cenderug diturunkan dalam keluarga atau pemagangan. Misalnya, kelurga pedagang menurunkan keterampilan berdagangnya kepada generasi berikutnya. Atau sorang anak dikirim untuk magang kepada seorang pedagang. Orang tua melihat bakat anaknya. Apabila kelihatanya dia punya kecakapan memotong rambut maka aank tersebut dikirm untuk magang keterampilan memotong rambut.

Di periode renaisan terjadi perubahan signifikan pada pola pendidikan di Barat. Sementara pendidikan pola keagamaan terus berlangsung di berbagai tempat, di tempat lainnya terjadi sekularisasi. Pada pola pendidikan baru Renaisan, pendidikan tidak lagi menghafal ayat-ayat suci dan kalimat bijak para filosofis namun mempelajari teori yang bersifat tentatif hasil dari cara berpikir dengan metode ilmiah para ilmuwan Renaisan. Pola pendidikan ini menghasilkan para ilmuwan angkatan kedua setelah para pionir Barat.

Di Abad 20, pendidikan mulai mengarah ke arah profesi. Pengetahuan teoretis dan teknologi telah diterapkan untuk menyelesaikan kehidupan sehari-hari sehinga melahirkan jenis-jenis pekerjaan baru. Insinyur, pengacara, dokter, apoteker, akuntan, manajare, dan sebagainya menjadi profesi yang membutuhkan pengetahuan dan keterampilan profesional. Sejak itu lahirlah kampus-kampus, lembaga pelatihan profesi dan sekolah vokasional sebagai lembaga pencetak profesional. Pola kurikulum tersebut diproyeksikan untuk memenuhi kebutuhan indutri.

Selanjutnya menjelang Abad 21, ketika industri mencapai tahap 4.0, terjadi revolusi dari human resource ke human capital, arah pendidikan tidak lagi untuk mencetak para pekerja, melainkan mencetak masyarakat kreatif. Pada masa ini pekerjaan keras telah diambil alih robot. Manusia hanya bertugas mengoperasikan saja. Sedangkan pekerjaan lunak diambil alih dengan aplikasi (software).

Itulah latar belakang lahirnya pandangan baru mengenai kurikulum pendidikan formal 5 Minds of the Future (Discipline Mind, Synthesize Mind, Creative Mind, Respectful Mind, Ethical MInd) yang digagas Howard Gardener. Pandangan lain yang lahir selanjutnya adalah 4 C's of 21st Century Skills (critical thinking, creativity, collaboration, commuication). Pandangan ini nampaknya sebuah revoluasi dari pandangan kurikulum sebelumnya yang diwakili oleh konsel 5 pillar pendidikan pada program Education for Sustainable Development (ESD) 2005-2014 yang diluncurkan UNESCO. Lima pilar pendidikan yang dimaksud adalah learnining to know, learning to do, learning to live togenther, learning to be dan learning to transform onleself on society. Pandangan ini tidak lagi digunakan karena dianggap tidak lagi mewadahi kebutuhan masa depan.

Pandangan kurikulum 5 MInds of The Future dan 4C's adalah pandangan kurikulum yang sedang dianut sekarang ini. Dalam implementasinya, pembuat kebijakan, satuan pendidikan dan pendidik harus menyajikan pendidikan dan pembelajaran yang memiliki kemampuan masa depan seperti pada konsep tersebut. Mari kita pelajari dan praktekkan strateginya.

Pandangan mengenai kurikulum akan terus berubah menyesuaikan perkembangan budaya manusia. Kurikulum fungsinya menyiapkan masyarakat masa depan bukan hari ini. Masa depan pasti pasti berbeda dengan hari ini. Oleh karena itu kurikulum akan terus berubah. Sering kali para pelaku pendidikan mempertanyakan perubahan kurikulum: "Mengapa kurikulum berubah terus?". Jawabannya: "Karena budaya manusia berubah terus". Kurikulum nasional mungkin berubah tiap 5 tahun sekali, itu normal. Justru sebuah keniscayaan yang harus terjadi adalah perubahan kurikulum pada rancangan pembelajaran guru harian karena setiap hari berinteraksi dengan peserta didik yang sedang berubah.

Daftar bacaan:

  1. Howar Gardener, 5 MInds of  the Furture, Harvard Business Press, Boston-Massachusetts, 2008.
  2. Muhammad Saleh, Kejayaan Pendidikan Islam Pijakan Peradaban Manusia, http://www.iainpare.ac.id/kejayaan-pendidikan-islam-pijakan-peradaban-manusia/, 12 Februari 2021.
  3. Robert Carneiro dan Alexandra Draxter, Education for the 21st Century: lessons and challenges, European Journal of Education, May 2008, https://www.researchgate.net/publication/314224846.
  4. Bri Staufer, What Are the 4 C's of 21st Century Skills? Applied Education System, 7 Mei 2020, https://www.aeseducation.com/blog/four-cs-21st-century-skills. 
Ilutrasi Gambar diambil dari: https://www.forbes.com/sites/jeroenkraaijenbrink/2020/05/13/3-reasons-why-you-should-use-this-crisis-to-make-a-change/?sh=135fa1b956f5, diambil 13-2-2021

 

LIMA KEMAMPUAN MASA DEPAN

Rabu, 13 Januari 2021

 

 

Oleh Asip Suryadi

"There is no way to stop globalization. But we must be over more vigilant to its cost and the need to maintain highly respectful and ethical standard with respect  all parties".

Kalimat di atas ditulis di bagian awal buku berjudul 5 Minds for the Future yang ditulis Howard Gardener. Beliau menegaskan bahwa tidak ada cara untuk menghentikan globalisasi. Yang harus kita lakukan adalah mewaspadai dampak buruknya dan menjamin adanya standar tinggi perilaku saling menghargai dan sopan santun diantara semua masyarakat global

Buku tersebut duterbitkan tahun 2008. Saya merasa menyesal membaca buku tersebut tidak pada waktunya. Yang dimaksud "future" oleh Gardener dalam buku ini adalah hari ini. Sedangkan saya baru membaca bukunya. Tapi last but not least, saya merasa tercerahkan membacanya.

Gardener adalah profesor Universitas Massachusetts bidang psikologi, khususnya tentang pikiran dan otak manusia. Buku sebelumnya yang beliau tulis adalah Frames of Mind yang terbit tahun 1985. Buku tersebut sangat fenomenal. Dalam buku ini Gardener mengungkapkan hasil penelitian dan gagasan mengenai kecerdasan jamak. Gagasan yang dimuat dalam buku ini telah mengobrak-abrik teori psikologi dan keyakinan masyarakat bahwa orang cerdas adalah orang yang memiliki kecerdasan cenderung matematikal dan ber-IQ tinggi. Gagasan ini telah mengubah arah penelitian dan pengembangan teori psikologi mengenai pikiran dan otak manusia, dan dalam tataran praktis telah mengubah strategi pendidikan dan kediklatan.

Dalam buku 5 Minds for the Future Gardener memaparkan hipotesis bahwa ada 5 kemampuan yang harus dikuasai para profesional di masa depan yaitu discipline mind, synthesize mine, creative mind,  respectful mind dan ethic minds. Tanpa menguasai kelima kemampuan tersebut seseorang tidak dapat melaksanakan perannya sebagai anggota masyarakat dengan sukses.

Kemampuan pertama Discipline mind. Yaitu penguasaan terhadap disiplin ilmu tertentu. Seorang profesional harus menguasai bangunan pengetahuan (body of knowledge) dan prosedur kunci yang dapat menjadikannya anggota dari sebuah komunitas profesional. Selanjutnya semua profesional harus terus mengasah bengunan pengetahuannya tanpa henti. Gardener menegaskan bahwa "Much research  confirms that it takes up to ten years to master a discipline" (berdasarkan banyak penelitian, seorang profesional akan dapat membutuhkan waktu lebih dari 10 tahun untuk  menugasai bangunan pengetahuan terkait profesinya.

Kemampuan kedua synthesize mind. Kemampuan mensisntesis adalah  kemampuan untuk memadukan informasi secara generik dari apa yang diperoleh panca indra. Pada dasarnya bangunan pengatahuan yang berdiri megah sekarang adalah kompilasi dari partikel-partikel pengetahuan yang digabungkan sehingga saling terkait antara satu dengan lainnya membentuk disiplin-disiplin ilmu yang juga merupakan bagian dari bangunan besar pengetahuan. Kemampuan yang dibutuhkan untuk ikut serta dalam membangun pengetahuan tersebut adalah kemampuan melakukan sintesis (menggabungkan). Dalam era big data orang dapat memperoleh informasi dalam jumlah besar. Namun demikian informasi tersebut akan berserakan menyampah apabila tidak disintesis menjadi pengetahuan yang bermakna.

Kemampuan ketiga adalah creative mind. Kreativitas adalah tindakan mengubah ide-ide baru dan imajinatif menjadi kenyataan. Kreativitas dicirikan oleh kemampuan untuk memahami dunia dengan cara baru, menemukan pola-pola tersembunyi, membuat hubungan antara fenomena yang tampaknya tidak terkait, dan menghasilkan solusi. Dalam proses kreatif terjadi dupa proses yang berbentuk siklon yaitu berpikir dan kemudian menghasilkan. Kemampuan ini dibutuhkan agar masyarakat dapat memanfaatkan potensi agar lebih bermanfaat bagi peradaban maunsia.

Kemapuan keempat adalah respectful mind. Menghormati adalah sebuah kemampuan yang harus dimiliki masyarakat global untuk menyikapi keberadaan orang lain. Setiap orang harus memiliki rasa menghargai keberadaan fisik, perilaku, keyakinan, karya, etnik, budaya dan perbedaan sejenisnya. Disaat batas-batas geografi, demografi, budaya dan bahasa meleleh dalam ruang internet berukuran tak berbatas maka orang beridentitas berbeda bersentuhan langsung nyaris telanjang. Dalam kondisi tersebut dapat terjadi gesekan yang dapat mengundang chaos. Gardener memberi contoh kasus kartun yang melecehan Nabi Muhammad saw. di media Swedia tahun 2005. Beliau juga menyebutkan terorisme sebagai bentuk gesekan dalam globalisasi. Tanpa bermaksud menyederhanakan masalah, obatnya adalah respectful mind.

Kemampuan kelima adalah ethical minds. Etika (tatakrama), adalah kompetensi penting dan utama. Masyarakat global harus memahami siapa dirinya, siapa orang lain, dan bersikap benar merespon orang di sekitarnya. Aspek ini terkait dengan benar-salah, baik-buruk, baik hati-jahat, beradab-biadab dan sejenisnya dalam merespon orang lain. Kata lain yang menggambarkan kemampuan ini adalah moralitas. Dengan sikap ini masyarakat global bisa hidup dengan senyum dan damai.

Tiga kompetensi pertama yaitu discipline mind, syntheses mind dan creative minds berkaitan dengan kognisi, sedangkan dua kompetensi terakhir terkait dengan afeksi. Sikap pertama (respect) lebih kongkrit karena dapat diamati. Sedangkan sikap kedua (ethic) lebih abstrak karena bersumber dari hati nurani, meskipun dampaknya dapat dirasakan oleh orang lain.  Menurut pemahaman saya, dua kemampuan terahkir (ethic dan respectful) adalah pagar agar tiga kompetensi lainnya tidak liar.

Satu hal yang ditegaskan Gardener terkait dengan penguasaan kemampuan tersebut ada fungsi pendidikan. Dalam konteks 5 minds, pendidikan harus mengambil peran dalam transformasi dan internalisasi kemampuan tersebut kepada masyarakat global. Namun demikian, untuk menguasai kemampuan tersebut diperlukan tatanan pendidikan berbeda. Gardener menegaskan bahwa "These changes call for new educational form of process". Untuk pendidikan formal (pendidikan sekolah dan pelatihan), materi ajar, strategi, media-sumber belajar dan penilaian harus diarahkan untuk mengembangkan 5 kemampuan tersebut. Pendidikan dan pembelajaran harus diubah dari pembelajaran rote learning (hafalan) dengan papaer and pencil test menjadi pembelajaran yang lebih bermakna dan mecerdaskan.

Konsep ini sudah digunakan di berbagai negara. Di Indonesia ada perkembangan yang mengarah ke konsep tersebut. Isu terakhir Pendidikan Nasional adalah mengubah sistem penilaian pendidikan oleh pemerintah dari Ujian Nasional (UN) dan Ujian Sekolah Berbasis Nasional (USBN) ke Asesmen Kompetensi Minimum (AKM) dan Survey Karakter. Dari beberapa penjelasan yang saya dengar melalui video conference, inovasi/kebijakan ini  dilandasi dengan konsep Gardener di atas.

Sistem penilaian ini tentu berimplikasi terhadap praktek pendidikan secara keseluruhan. Sistem penilaian yang dilontarkan ini saya pahami sebagai kail saja untuk memancing inovasi di bidang pembelajaran. Para pelaku pendidikan tidak boleh memahaminya dalam konteks sederhana sekedar mengganti UN/USBN dengan AKM, melainkan harus dipahami sebagai sebuah reformasi pendidikan secara keseluruhan. Diharapakan tidak ada lagi yang mengulang kekeliruan ketika konsep berubah tapi praktek pendidikan dan pembelajaran tidak berubah seperti terjadi pada banyak pelaku pendidikan di masa lalu.

Hipotesis Gardener di atas hanya salah satu saja pendekatan untuk mengembangkan praktek pendidikan sekolah dan pelatihan. The "5 Minds"  dapat dijadakan landasan filosofis maupun teoretis bagi lembaga maupun insan pelaku pendidikan sekolah dan pelatihan untuk memformulasikan bentuk-bentuk praktis pendidikan dan pembelajaran yang lebih unggul dan relevan dengan zaman dan dalam konteks keindonesiaan.  

Mari kita belajar terus untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional. Gardener mengatakan The future beings to those organizations, as well as those individuals, that have made an active, life long "commitment to continue to learn".

Sumber bacaan: 5 Minds for the Future,  Howard gardener, Harvard Busines School Press, Boston-Massachusetts, 2008.

Sumber gambar: https://bizedge.co.nz/story/dell-how-tech-will-shape-the-future-of-our-lives, 11 Januari2021.

Ipsum

Delete this widget in your dashboard. This is just an example.

Dolor

Delete this widget in your dashboard. This is just an example.