Feature Top (Full Width)

ASIMILASI DAN AKOMODASI

Kamis, 02 Maret 2017

Asip Suryadi


Dalam teori kognitivisme, belajar dilakukan di otak melalui proses adaptasi (adaptation). Konsep ini mengadopsi teori adapatasi alamiah yang menjeaskan bahwa setiap organisma akan melakukan proses adaptasi ketika hidup di lingkungan baru yang berbeda dengan sebelumnya. Dalam kaitannya dengan proses “belajar”, informasi baru akan diterima dan diolah oleh otak dengan cara menyesuaikan informasi baru tersebut dengan skema pengetahuan yang sudah ada sebelumnya. Apabila informasi yang diperoleh sesuai dengan skema yang sudah ada maka akan dioleh malalui proses asimilasi (assimilation), apabila informasi tersebut tidak sesuai dengan skema yang sudah ada maka akan diolah melalui proses akomodasi (accommodation). Proses tersebut dapat digambarkan dengan ilustrasi berikut.

 

Ilustrasi di atas menggmbarkan proses asimilasi terjadi pada kondisi berikut: dalam skema penegetahuan di otak sudah terdapat kotak-kotak yang berwarna biru tua dan biru muda yang sudah tersusun rapi. Apabila ada informasi berwarna biru tua maka akan dengan mudah masuk ke kotak biru tua, dan apabila ada informasi berwarna biru muda maka akan langsung masuk ke kotak biru muda. Proses ini berlangsung dengan cepat dan membentuk skema (kotak-kotak baru) yang siap diisi dengan informasi baru. Sedangkan pada proses akomodasi berangsung proses berikut: skema pengetahuan yang sudah ada di otak masih bertumpuk acak, tumpag tindih dan bentuknya tidak beraturan. Ketika ada informasi baru maka akan sulit ditempatkan di bagian tertentu. Bisa saja skema pengetahuan menolak informasi baru karena belum ada pengetahuan yang tidak cocok dengan informasi tersebut.

Dalam kegiatan belajar sehari-hari kita sering melihat anak di kelas kelihatan happy dan berseloroh “Aha…!!” atau “Ooooooo!!!” itu pertanda terjadi proses asimilasi. Siswa teresebut sudah memiliki skema (pengetahuan sebelumnya mengenai informasi baru tersebut) dan segera mengolahnya dan membangaun pengetahuan baru.  Tapi sering juga kita melihat siswa yang kelihatan mengerutkan dahi, kelihatan tidak happy. Mungkin dia tidak dapat menerima dan menempatkan informasi pada skema pengetahuan karena skema yang ada tidak sinkron dengan informasi baru yang diterima. Pada siswa tersebut terjadi proses akomodasi.
Pada proses asimilasi, belajar berlangsung cepat dan mudah. Sedangkan pada proses akomodasi memerlukan waktu lebih lama. Bagi anak yang mengalami proses akomodasi diperlukan dukungan informasi dan fakta-fakta yang mendukung otak agar membentuk skema-skema baru. Proses tersebut memerlukan informasi-informasi yang dapat meyakinkan sehingga dapat diolah menjadi pengetahuan.

Mari kita diskusikan bagaimana penerapannya. 

Piaget mengungkapkan 4 prinsip. Pertama prinsip readiness(kesiapan belajar). Seorang siswa yang memiliki kesiapan belajar, misalnya memiliki pengetahuan dasar yang memadai untuk memempelajari pengetahuan lebih tinggi, maka siswa tersebut kemungkinan besar akan mengalami proses asimilasi. Ia akan belajar lebih mdah dan cepat untuk menguasai pengetahuan tertentu. 

Penerapannya misalnya, batas usia masuk SD harus 7 tahun karena secara umum anak pada usia tersebut sudah memiliki skema pengetahuan yang memadai untuk mempelajari kurikulum SD. Penerapan lainnya, guru harus meyakinkan bahwa setiap siswa sudah tuntas menguasai kompetensi dasar untuk mempelajari kompetensi dasar berikutnya yang tingkatannya lebih tinggi. Kurikulum (KD) disusun secara berkesinambungan dan bertingkat. KD berikutnya dalam materi sejenis ditetapkan pada tingkat lebih tinggi dari KD  sebelumnya. Oleh karena itu menjadi syarat wajib bagi siswa untuk tuntas setiap KD agar siap untuk mempelajari KD berikutnya. Guru tidak boleh toleran terhadap pencapaian penguasaan kompetensi siswa (baik afektif, kognitif maupun psikomotorik). Sebelumnya guru sudah menyusun KKM, berikutnya guru harus bertanggung jawab untuk mencapai KKM tersebut. Kalau KKM belum tercapai maka guru harus melakukan pembelajaran ulang (remedial) agar siap untuk mempelajari KD berikutnya.

Prinsip kedua ketepatan tingkat pengetahuan. Materi kurikulum yang terlalu tinggi atau terlalu rendah tidak memberi motivasi bagi siswa untuk mempelajarinya. Ini ada kaitannya dengan perkembangan kognitif Piaget (4 tingkat pergembangan kognitif) yang diungkapkan pada topic sebekumnya. Misalnya untuk siswa kelas III SD/MI, materinya harus di tingkat apa? Harusnya lebih rendah dengan untuk siswa kelas VI pada topik yang sama.
Prinsip ketiga belajar harus termotivasi. Proses akomodasi atau asimilasi dipengaruhi motivasi. Kalaupun seorang siswa memiliki skema yang cocok dengan informasi baru, namun siswa tersebut tidak termotivasi untuk mengolahnya maka asimilasi tidak terjadi.  Implikasinya, proses pembelajaran harus disajikan agar menyenangkan agar menarik. Prinsip ini berhubungan dengan strategi, bahan, media, sumber belajar dan jenis kegiatan.

Prinsip keempat adalah kegiatan berbasis aktivitas (intelligence as an action). Prinsip ini mengidikasi bahwa “knowledge is most meaningful when children construct it themselves rather than having it imposed upon them” (pengetahuan akan sangat bermakna bagi siswa ketika mereka menemukannya sendiri dari pada diberikan). Implikasi dari prinsip ini adalah bahwa belajar bukan menerima pengetahuan yang diberikan oleh guru melainkan siswa mencari informasi sendiri, kemudian mengolahnya menjadi pengetahuan. Itulah pentingnya penerapan metode pembelajaran yang tepat.

Begitulah konsep adaptasi pada teori belajar kognitivisme. Masih banyak konsep yang dapat kita terapkn. Kita akan diskusikan selanjutnya. 

Selamat berdiskusi.

BELAJAR ITU BERBUAT

Oleh Asip Suryadi

Assalamualaikum wr. Wb.
Pada tadarus pedagogi topik 3 kita telah mendiskusikan proses pembentukan pengetahuan  berdasarkan teori kognitivisme Piaget. Topik kita masih mengenai teori kognitivisme. Kali ini kita diskusi mengenai “Prinsip aktivitas”.

Seperti telah disampaikan pada topik 2, bahwa salah satu prinsip pembelajaran pada teori kognitivisme adalah prinsip aktivitas. Artinya, informasi bermakna untuk diolah oleh otak melalui proses asimilasi atau akomodasi dapat diperoleh melalui berbagai aktivitas belajar. Semakin banyak dan semakin baik kegiatan belajar yang dilakukan siswa maka semakin banyak dan bermutu informasi yang diperoleh dan semakin mudah otak mencernanya. Itu karena otak memperoleh fakta yang banyak untuk menciptakan simpulan.

Salah satu teori pendukung yang dapat digunakan untuk mendekati prinsip tersebut adalah teori mengenai pengalaman belajar yang sudah diteliti oleh Edgar Dale sejak tahun 1969. Edgar Dale menyebutnya “Cone of learning”. Teori tersebut dimodifikasi oleh para ilmuwan berikutnya. Salah satunya dilakukan oleh Wyatt dan Looper tahun 1999. Mari kita lihat kerucut pengalaman.




Kerucut di atas menjelaskan hubungan antara jenis kegiatan dengan informasi yang dapat diolah dan disimpulkan.  Melalui kegiatan membaca, otak hanya dapat mengolah informasi sebanyak 10%. Bisa dikatakan bahwa apabila seorang peserta didik belajar melalui kegiatan membaca maka kemungkinan hasilnya hanya 10% saja. Berbeda lagi apabila seorang peserta didik mempelajari sesuatu melalui kegiatan lain seperti melihat diagram, melihat video, melihat demonstrasi, maka informasi yang mungkin diperoleh mencapai 30%. Lebih tinggi lagi ketika seorang peserta didik malakukan kegiatan belajar sampai bermain peran, melakukan simulasi, dan mengerjakan hal yang nyata. Melalui kegiatan tersebut informasi yang mungkin diperoleh sampai 90%.

Wyatt dan Looper membagi jenis-jenis kegiatan tersebut kedalam 4 kelompok yaitu verbal, visual, terlibat dan berbuat. Menurut hasil penelitian mereka, belajar melalui kegiatan berbuat adalah kegiatan terbaik. Teori ini sejalan dengan filosofi yang diungkapkan oleh konfusius 2600 tahun yang lalu. Confusius mengungkapkan kalimat berikut: 

ni ching ni wanchi,
ni khan ni shiang,
 ni kunco ni cheto.

Artinya:
Anda dengar-Anda lupa,
Anda lihat-Anda ingat,
Anda lakukan-Anda paham.

Jadi apabila kita ingin peserta didik sampai paham maka pembelajarannya harus sampai melakukan. Apalagi ketika hasil belajarnya berbentuk keterampilan, maka mutlak belajarnya harus berbentuk latihan.
Mari kita lihat sebuah kasus. Minggu kemarin anak perempuan saya (kelas V) MI membawa PR matematika mengenai prisma. Ada beberapa soal mengenai prisma yang harus diselesaikan. Diantaranya luas alas, luas selimut dan volume prisma dengan berbagai bentuk. Anak saya sulit sekali mengerjakan soal-soal tersebut sehingga harus melanjutkan membuat PR pagi hari. Saya penasaran bertanya kepada dia: Bagaimana guru mengajar materi tersebut? Dia bilang: Gurunya memberi rumus, memberi contoh soal, memberi latihan, dan memberi PR. Saya Tanya lanjut: Apakah menggunakan alat ketika mengajar? Anak saya bilang: Tidak. Dalam hati saya “Pantas hasilnya seperti ini”. Jangankan menghitung volume prisma, mengitung luas persegi saja dia tidak yakin.

Anak saya memang tidak terlalu cerdas dalam bidang matematika. Dalam rapotnya, nilai yang bagus adalah nilai-nilai mata pelajaran agama dan Bahasa Arab. Ia memang selalu kesuitan dalam materi yang terkait dengan hitung-menghitung. Tapi saya berpikir, saya masih bisa meningkatkan kemampuan matematikanya.
Saya harus memulai meyakinkan dia tentang menghitung luas segi empat. Saya menggulung tikar untuk memperlihatkan kepadanya sebuah segi empat. Lantai yang tersusun oleh keramik saya gunakan sebagai alat peraga. Karena di bukunya menggunakan satuan centimeter (cm), maka saya katakan: Andaikan satu keramik sama dengan 1 cm, berapa cm persegi luas lantai ini? Dia menghitungnya dan memperoleh angkanya. Lalu saya Tanya: bagaimana cara meghitung jumlah keramik lebih cepat? Dia berpikir, dan dia katakan: Tidak tahu. Saya ajak lagi berpikir sampai dia mengatakan: panjang x lebar. Mungkin dia ingat hasil belajar sebelumnya. Lalu saya luruskan: sisi x sisi, karena yang ia sebutkan kurang universal. Saya lanjutkan dengan mengajak latihan menghitung PR yg berkatan dengan luas.

Saya masih punya tugas untuk memahamkan luas alas dan luas sisi prisma. Kebetulan di rak dapur ada dus bekas sepatu. Saya ambil dan menyuruh dia membongkarnya. Dia kelihatan heran karena ternyata  kalau dibongkar dus menjadi bidang datar yang terdiri dari 6 persegi panjang. Saya ajukan pertanyaan: Mana alas prisma? Dia dapat menunjukkannya. Pertanyaan berikutnya: Bagaimana menentukan luas alas prisma? Dia menjawabnya: Sisi x sisi. Berikutnya saya mengajak dia  menentukan luas seluruh permukaan prisma. Kejadian tersebut terjadi subuh hari kurang dari 15 menit. Selanjutnya saya menunggui dia mengerjakan PR. Dia masih tidak yakin dengan apa yang dia lakukan dan saya memberi umpan balik.

Kaitannya dengan teori kerucut pengalam belajar tersebut adalah, pembelajaran matematika materi luas selimut (sisi) prisma hanya dilakukan dengan hanya mendengar, dan latihan. Pembelajaran tersebut sangat abstrak sehingga para peserta didik tidak menangkap konsep yang diajarkan. Pembelajaran yang baik untuk meteri seperti itu adalah demonstrasi, simulasi, berbuat dan latihan. Kegiatan harus mulai dari membuat prisma dari karton, kemudian melakukan simulasi menghitung luas tiap-tiap bagian. Baru latihan, dan kalau belum selesai dilanjutkan dengan pekerjaan rumah. Kegiatan paling penting pada rangkaian kegiatan tersebut adalah kegiatan kelompok (3 orang) membuat prisma dari karton dan menentukan luas masing-masing bagian. Melalui Kegiatan tersebut guru telah menghadirkan konsep matematika abstrak menjadi kongkrit sehingga mudah dipahami. Jadi konsep luas alas dan sisi prisma dapat ditangkap dengan tepat oleh sebagian besar peserta didik. Pada kerucut pengalaman kegiatan tersebut termasuk ke wilayah berbuat sehingga memungkinkan hasil belajar mencapai 90%.

Demikian tadarus kali ini. Semoga memberi sedikit pengetahuan.

PENERAPAN TEORI BEHAVIORISME

Selasa, 24 Januari 2017



Oleh Asip Suryadi

Ada dua istilah yang sangat akrab dengan guru, yaitu “belajar” dan “mengajar”. Kedua kata  tersebut berasal dari kata yang sama yaitu “ajar”. Kata “ajar” menurut Kamus Besar bahasa Indonesia Online berabti “petunjuk yang diberikan kepada orang supaya diketahui (diturut)”. Terus terang saya juga baru tahu arti kata “ajar” ketika menulis topik ini sekarang. Itulah manfaatnya sering menulis.

Saya sering bertemu dengan guru madrasah dari seluruh Indonesia dan kadang saya suka usil dengan mengajukan pertanyaan kepada mereka: Apa yang dimaksud dengan “belajar”?, dan Apa yang dimaksud dengan “mengajar”? Jawabannya sangat beragam. Bahkan ada yang kelihatan sulit menjawabnya.
Saya juga inigin usil kepada Anda dengan mengajukan pertanyaan yang sama. Coba Anda jawab dengan sepontan dalam hati masing-masing, atau lebih baik menuliskannya dalam selembar kertas bekas dengan masing-masing jawaban satu kalimat singkat saja.

Anda sudah menuliskan jawabannya? Terima kasih atas jawabannya. Jawaban Anda sangat penting karena itu setidaknya konsep yang Anda pegang sebagai landasan dalam mengembagkan praktek pembelajaran. Ini memang tidak sekedar celoteh. Pengertian yang Anda pahami tenatng “belajar” dan “mengajar” merupakan gambaran pembelajaran yang Anda lakukan. Pengertian Anda tentang “belajar” sangat menentukan cara Anda “mengajar”. 

Mari kita mengkajinya agak teoretis. Ada beberapa teori yang menjelaskan apa “belajar” dan “mengajar” yaitu behaviorisme, kognitivisme, kontruktivisme, humanism, dan cyberneteisme. Lima teri tersebut disebut teori psikologi belajar dan setiap teori menjelaskan “belajar” dan “mengajar” dari perspektif berbeda. Tentu rekan-rekan juga pernah membaca teorinya, dan tentu telah mempraktekannya. Kira-kira teori mana yang sering Anda praktekkan?

Baik, kita akan mutilasi satu pe rsatu. Behaviorisme (jangan diputus-pustus  membacanya)secara historis di dunia modern merupakan teori belajar yang paling sulung. Teori ini digagas oleh ahli psikologi Rusia bernama Ivan Pavlov yang hidup tahun 1826–1890. Selanjutnya behaviorisme dikembangkan oleh John B. Watson dan B.F. Skiner.

Teori behaviorisme yang lebih sering disebut operant conditioningmenjelaskan bahwa belajar adalah perubahan perilaku sebagai akibat dari stimulus yang diberikan.  Teori ini sering sinyatakan dengan rumus S-R-Bond. Seseorang akan melakukan belajar apabila diberi stimulus dan sebagai hasil belajarnya adalah perubahan perilaku. 

Mari kuta bicarakan penerapannya. 

Anda tentu pernah melihat sirkus. Mengapa seekor singa yang buas bisa tunduk di hadapan anak kecil yang hanya memegang sebatang tongkat atau cemeti  kecil pula? Mengapa seekor gajah bisa berjoged? Mengapa seekor ikan pesut bisa berhitung? Apakah mereka cerdas seperti manusia? Jawabannya “bukan”. Mereka hanya takut terhadap sesuatu dan meniru apa yang dicontohkan dalam latihan. Tahun lalu di Jakarta pernah geger dengan “sarimin” yang banyak berkeliaran di jalanan kota Jakarta. Yang diprotes bukan sekedar masalah  kekumuhannya tapi mengenai perilaku manusia yang tidak “berprikehewanan” ketika melatih monyet untuk bisa berjoged, berpayung seperti sarimin, naik speda dan memungut uang dari tangan penonton. Mereka disiksa dalam latihan untuk memiliki perilaku-perilau tersebut. Pelatih singa menggunakan api dan strum tegangan tinggi untuk membiasakan seekor singa dapat melompati lingkaran api. Pelatih memukul ikan pesut ketika tidak menuruti perintyah dan memberikan hadiah ikan ketika melakukan aksi yang benar. Tindakan pelatih tersebut dilakukan untuk membentuk perilaku. Itulah beberapa praktek penerapan behaviorisme pada hewan.

Contoh penerapannya pada manusia diantaranya pembentukan watak disiplin pada tentara. Saya pernah menonton seorang kapten mengajar taruna menggunakan meriam. Ketika seorang taruna melakukan kesalahan kecil dalam melakukan prosedur penggunaan meriam, maka taruna taruna tersebut dipukul dengan sabuk. Sang Kapten ingin membentuk watak disiplin pada taruna karena apabila melakukan kesalahan maka kesalahannya akan menjadi malapetaka bagi dirinya dan orang di sekelilingnya.

Dam bidang pendidikan Anak misalnya, seorang ibu/guru memberikan hadiah peremen kepada anaknya yang membuang sampah di tematnya, dan menghukumnya ketika membuang sampah sembarangan. Seorang guru matematika melatih siswa cara menyelesaikan operasi hitung dengan instruksi : kalau begini maka harus ….. Seorang wali kelas menerapkan aturan dengan cara memuji siswa yang menepati aturan dan menghukum yang tidak menepati aturan. 

Strategi tersebut dilakukan untuk membiasakan perilaku. Apakah Anda melaklukannya?
Dalam dunia pendidikan anak teori tersebut sudah banyak ditinggalkan. Alasannya karena kurang manusiawi , dan kurang mengedepankan intelektualitas. Bisa jadi ketika seorang siswa bisa menlakukan operasi hitung tertentu bukan karena paham, melainkan karena kebiasaan sebagai hasil dari latihan yang tekin. Masalahnya, ketika diberi soal yang berbeda, mereka tidak terbiasa dan tidak bisa mengerjakannya. Mereka bilang, “belum diajarkan buuuu/pakkkkk”. Mungkin Anda sering mengalaminya. Lain lagi kalau mereka paham konsepnya, ketika diberi soal yang berbeda mereka akan berpikir untuk mencari solusi. 

Kelemahan lain, teori ini hanya digerakkan oleh motivasi internal. Peserta didik akan merespon apabila diberi stimulus. Mereka akan diam saja apabila tidak diberi stimulus. Artinya teori ini dapat menyebabkan siswa pasif. Misalnya, mereka memtaati aturan karena takut dihukum, bukan karena kesadaran bahwa kalau melanggar aturan maka akan meruguikan dirinya dan orang lain.

Tentu saja tidak dilarang untuk menerapkan teori ini , namun harus di ranah yang tepat. Misalnya dalam menegakkan aturan, namun tidak degnan humuman yang tidak edukatif.

Beberapa contoh penerapan behaviorisme yang dilarang.

  1. Anak yang sering kesiangan diberi hukuman dengan cara ditahan di gerbang.
  2. Anak yang tidak membuat PR dihukum dengan berdiri di depan kelas atau mengerjakan PR lebih banyak.
  3. Melatih siswa mengerjakan soal sejenis sampai dia bisa, tapi tidak berusaha agar siswa paham konsepnya.
Mari kita diskusikan

Ipsum

Delete this widget in your dashboard. This is just an example.

Dolor

Delete this widget in your dashboard. This is just an example.