KURIKULUM ANTITESIS
Rabu, 29 Juli 2020
Oleh Asip Suryadi
Ada yang menarik dari pernyataan (atau kebijakan?) Mendikbud berikut. “Kami mendorong para guru untuk tidak menyelesaikan semua materi dalam kurikulum. Yang paling penting adalah siswa masih terlibat dalam pembelajaran yang relevan seperti keterampilan hidup, kesehatan, dan empati”. Kutipan ini saya salin dari halaman berita di Sekertariat Negara dan juga dimuat berbagai media massa baik web maupun TV.
Tidak banyak pakar, politikus dan praktisi yang membahas pernyataan tersebut. Saya tidak tahu apakah banyak yang setuju, atau lebih banyak yang tidak setuju. Sepertinya isu ini tidak menguntungkan bagi para politisi untuk di-blowup. Mungkin juga isu ini kurang penting bagi pakar pendidikan di kampus-kampus karena tidak sesuai denga grand theory yang dianut. Diamnya para praktisi mungkin karena sudah bosan dengan perubahan yang tak berdampak. Para guru lebih sering mengatakan “Ganti menteri, ganti kurikuum. Yang lama belum tuntas, yang baru sudah mendesak”.
Menurut saya, ini penting untuk dibahas karena genting. Nyaris 96% satuan pendidikan tidak dapat menyelenggarakan pembelajaran reguler karena berada di zona kuning dan merah. Pada zona tersebut pembelajaran hanya dapat disajikan dengan pendekatan blended, atau daring penuh. Pada kondisi ini, paling untung hanya 50% waktu saja yang dapat dugunakan oleh satuan pendidikan dalam menyajikan proses pembelajaran. Selebihnya, peserta didik harus belajar secara mandiri di tempat tinggal masing-masing. Oleh karena itu tentu saja satuan pendidikan tidak bisa menyajikan pembelajaran dengan kurikulum regular. Saya memprediksi, hanya 50% rumusan kompetensi dasar yang dapat disajikan. Itu pun kalau pembelajaran disajikan dengan efektif dan efisien.
Solusinya adalah kebijakan seperti yang disampaikan oleh Mas Menteri di atas. Instansi penyelenggaran pendidikan setingkat pemerintah daerah kabupaten/kota, atau tingkat satuan pendidikan boleh menyajikan sebagian kurikulum. Kata Mas Menteri: Yang paling penting adalah siswa masih terlibat dalam pembelajaran yang relevan seperti keterampilan hidup, kesehatan, dan empati.
Bagi banyak orang, itu pernyataan aneh. Sebelumnya, Kurikulum Nasional bersifat Mastery. Seluruh peserta didik harus menyelesaikan semua kurikulum (dengan rincian kompetensi yang ada dalam rumusan Kompetensi Dasar (KD)) dan batas lulus tertentu (KKM). Bagi yang tidak dapat menyelesaikan kurikulum, maka tidak bisa memperleh ijazah. Tiba-tiba sekarang, guru tidak usah menyelesaikannya. Ini tentu tidak dapat dipahami dengan cara berpikir lama. Kita harus berpindah paradigma. Ini adalah sebuah antitesis.
Jadi apa yang dimaksud dengan “… mendorong para guru untuk tidak menyelesaikan semua materi dalam kurikulum”? Apakah guru boleh memilih-milih KD untuk diajarkan? Atau mengajarkan KD tidak sampai tuntas? Jawaban yang lebih baik adalah: Guru memilih KD substansial, namun pembelajaran disajikan secara mendalam dan kontekstual meyangkut pengetahuan, keterampilan hidup dan nilai-nilai kehidupan yang dialami siswa sehari-hari. Atau instansi pengelola pendidika/satuan pendidikan/guru membuat kurikulum yang relevan.
Pembelajaran seperti itu tidak bisa dilakukan apabila tidak mengubah paradigma. Menurut saya, konsep yang harus digunakan adalah “belajar untuk hidup dan kehidupan”; bukan belajar untuk lulus ujian melalui mengerjakan soal pilihan ganda semata (paper and pencil test). Pada paradigma alternatif ini peserta didik hanya dapat lulus dari sekolah apabila memiliki kompetensi untuk hidup pada tingkatan tertentu sesuai dengan perkembangan usianya.
Target hasil belajar utama adalah, taat beribadah serta memiliki sikap mandiri, jurjur, persistent (ngotot/pantang menyerah), dan fleksibel. Menguasai pengetahuan substansial, bukan pengetahuan remeh temah yang tidak berdampak. Memahami konsep-konspes dasar yang dapat melandasi perkembangan intelektualitas untuk mempelajari konsep yang lebih tinggi. Memiliki keterampilan berpikir analitis, kritis dan kreatif. Memiliki kemampuan kolaborasi dan problem solving. Memiliki fisik yang sehat dan kuat. Dapat menggunakan peralatan yang sering digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Menguasai ICT untuk belajar dan berkomunikasi. Mas Menteri sempat menyebutkan kompetensi 4C dalam beberapa kesempatan, yaitu collaboration (kerja bersama), communication (komunikasi), creativity (kreatifitas), critical thinking (berpikir kreatif). Itu adalah kompetensi Abad 21 yang harus menjadi kompetensi inti pada kurikulum “belajar untuk hidup dan kehidupan”.
Pada paradigma pendidikan tersebut materi ajar bukan target utama melainkan hanya jembatan saja. Artinya, apapun materi ajarnya, harus mengantarkan peserta didik untuk menguasai kompetensi tersebut. Dengan demikian, satuan pendidikan/guru dapat memilih tema materi menarik yang sesuai dengan muatan dan kondisi lokal. Bahkan, guru beberapa mata pelajaran dapat menyajikan pembelajaran tematik dengan tema terkini. Misalnya, tema utama pembelajaran adalah “Mengatasi Pandemi Covid 19”. Beberapa mata pelajaran digabungkan dalam rangka mengkaji tema tersebut.
Tentu saja strategi pembelajaran harus berbeda dari bisanya. Model pembelajaran yang diguakan adalah problem base, inquiry dan project base. Melalui model pembelajara tersebut peserta didik difasilitasi untuk belajar yang berawal dari masalah, kemudian melebar ke pencarian informasi untuk problem solving. Selanjutnya dapat disajikan projek. Kegiatan-kegiatan belajar seperti itu secara teoretis dapat membentuk watak, melatih kemampuan berpikir tingkat tinggi (HOTs) dan melatih keterampilan brkomunkasi, merencanakan, menata keiatan, menyusun laporan, dan menkomunikasikannya dalam berbagai bentuk menggunakan ICT.
Tentu saja pembelajaran tersebut disesuaikan dengan tingkat perkembangan usia. Anak kelas 1 SD misalnya, memulai dari melakukan projek mengenai dirinya dan lingkungan keluargnya. Mereka dibimbing dari jarak jauh untuk menyebutkan nama dirinya, nama keluarganya, menggambar rumahnya, mengenalkan hewan peliharaannya, memvideokan teman-teamnnya, memoto kegiatan ibadah dirumah dan sejenisnya. Berbeda dengan kelas 10. Mereka melakukan proyek mengenai kegiatan sosial, politik dan ekonomi dan keagamaan di wilayah kelurahan atau kecamatan. Kemudian melakukan penelitian sain mengenai dampak kehidupan modern terhadap lingkungan.
Dalam paradigma belajar tersebut, apabila satuan pendidikan/guru masih memilih Kurikulum Nasional sebagai acuan, kaka satuan pendidikan/guru dapat memilih sebagian KD dari KD yang terdaftar. Apabila dalam setahun terdapat 10 Kompetensi Dasar (KD), maka guru harus memilih sebagian KD saja untuk disajikan. Kalau substansi KD besar-besar, maka dapat memilih 5 KD saja. Atau kalau dalam kasus KD substansi KD kurus maka dapat maka dapat memilih 6 atau 7 KD saja.
Lalu bagaimana cara memilih KD? Tentu saja beberap kirteri dapat diidentifikasi seperti kontkstual, up to date, mudah ditemui kaitannya dengan kehidupan lokal, berguna, lebih manarik dan memiliki kaitan dengan masa depan. Caranya, buatlah matriks ceklis pemetaan KD dengan kriteria tersebut. Pada kolom pertama dituluskan nomor dan rumusan setiap KD, kemudian di komom berikutnya cantumkan kriteria tersebut. Telaah satu per satu dan petakan terhadap kriteria. Rumusan KD yang memperoleh tanda ceklis terbanyak pantas dipertimbangkan sebagai KD yang dipilah.
Selanjutnya cobalah berkolaborasi dengan mata pelajaran lain. Cara ini banyak keuntungannya. Pertama mengajar bias berkolaborasi sehingga lebih ringan. Kedua waku bias digabungkan sehingga waktu belajar bertambah. Ketiga, mata pelajaran menjadi lebih sederhana. Dengan cara ini pembelajaran dapat dipangkas menjadi 50% sehingga memungkinkan untuk disajikan dengan pembelajaran blended atau fully online dalam kondisi pandemic Covid 19.
Gagasan ini merupakan alternatif solusi. Kurikulum dipangkas, namun harapanya hasil belajar meningkat. Ini aneh, namun dapat dilakukan. Perlu ada yang menginisiasi dan mencobanya. Namun demikian yang menjadi prasyarat adalah perubahan pola pikir. Dengan mengubah pola pikir maka sesuatu yang asing menjadi normal. Itulah salah satu interpretasi terhadap pernyataan (kebijakan) Kemdikbud yang disebutkan di awal. Salah satu moda pendidikan era new normal.
Sumber:
- Bacaan: Inilah Perubahan Kebijakan Pendidikan Selama Masa Pandemi Covid-19 oleh Humas Sekretariat Kabinet Republic Indoneisa, dipublikasikan pada 15 Mei 2020, https://setkab.go.id/inilah-perubahan-kebijakan-pendidikan-selama-masa-pandemi-covid-19/
- Gabar: https://prowritingaid.com/Antithesis, diambil 29-7-2020
PEMBELAJARAN UNTUK GENERASI ZI-ALPHA
Kamis, 09 Juli 2020
Oleh Asip Suryadi
Apakah Anda orang tua atau guru lahir antar tahun 1965 sampai 1979? Apabila ya, Anda termasuk orang tua dan guru generasi X (Eks). Termasuk saya. Sekarang kita sedang berhadapan dengan anak-anak yang lahir antara 1995 sampai 2010? Mereka adalah generasi Z (Zi); dan yang lahir setelah 2010 yang disebut generasi Alpha.
Bagaiama persepsi Anda mengenai anak-anak kita sekarang ini? Orang tua dan guru sering mengeluh bahwa mendidik anak sekarang lebih sulit dari mengajar anak dulu. Keluhan itu sudah saya dengar sejak dulu ketika guru berbincang dengan orang tua waktu saya usia SD. Sekarang saya sudah menjadi orang tua untuk 5 anak, banyak orang tua dan guru juga yang berseloroh bahwa mengajar anak sekarang lebih sulit dari pada mengajar anak dulu. Jadi seingat saya, keluhan orang tua dan guru dari dulu sama. Anak-anak susah belajar, mereka kurang hormat kepada orang tua dan guru dan perilakunya aneh-aneh.
Jangan-jangan selama perjalanan sejarah persepsi orang tua dan guru tentang anak-anak tidak berubah. Kalau iya, ada indikasi bahwa tidak ada saling pengertian antara orang tua dan guru dengan anak-anak. Orang tua dan guru tidak memahami karakter anak-anak, dan anak-anak tidak dapat memahami harapan orang tua dan guru. Orang tua dan guru salah paham mengenai anak-anak dan anak-anak salah paham mengenai orang tua dan guru. Terjadi gap yang menyebabkan perseleisihan abadi antara orang tua dan guru dengan anak-anak.
Terlebih lagi di era sekarang. Kita menghadapi generasi Z dan generasi Alpha yang 100% dibentuk oleh teknolgi digital. Gadget pinter sepeti HP dan tablet telah mencandui anak-anak hingga pikiran mereka hampir setengahnya berpikir tentang konten elektronik. Pada konsidi ini saya mengira, orang tua dan guru hanya memiliki setengah ruang di pikiran mereka. Contohnya, anak saya berusia 4 tahun keranjingan tyrannosaurus karena sering menonton kontn YouTube di TV online. Pertanyaan dia sehari-hari tentang tyrannosaurus yang saya sendiri tidak paham. Bangun tidur pagi sudah menceritakan mimpi tentang tyrannosaurus. Kakaknya 6 tahun pernah keranjingan nge-game Mobile Legend dan Free Fire; kakakny lagi 8 tahun keranjingan boneka berbie dan kakanya lagi usia SMP keranjingan K-Pop.
Kondisi ini membangkitkan kehawatiran orang tua dan guru yang sangat besar dan kerap memancing kemarahan. Bagaimana tidak, ketika orang tua meminta bantuan atau mengajak mereka belajar, mereka selalu mengatakan “nanti dulu”. Mereka juga menjawab dengan bahasa yang sering tidak dipahami sehingga kita sering meminta penjelasan dengan nada ketus.
Para ahli mengatakan bahwa mereka tumbuh pada era digital yang perkembangannya tidak dapat terampalkan (unpredictable). Usia 2 tahun bayi sudah dapat bermain dengan layar sentuh. Mereka bermain dengan alat yang dikendalikan kecerdasan buatan (Artificial Intelligence) mengunakan alat maya (virtual) dengan isi relitas gabungan antara nyata dan khayalan yang terhubunga secara global. Lingkungan bermain tersebut mencetak pikiran, perasaan, perilaku dan kebiasaan hidup yang berbeda dan khas. Dampaknya mereka bermain dan belajar dengan cara yang berbeda. Beberapa ahli neuroscientists dan ahli psikhologi bahkan meyakini bahwa pikiran mereka berbeda dengan generasi pendahulunya.
Generasi Alpha, istilah yang dilontarkan oleh peneliti sosial Mark McCrindle untuk menjelaskan kelompok masyarakat yang lahir setelah tahun 2010. Megapa generasi Alpha terlihat berbeda? Mengutip ahli neuroscience Universitas California dalam sebuah laporan yang diterbitkan WIRED Consulting, Michael MarZenich, menjelaskan bahwa otak tidak berkembang dalam ruang hampa (vacuum), melainkan dibentuk secara terus menerus melalui pengalaman yang tersaji di lingkugan sekitar. Setiap pengetahuan dan keterampilan dibentuk dan disaring dari keterlibatan otak dalam interkasi kehidupan sehari-hari. Teroi ini disbut brain plasticity.
Generasi Alpha berada dalam hingar bingar perdebatan mengenai manfaat dan madorot dari teknologi digital. Susan Greenfield seorang peneliti Univeristas Oxford menegaskan bahwa teknologi dalam genggaman jemari menyebabkan anak-anak tidak perlu berpikir fakta, tangal nomor dan tempat untuk emnjawab pertanyaan sederhana. Hanya dengan memencet icon tertentu saja kita dapat mendapatkan informasi yang kaurat. Menurut Greenfield perilaku ini dapat menyebabkan rusaknya fungsi penyimpanan informasi ingatan kesulitan mengingatnya ketika diperlukan. Konten-konten dewasa yang belum pantas dilihat anak-anak dapat dibuka dengan bebas sehinga dapat menyebabkan ketidakwajaran perkembangan psikologis. Menurut penelitian, anak-anak yang kecanduan konten pornografi dapa megalami kerusakan patal dalam otaknya.
Selain itu diklaim bahwa konten digital lebih banyak menyebabkan madorot. Google membuat anak-anak bodoh karena hampir semua inofrmasi dapat diperoleh dengan beberapa “klik” saja tanpa harus belajar; smartphone (HP) telah mengubah anak-anak menjadi zombie karena berjalan tanpa melihat kanan-kiri, dan Facebook telah membuat semua orang narsis karena ketagihan up-date status hanya untuk memperoleh jempol (like) saja yang sebenarnya tidak bermakna (absurd); lalu anak-anak dapat mengakses orang-orang seluruh dunia berjoged dengan gaya Tik-Tok untuk mengekspresikan bahwa mereka gaya dan melek teknologi. Semua itu telah mencetak gambaran tentang dunia masa kini pada struktur otak di semua bagian dan fungsinya. Dalam benak mereka, inilah dunia tempat mereka hidup.
Di sisi lain, banyak yang berargumentasi bahwa teknologi digital dapat membangkitkan kemampuan hingga titik dimana kemampuan manusia sebelumnya tidak bisa melakukannya dan membantu dalam meyelesaikan masalah dengan kerumitan tinggi. Dulu orang tidak dapat membayangkan kalau seseorang dapat mengirim pesan kepada rekannya yang ribuan kilometer jaraknya. Beberapa hasil penelitian mengungkap bahwa teknologi digital telah menambah keterampilan anak-anak dalam mengerjakan tugas-tugas tertentu. Misalnya manfaat dari permainan digital seperti video games bagi perkembangan kemampuan visual anak. Penelitian lain menunjukkan bahwa terjadi peningkatan koordinasi mata-tangan dan kemampuan mengerjakan beberapa tugas dalam waktu yang sama yang disebabkan oleh kebiasaan bermain video games. Penelitian lain mengungkapkan terjadinya peningkatan skor hasil tes intelegensi yangterkait dengan penyelesaian masalah (problem solving).
Pada kehidupan sehari-hari kita sering menemukan manfaat yag tak tergambarkan sebelumnya dari teknologi digital bagi anak-anak generasi Alpha. Contoh sederhana, anak saya yang keranjingan tyrannosaurus suatu saat ketika saya baru tiba di rumah, dia berseloroh sepontan “… brakiosourus itu herbikor pah, kalo tiranosourus karnikor”. Istilah yang dia maksud adalah “herbifor” dan “karnifor”. Itu istilah pada mata pelajaran biologi yang pada masa saya dulu baru ditemui di SMP. Cara memperolehnya juga dengan cara menghafal dan ulangan. Sekarang pada generasi Alpha usia 4 tahun dapat ditemui dimana saja dan dapat terekam dengan cepat pada skema kognitif melalui pemirsaan media audiovisual di media sosial. Itu terjadi karena daya rekam otak untuk mengolah dan menyimpan data hasil memirsa media audiovisual bisa 3 kali lebih baik dari sekedar mendengan penjelasan guru.
Kondisi itulah yang membuat mereka berbeda dengan generasi sebelumnya. Kondisi tersebut membuat meraka berkarakter lebih agresif, lebih cepat, instan, tidak sabaran, kurang sopan, tak acuh, selfish. Namun jangan lupa mereka lebih cerdas dari generasi berikutnya
Pada dasarnya semua teknologi memiliki manfaat dan madorot dan menjadi pro-kontra hingga semuanya menjadi biasa dan diangap normal. Perdebatan keras terjadi ketika pesawat terbang pertama kali digunakan untuk layanan komersial. Perdebatan yang sama sengitnya terjadi pada awal pertama diperbolehkan menggunakan alat kontrasepsi.
Kembali ke posisi generasi Alpha di bawah ancaman teknologi digital. Apakah orang tua dan guru sekarang ini bisa menjauhkan teknologi digital dari mereka. Kalau memag akan dilakukan, maka konsekuensinya orang rumah dan lingkungan sekitar harus steril dari teknologi tersebut. Sepertinya itu tidak mungkin. Kalaupun orang tua sanggup maka lingkungan sekitarnya tidak dapat dikendalikan. Ketika di rumah tidak ada maka anak akan mencarinya di luar. Itu lebih berbahaya lagi. Selain itu mari kita bayangkan apabila anak-anak dijauhkan dari teknologi digital secara sepihak. Mereka akan dianggap tidak normal, dan akan merasa tidak normal. Mereka akan menjadi individu terasing.
Tulisan ini bukan dalam rangka melarang atau mengharuskan menggunakan teknologi digital untuk generasi Alpha melainkan mengajak berpikir bijak, kritis dan solutif tentang menyikapi perkembangan tekologi digital yang tidak dapat dihindarkan dari generasi tersebut. Pertanyaannya: Bagaimana merekayasa fungsi teknologi digital agar dapat memetik manfaatnya sebanyak mungkin dan mengurangi dampak negatifnya sekecil mungkin?
Tentu tidak ada jawaban tunggal dan sederhana. Kondisi lokal menjadi variabel pokok yang menentukan jawaban. Selain itu, jawaban untuk pertanyaan ini akan bersifat coba-coba (trial and error) dan apabila ditemukan cara jitu di sebuah tempat, belum tentu jitu di tempat lain. Oleh karena itu semua orang tua dan guru harus mencari jawaban masing-masing. Namun demikian secara umum setidaknya ada dua jalur pokok solusi yaitu mengurangi kecanduan anak terhadap gadget, dan meningkatkan konten edukatif dalam teknologi digital.
Solusi pada jalur pertama adalah mengurangi ketergantungan anak-anak terhadap gadget. Pada dasarnya, perilaku anak adalah cerminan dari perilaku lingkungannya. Jadi kemungkinan besar kebiasaan anak memegang gadget pada awalnya adalah meniru orang dewasa di rumah. Selanjutnya, ketagihan. Orang dewasa yang paling sering dijumai di rumah adalah ibu, atau pengasuhnya. Oleh karena itu yang pertama kali harus dilakukan adalah membuat komitmen di rumah “Tidak membuka/menggunakan gadget di depan anak-anak berlama-lama”. Orang dewasa harus memperlihakan bahwa gadget digunakan untuk keperluan penting, bukan untuk bermain-main. Selama solusi itu diabaikan, akan sulit menghindari mengendalikan kecanduan anak terhadap gadget.
Solusi kedua pada jalur ini adalah menghindarkan kebiasaan orang tua untuk mengalihkan atau mengobati rengekan anak-anak dengan cara memberikan gadget, dan harus bertahan untuk tidak memberikan gadget kepada anak yang sudah ketagihan. Pada solusi ini orang tua harus sangat disiplin.
Solusi ketiga adalah banyak menyediakan kegiatan dan alat-alat permainan yang melibatkan fisik sehingga dapat mengalihkan perhatian anak-anak dari gadget ke kegiatan fisik. Bagi anak-anak, permainan fisik itu wajib. Anak-anak harus punya teman di lingkungannya untuk bermain bersama. Kalau tidak memungkinkan maka sebaiknya di play group. Di hari libur sangat baik apabila orang tua mengajak anak-anak untuk melakukan kegiatan fisik Bersama seperti cross country sambil mengenal lingkungan atau olah raga lainya.
Pada jalur kedua, orang dewasa harus meningkatkan konten edukatif dalam teknologi digital. Yang saya maksud orang dewas dalam konteks ini adalah pemerintah, lembaga swasta, entertainer, artis, sekolah, guru, orang tua, dan kaka-kaka pembuat konten digital. Saya belum pernah menyelidiki perbandingan konten digital yang hanya berisi hiburan dengan yang berisi pendidikan. Selain itu akan susah membedakannya karena setiap orang akan memiliki defisnisi yang berbeda. Untuk kondisi tertentu, konten hiburan pun dapat digunakan untuk pembelajaran. Yang jelas, kapan saja orang dapat mebuat konten yang langsung bisa dibuka oleh anak-anak
Akan sulit mengendalikan pihak-pihak tertentu pembuat konten digital karena menyangkut dengan regulasi, bisnis, bahkan politik. Yang dapat kita tangani adalah sekitar sekolah/madrasah, guru dan orang tua
Pertama, sekolah/madrasah seperti TK/RA, SD/MI, SMP/MTs sudah harus memiliki web yang memuat kontek menarik berkaitan dengan kurikulum. Syarat dari konten yang disajikan adalah menarik. Itu tidak sulit karena sudah bertebaran dimana-mana, sekolah tinggal mengumpulkannya, mengorganisisr, dan menyajikan link-nya di web sekolah/madrasah. Lebih baik lagi apabila sekolah/madrasah sudah memiliki kemampuan untuk membuat konten sendiri yang sesuai dengan kondisi lokal. Konten dimaksud berbentuk materi ajar dalam berbagai format (teks-hypertext-e-book-video-game dan sejenisnya); instrument penilaian online, informasi kegiatan, informasi hasil penilaian, informasi kehadiran, informasi prestasi dan sebagainya. Melalui web tersebut anak-anak dan seluruh atekaholder akan sering membuka web tersebut jarena dianggap penting.
Kedua, guru harus meningkatkan kehadirannya dalam media digital. Ketika anak-anak ditanya pertanyaan ekstrem: pilih guru atau HP? Lebih banyak anak yang memilih HP. Salah satu cara untuk melawannya adalah meningkatkan kehadirian guru dalam gadget yang mereka sering pegang. Misalnya, guru membuka kelas maya (online class). Aplikasi untuk membuka kelas maya sudah banyak dan banyak yang gratis. Bahkan dengan media sosial yang biasa sudah bisa. Kalau belum bisa, Dalam kelas maya tersebut guru menyajikan sistem instruksional melalui integrasi antara metode pembelajaran dengan media digital.
Ketiga bagi orang tua, harus dapat megendalikan konten yang dibuka anak-anak. Orang tua harus mengidentifikasi konten yang lebih edukatif untuk dijadikan menu bagi anak-anak untuk dibuka. Pada dasarnya anak-anak menggunakan gadget orng tua. Makanya harus terus mengontrol isi gadget. Apabila anak sudah mengunduh aplikasi tertentu yang tidak layak maka segera dihapus dan diperingatkan. Apabila memungkinkan, berilah mereka gadget yang sudah diisi dengan aplikasi berkonten positif sampai semua memorinya penuh hingga anak-anak tidak bisa mengunduh aplikasi atau konten lain. Apabila sekolah dan guru sudah memiliki web maka orang tua harus mengarahkan agar anak membuka konten yang disajikan sekolah/madrasah dan gurunya dengan cara dibantu dan diskusi.
Seperti sudah disampaikan di atas, banyak cara yang harus dilakukan dan tidak ada jaminan suatu cara akan tepat di semua situasi. Solusi-solusi di atas hanya alternatif. Semua pihak, khusunya orang tua, guru dan sekolah/madrasah harus berpikir terus untuk memberikan kontribusi agar generasi Z dan generasi Alpha selamat dari ancaman negatif budaya digital dan dapat memanfaatkan teknologi digital untuk mengembangkan potensi mereka agar dapat hidup lebih baik pada Zamannya. Mereka tidak bisa didik dengan cara yang sama dengan generasi sebelumnya. Kita, generasi X, harus rela mengorbankan status quo generasi untuk memahami dan mengantarkan generasi Z dan Alpha ke Zaman yang berbeda.
Sumber bacaan dan gambar: Wired Consulting, Understanding Alpha Generation, WIRED UK tom.upchurch@condenast.co.uk, diambil 21 Maret 2020.
BELAJAR DARI RUMAH
Oleh Asip Suryadi
Guru inspiratif, apakah Anda merasakan adanya tuntutan perubahan akibat dampak pandemi Covid19 pada pandangan Anda mengenai pendidikan, pembelajaran dan peran guru sebagi pigur penting dalam pendidikan? Bersyukurlah bagi yang merasakannya. Itu artinya Anda adalah guru adaptif.
Kita terhenyak dengan peristiwa besar yang menyebabkan setiap orang harus tinggal di rumah untuk beberapa bulan sebagai upaya isolasi agar virus pandemik yang diberi nama Covid19 tidak menyebar lebih luas. Banyak orang tidak sadar dan menganggap itu sepele. Itu yang menyebabkan virus ini tak terbendung sehingga di Indonesia hingga hari ini tanggal 10 Mei orang yang terjadngit sudah sampai 13.645. Kompas.com 14 April memprediksi bahwa sampai Mei suspek bisa sampai 50.000. Pada kondisi tersebut rumah sakit akan lumpuh. Kamar rawat rumah sakit dapat dibangun tapi tenaga medis tidak dapat dicetak dalam sehari. Lalu apa yang terjadi?
Bukan hanya itu, damapak pandemik tersebut telah memaksa tatanan sosial, politik dan ekonomi mengubah paradigmanya. Salah satu masalah yang akan dihadapi misalnya, pada ketahanan pangan. Berapa lama cadangan makanan dapat bertahan ketika pertanian berhenti, pabrik makanan tidak jalan, dan trasnprotasi lumpuh? Berapa lama masyarakat bisa hudup pada kondisi seperti itu? Bisa dibayangkan ketika pasokan makanan terbatas dan semakin langka. Tidak menutup kemungkinan terjadi keos baik pada tataran lokal, regional maupun global. Bisa saja terjadi perang antar negara merebutan sumber daya alam seperti air, energi, atau sumber makanan lain. Tentu akan memakan banyak korban pada pihak yang lemah. Pada kondisi tersebut dapat terjadi bencana kemanusiaan.
Di tengah krisis yang belum pernah terjadi sebelumnya seperti ini, sulit untuk melihat masa depan dengan akurat. Seolah-olah kita berkeliaran dalam kabut tebal. Kita sering kali hanya bisa berdoa. Oleh kaena itu seyogyanya kita menyadari bahwa banyak hal yang tidak dapat diprediksi. Alam memiliki sifat yang belum dipahami seutuhnya. Beberapa ahli secara ekstrim mengklaim bahwa dampak pandemi ini dapat memusnahkan ras manusia di bumi. Kemusnahan ras manusia (homo sapiens) bisa saja terjadi, seperti kepunahan homo erectus sekitar 500 ribu tahun lalu. Diprediksi bahwa kemusnahan jenis hominid tersebut karena mereka malas beradaptasi. Tidak mampu berinovasi. Makanya satu-satunya jalan untuk menjaga keberlanjutan ras manusia adalah beradaptasi dengan mekanisme alam.
Pada kesempatan ini mari kita diskusi mengenai adapatasi yang harus dilakukan masyarakat lokal dan global dalam bidang pendidikan. Salah satu dampak pandemi Covid19 adalah lockdown sekolah. Penutupan sekolah di 184 negara menyebabkan 1.53 milyar pelajar dirumahkan. Tentu dirumahkan bukan untuk libur belajar melainkan harus belajar dirumah. Namun di beberapa tempat penutupan sekolah benar-benar berarti hilanganya kesempatan belajar karena tidak ada fasilitas untuk terjadi interaksi antara guru dan siswa, sedangkan keluarga tidak memungkinkan untuk mengajari mereka. Pada kondisi ini proses pendidikan dapat berhenti total.
Pada umumnya di Indonesai dampak pandemi terhadap anak-anak tidak terlalu parah. Kecuali di lokasi-lokasi tertentu. Meraka hanya terkena aturan Belajar Dari Rumah (BDR). Meskipun begitu, kenyataannya program BDR bukan hal yang mudah. Pada bulan pertama guru, orang tua dan siswa mengalami kesulitan. Guru dan orang tua kebingungan bagaimana caranya mengajar anak di rumah. Pada bulan kedua malah tidak lebih baik karena intensitas belajar anak-anak malah menurun karena guru, orang tua dan siswa menghindari stress. Guru dan orang tua menjadi permisif. Pada saat artikle ini ditulis, adalah bulan ketiga belajar di rumah. Kebetulan bersamaan dengan bulan Romadhan. Rasanya suasana belajar di rumah semakin tidak kondusip. Lalu bagaimana selanjutnya kalau lockdown diperpanjang?
Belajar dari rumah!!! Yang mengajar sekarang bukan guru, tapi mamah-papah, om, tante atau kakak. Anak-anak seperti bertanya dalam dirinya. Apa ini belajar? Kalau belajar dengan guru, anak-anak tidak meminta syarat untuk mengerjakan sesuatu. Kalau dengan orang tua, mereka punya jurus jitu, yaitu kata “tidak mau”, atau minta syarat. Lalu orang tua mengalah. Pada kondisi ini banyak belajar yang tidak terjadi, atau intensitasnya sangat minim. Karena orang tua tidak ingin nilai anaknya buruk maka mengirim tugas hasil rekayasakepada guru.
Dalam regulasi dan tradisi persekolahan kita, tentu belajar di rumah seperti itu tidak akan sama hasilnya dengan belajar di kelas. Dapat dipastikan untuk semester ini, malah bisa saja untuk beberapa semester kedepan, anak-anak kehilangan waktu untuk menguasai kompetensi yang disyaratkan dalam kurikulum. Beruntung sebagian anak yang memiliki orang tua paham pendidikan sehingga dapat melakukan home schooling. Bagi banyak anak, berhenti pergi kesekolah berarti kehilangan waktu belajar.
Belajar di rumah sebenarnya bukan sebuah kesalahan. Banyak keluarga sukses melakukan home schooling. Hasilnya juga tidak buruk. Dengan metode ini justru anak-anak dapat belajar untuk menjalani hidup pada latar yang sebenarnya. Dibandingkan dengan skolah formal yang sering kali banyak terjebak dengan regulasi dan standar yang menyebabkan hasil belajar kurang bermakna. Banyak hasil homeschooling yang berbasis kompetensi. Salah satu contoh homeschooling yang dilakukan teman saya, setarap lulusan sekolah menengah dapat menulis buku yang diterbitkan di penerbit ternama. Contoh lain, pada usia sekeloah menengah anak sudah berhasil memulai wirausaha. Beberapa hasil homeschooling juga dapat masuk ke universitas ternama.
Keberhasilan homeschooling salah satunya disebabkan karena orang tua berhasil membangun kemampuan belajar mandiri (self-regulated dan self-directed learning). Sementara di sekolah regular, anak-anak lebih banyak belajar dengan cara mengikuti arahan guru yang menyebabkan anak-anak sangat tergantung pada gurunya.
Homeschooling adalah salah satu contoh sebauh keberhasilan (best practice). Dapat dijadikan alternatif pola untuk mengatasi disrupsi akibat pandemi Covid19. Namun itu terbatas untuk orang tua yang memiliki wawasan, keberanian dan kesepakatan dengan anak-anak untuk belajar tanpa keterlibatan guru reguler. Lantas bagaimana dengan sebagian besar keluarga yang masih membutuhkan keterlibatan guru reuler untuk mengajar anak-anaknya? Salah satu alternatifnya adalah distance education (belajar berjarak). Pada pola ini kurikulum dirancang oleh guru kemudian disajikan menggunakan teknologi agar peserta didik melakukan proses belajar mandiri.
Guru inspiratif, sebagai pendidik kita pasti merespon disrupsi ini dengan positif. Kita harus menjadikannya sebagai milestone sebuh perubahan. Pengalaman yang kita alami saat ini kita jadikan inspirasi untuk mengadaptasi cara berpikir dan cara bertindak kita yang selama ini ternyata tidak berlaku untuk situasi disruptif seperti sekrang ini.
Belajar berjarak
bagi banyak guru dan orang tua bukan hal yang biasa sebelumnya. Sesuatu yang
baru, namun “tidak bisa dihindari” sekarang ini. Orang tua lebih sering
beranggapan: Kalau mau belajar, ya di sekolah. Guru juga beranggapan: Kalau mau
belajar datang kepadaku. Malah banyak guru yang masih merpendapat bahwa, “Kalau
tidak saya jelaskan anak-anak tidak mengerti”. Persepsi ini sudah berlangsung
turun-temurun sejak nenek moyang. Mungkin menjadi sebuah keyakinan. Bagaiman
keyakinan ini dapat diubah?
Tapi keadaan mendesak. Keyakinan tersebut harus diubah. Dari keyakinan belajar dengan tatap muka (face-to face) ke belajar berjarak (distance). Dari pembeajaran yang biasanya para siswa dan guru bertemu dalam sebuah ruang kelas pada jadwal tertentu (regular) menjadi pembelajaran yang terjadi kapan saja dan dimana saja (irregular). Dari pembelajaran yang guru adalah sumber utama pembelajaran menjadi pembelajaran dengan beragam sumber belajar. Dan dari “siswa mendapat pelajaran dari guru (directed)” menjadi “siswa belajar mandiri” (self-directed).
Pembelajaran berjarak adalah konsep yang berbeda dengan pembelajaran tatap muka. Mengajar dari rumah bukan sekedar mengirimkan tugas untuk dikerjakan dan dikirimkan kepada guru seperti kebanyakan guru melakukanya sekarang ini. Mengajar dari rumah adalah membantu siswa agar belajar mandiri melalui sajian pelajaran yang dirancang untuk belajar berjarak. Dengan pola pembeljaan tersebut tidak masalah ketika guru ada di tmpat “X” dan peserta didik berada di tempat “Y” yang jaraknya bisa sangat jauh. Pada konsep ini guru tetap mengajar dan peserta didik tetap belajar.
Mari kita memanfaatkan momen ini untuk bereksperimen dengan pola pendidikan baru. Yaitu pola pendidikan yang mengedepankan anak-anak memiliki lebih banyak kebebasan, tanggung jawab dan kehendak untuk belajar mandiri. Pola Pendidikan yang mengarahkan agar anak-anak memiliki target belajar sendiri dan dapat mengendalikan dirinya mencapai suskes belajarnya. Melalui pola tersebut diharapkan anak-anak dapat menjadi independent learners dan long life learners sehingga tidak terpengaruh dengan krisis seperti distancing. Apabila anak-anak sudah memiliki sikap seperti itu maka kehadiran guru tidak menjadi syarat begi mereka untuk belajar.
Saya mempredikis bahwa disrupsi yang disebabkan oleh pandemi Covod19 akan mengubah tatanan persekolah di negeri ini. Kelihatannya pemerintah dan masyarakat akan mengembagkan lebih banyak ICT untuk pendidikan. Akan dibangun imprastruktur lebih banyak lagi sampai ke peloksok tanah air dan mengubah paham pendidik mengenai peran ICT dalam pembelajaran. Secara bertahap ke depan kelas-kelas akan diubah menjadi learning center berbasis ICT. Mungkin HP tidak lagi dilarang dibawa ke sekolah tapi akan digunakan sebagai media dan sumber belajar dari pada sebagai alat hiburan. Kalau itu terjadi maka pendidik harus beradaptasi secara radikal.
Guru inspirstif, Anda telah memulai berkeksperimen melakukan distance education. Guru mengirim tugas kepada siswa untuk mengerjakan soal-soal yang ada di buku melalui media sosial. Sebagian mengirimkan gambar dan video untuk dipelajari dan dites. Sebagian menambahkan dengan pertemuan virtual menggunakan aplikasi video convrencing. Sebagian ada yang lebih maju lagi, menggunakan LMS untuk menyajikan pembelajaran fully online.
Sebagian sudah baik, tapi Sebagian besar belum memenuhi kriteria pembelajaran jarak jauh yang baik. Kebanyakan guru belum mengunakan prinsip-prinsip pembelajaran jarak jauh dalam eksperimen ini. Pembelajaran jarak jauh yang dilakukan lebih banyak memperlihatkan kesan seakan-akan hanya memindahkan kegiatan tatap muka dari kelas ke rumah. Pada pendidikan dasar SD/MI, praktek ini hanya memindahkan tugas mengajar dari guru kepada orang tua yang membuat mereka banyak bertengkar. Pada peserta didik tingkat menengah, praktek pembelajaran jarak jauh ini menyulitkan. Banyak peserta didik kebingungan apa yang harus dilakukan karena instruksi sangat singkat dan seakan-akan semua instruksi adalah tes. Praktek seperti ini membuat peserta didik stress. Itu semua karena pembelajaran tersebut tidak dirancang untuk fungsi pembelajaran berjarak.
Tidak apa. Itu sudah merupakan sebuah upaya. Tidak ada yang salah pada praktek tersebut karena pola pembelajaran tersebut tidak bisa bagus dengan sendirinya. Yang perlu kita pikirkan kemudian adalah bagaimana memperbaikinya?
Bagi yang belum pernah sebelumnya, tidak gampang merancang dan menyajikan pembelajaran jarak jauh. Perubahan dari tatap muka ke jarak jauh tidak bisa menggunakan pedagogi tatap muka melainkan harus menggunakan pedagogi pembelajaan jarak jauh. Langkah pertama yang harus kita lakukan dalah mengenalkan distance education dan jenis-jenisnya. Selanjutnya kita belajar merancangnya
Pentingnya mempelajari pola pendidikan jarak jauh tentu bukan hanya untuk kebutuhan sesaat khususnya program BDR, tetapi memiliki prospek untuk perubahan persekolahan jangka panjang. Misalnya, selama ini sekolah hanya melayani peserta didik yang bisa pergi ke sekolah. Anak-anak yang sakit secara fisik dan tidak bisa pergi ke sekolah/madrasah baik selamanya atau sementara karena kecelakaan tidak bisa dilayani. Seyogyanya sekolah/madrasah mengubah paradigma ke arah pendidikan untuk semua. Kita harus punya visi “no one left behind” (tidak ada satu anak pun yang tertinggal). Contoh lain, anak berkebutuhan khusus yang tidak diizinkan oleh orang tuanya pergi ke sekolah/madrasah tidak dilayani untuk belajar karena tidak ada guru regular yang mau mengajarinya.
Gagasan ini memiliki implikasi terhadap semua stakeholder pendidikan. Legislatif harus mulai memikirkan regulasi mengenai keharusan satuan Pendidikan menyelenggarakan distance education agar pola ini mulai tumbuh secara nasional. Perguruan tinggi harus mulai menginisiasi dengan measukkan materi distance education dalam kurikulum pendidikan keguruan. Pemerintah harus mulai membangun kebijakan dan infrastruktur teknologi untk mendukung distance education. Lembaga kediklatan harus mulai menyusun kurikulum pelatihan untuk membekali para pendidik dan tenaga kependidikan pengetahuan dan keterampilan mengenai distance education. Selanjutnya, yang menjadi ujung tombaknya, guru harus mulai belajar serius untuk memahami dan terampil menyeajikan pembelajaran dengan pola distance education.
Guru inspiratif, tidak ada pilihan kecuali kita memulainya. Kita tidak harus menunggu pemerintah untuk menyelenggarakan pelatihan distance education. Mari kita pelajari pola pembelajaran tersebut sedikit demi sedikit. Banyak sumber belajar yang dapat kita akses untuk mempelajarinya baik berupa teks maupun multimedia. Pelajari hingga kita memahami dan tidak ragu leagi untuk mempraktekkannya.
Di blog ini akan disajikan artikel-artikel terkait dengan tema tersebut. Silakan mengikuti terus.
Selamat belajar.
Sumber gambar: http://www.pvsd.org/staff/brent-trinkle/learning-from-home
PENDIDIKAN JARAK JAUH
Oleh Asip Suryadi
Guru inspiratif, di artikle sebelumnya saya sudah menyodorkan kepada Anda alternatif pola pendidikan dan pembelajaran dalam mengantisipasi disrupsi yang telah dan akan mengubah pola kebijakan dan praktek pendidikan dan pembelajaran. Berikutnya mari kita diskusi mengenai definisi pendidikan jarak jauh. Saya sengaja membaca beberapa buku lama mengenai konsep pendidikan jarak jauh untuk mengambarkan bahwa konsep pendidikan jarak jauh bukan konsep baru. Karena sifatnya teoretis, mungkin artikel agak membosankan. Tapi saya pikir konsep ini penting untuk dipahami agar kita memiliki landasan untuk mengembangkannya.
Pendidikan terbuka jarak jauh adalah sebuah pendekatan alternatif dimana peserta didik dan guru tidak bertemu muka dalam arti fisik. Pendektan ini merupakan solusi untuk menaggulangi keterbatasn geografis, waktu dan biaya yang terjadi pada pendidikan dengan pendekatan tatap muka.Pendekatan pendidikan ini bukan konsep baru. Sejarah pertama penyelenggaraan pendidikan jarak jauh terjadi di era 1800 ketika pertama kali Universitas Choicago menyelenggarakan sebuah pendidikan dimana peserta didik dan guru berada di tempat yang berbeda menggunakan media korespondensi.
Para ahli di bidang pendidikan jarak jauh mengkaji pendidikan jarak jauh dari perspektif yang berbeda. B¨orje Holmberg, Charles A. Wedemeyer, dan Michael G. Moore mendefinisikan pendidikan jarak jauh lebih banyak dari sisi proses sedangkan Desmond Keegan, Otto Peters, Randy Garrison, dan John Anderson mengkajinya dari sisi pengorganisasiannya.
Holmberg (2008) menjelaskan bahwa pendidikan jarak jauh dicirikan dengan adanya keterpisahan antara guru/instruktur dengan peserta didik dan adanya penggunaan satu atau lebih media sebagai alat untuk menyatukannya. Media yang digunakan bisa tulisan tangan, cetakan, rekaman audio, TV, video, telepon, teleconference, web cam, video conference, e-mail dan jejaring sosial berbasis internet.
Keegan dalam Verduin dan Klark (1991) menjelaskan bahwa sebuah pendidikan jarak jauh memiliki 4 elemen yang menjadi karakter dari pendidikan jarak jauh. Keempat karakter yang dimaksud yaitu:
a. Adanya keterpisahan antara guru dengan peserta didik pada sebagian besar proses pembelajaran.
b. Peran lembaga pendidikan termasuk didalamnya perangkat evaluasi.
c. Peran media untuk menyatukan guru dan peserta didik sert.
d. Perangkat untuk menyelenggarakan two-way communication antara guru, tutor, atau agen pendidikan dengan perserta belajar.
Menurut Verduin dan Clark elemen pertama dari definisi tersebut menjelaskan bahwa sebuah pendidikan dapat disebut pendidikan jarak jauh apabila lebih dari setengah proses pembelajarannya dilakukan secara asynchronous. Elemen kedua memuat gambaran pentingnya organisasi, evaluasi dan komponen kelembagaan lainnya. Elemen ketiga menggambarkan peran media untuk menyatukan hubungan antara guru dengan peserta didik; dan elemen keempat menggambarkan pentingnya komunikasi dua arah antara guru/tutor/fasilitator dengan peserta didik. Terkait dengan harus adanya komuniasi dua arah Hillary Perraton memberikan batasan bahwa sebuah proses pendidikan dapat dikatanan pendidikan jarak jauh apabila mayoritas proses pembelajaran diselenggarakan secara asynchronous.
Perraton (1993) mejelaskan bahwa dalam definisi-definisi tersebut digambarkan adanya karakter industrialisasi pada pendidikan jarak jauh. Hal ini memang menjadi salah satu isu terkait dengan pendidikan jarak jauh yang sering diangkat oleh para ahli terutama di Amerika seperti Keegan, Peters, Garrison dan Anderson. Pendidikan jarak jauh memang diselenggarakan dengan tujuan pragmatis untuk efesiensi dan efektifitas proses dan hasil pendidikan. Salah satunya untuk menjangkau peserta didik yang tidak memungkinkan untuk belajar dengan cara tatap muka dalam jumlah yang banyak dengan biaya pendidikan minimal.
Menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistim Pendidikan Nasional (SISDIKNAS), yang dimaksud dengan pendidikan jarak jauh (PJJ) adalah pendidikan yang peserta didiknya terpisah dari pendidik dan pembelajarannya menggunakan berbagai sumber belajar melalui teknologi komunikasi, informasi dan media lainny. Soekartawi (2006) mengelaborasi pernyataan undang-undang tersebut dengan memberikan ciri yang spesifik dari pendidikan jarak seperti berikut:
a. Kegiatan belajar terpisah dengan kegiatan pembelajaran. Selama proses belajar peserta didik dan guru terpisahkan oleh tempat, jarak geografis dan waktu atau kombinasi dari ketiganya.
b. Karena peserta didik dan guru terpisah selama pembelajaran, maka komunikasi diatara keduanya dibantu dengan media pembelajaran, baik media cetak (bahan ajar berupa modul) maupun media elektronik (CD-ROM, VCD, telepon, radio, video, televisi, komputer).
c. Jasa pelayanan disediakan baik untuk peserta didik maupun untuk guru, misalnya resource learning center atau pusat sumber belajar, bahan ajar, infrastruktur pembelajaran, dsbnya). Dengan demikian baik peserta didik maupun guru tidak harus mengusahakan sendiri keperluan dalam proses belajar-mengajar.
d. Komunikasi antara peserta didik dan guru bisa dilakukan baik melalui cara komunikasi satu maupun dua arah (two-ways communication). Contoh komunikasi dua arah ini, misalnya teleconferencing, videoconferencing, emoderating, dsb-nya).
e. Poroses belajar-mengajar di PJJ masih dimungkinkan dengan melakukan pertemuan tatap muka (tutorial), walaupun itu bukan suatu keharusan.
f. Selama kegiatan belajar, peserta didik cenderung membentuk kelompok belajar, walaupun sifatnya tidak tetap dan tidak wajib. Kegiatan berkelompok diperlukan untuk memudahkan peserta didik belajar.
Miarso (2007) menyatakan bahwa istilah pendidikan terbuka (open education) merupakan istilah umum (generic). Istilah ini menggambarkan sebuah konsep pendidikan terbuka dan sepanjang hayat. Menurtu Edward yang dikutip Dabbagh (2005), pembelajaran terbuka merupakan pendekatan baru yang menekankan kepada peralihan dari kurikulum yang telah dipatok kepada belajar yang bersifat kehendak dan kebutuhan individual melalui penciptaan fasilitas agar peserta didik dapat belajar dalam konteks sekarang dan disini. Prinsip kunci dari pmebelajaran terbuka menurut The California State University Center for Distributed Learning yang dukutip Dabbagh adalah pembelajaran yang terpusat pada peserta didik, menitikberatkan kepada proses balajar dari pada mengajar. Selain itu pembelajaran terbuka menyediakan keleluasaan kepada peserta didik untuk menentukan tujuan belajar sendiri.
Konsep pendidikan ini berbeda dengen konsep pendidikan formal konvensional dimana peserta didik harus mengikuti program pembelajaran dengan kurikulum tertentu, pada kurun waktu tertentu, jadwal tertentu dan di tempat tertentu, tidak terikat dengan persyaratan dan target maupun kualifikasi akademis seperti itu.
Dalam prakteknya pendidikan terbuka dapat diselenggarakan secara formal maupun non formal. Contoh pendidikan terbuka formal di Indonesia adalah program SMP terbuka. Program ini memfasilitasi anak-anak usia sekolah unutk belajar tanpa harus datang ke sekolah di waktu tertentu meskipun harus mencapai target tertentu untuk sertifikasi (ijazah). Contoh lain dari pendidikan terbuka adalah Universitas Terbuka yang telah diselenggarakan hampir setengah abad di negeri ini dan pelatihan jarak jauh bagi pegawai atau karyawan, kursus terbuka, konferensi, workshop dan sejenisnya.
Contoh pendidikan terbuka nonformal adalah program-program pendidikan di TV, radio, media masa cetak dan media masa elektronik lainnya seperti tayangan film kartun untuk anak usia dini, ceramah agama, kolom tertetnu di majalah dan koran, sampai informasi ilmu pengetahuan yang dimuat di internet seperti knowledge networks, knowledge portals, asynchronous learning networks, virtual classrooms, dan telelearning. Melalui media tersebut setiap orang dapat belajar kapan saja, dimana saja dan benar-benar bebas dari target tertentu.
Istilah distance education (pendidikan jarak jauh) merupakan istilah yang mengandung konsep lebih spesifik. Menurut Miarso, (2007) semua pendidikan jarak jauh adalah pendidikan terbuka namun tidak sebaliknya. Pendidikan jarak jauh adalah pendidikan terbuka yang terstruktur dan ketat karena harus mengikuti program yang telah dirancang. Jadi pendidikan jarak jauh adalah pendidikan terbuka yang bersifat formal.
Distance education (pendidikan jarak jauh), distance teaching (pembelajaran jarak jauh) dan distance learning (belajar jarak jauh) sering kali digunakan secara bergantian (interchangeable). Keegan (1991) membedakan ketiga istilah tersebut sebagai berikut. Distance Teaching menggambarkan proses pembelajaran menggunakan bahan ajar mandiri yang dapat digunakan oleh lembaga pendidikan untuk memberikan pelajaran dari jauh. Dengan perkataan lain istilah distance teaching menggambarkan kegiatan yang dilakukan oleh guru. Distance Learning lebih banyak menekankan pada proses belajar. Istilah ini menggambarkan penekanan pada bantuan-bantuan yang perlu diberikan kepada peserta didik supaya mereka belajar dan dapat memahami isi pelajarannya. Istilah Distance Education merupakan perpaduan istilah Distance Teaching dan Distance Learning (Verduin & Clark, 1991).
Dalam praktek komunikasi belajar jarak jauh dikenal istilah syncheonous (bersaman waktu) dan asynchronous (berbeda waktu). Istilah ini menunjukkan hubungan antara narasumber/turor/guru dengan peserta didik. Pembelajaran dapat terjadi secara synchronous, yaitu pertemuan antara sumber/turor/guru dengan peseta didik pada waktu yang bersamaan seperti kegiatan tatap muka, melalui telepon, chating melalui jejaring sosial atau teleconference melalui audio/video online. Kegiatan asynchronous dilakukan dalam bentuk belajar mandiri melalui membaca, tutorial melalui media cetak (modul), e-mail, video on dimand (VOD), diskusi online, simulasi onlne, online game dan sebagianya. Jadi istilah synchronous dan asynchronous menggambarkan bentuk komunkasi antara peserta didik dengan tutor/narasumber/guru dalam pendidikan jarak jauh. Dalam open learning baik asynchronous maupun synchronous merupakan pembelajaran yang tidak terjadwal.
Distributed earning memiliki konsep yang serupa dengan belajar jarak jauh namun istilah ini menggambarkan karakter dari media dan bentuk kegiatan balajarnya. Distributed earning didefinisikan sebagai sebuah model instruksional yang melibatkan berbagai macam teknologi seperti video/audio conferencing, penyiaran via satelit dan web-base untuk membantu peserta didik belajar dengan mudah kapan saja dan dimana saja. Raiser dan Dempsey (2007) menjelaskan bahwa karekter distributed learning adalah penggunaan beragam bentuk peralatan yang menyebabkan peserta didik dapat belajar dalam berbagai bentuk.
Menurut Knowledge yang dikutip Dabbagh (2005), distributed learning adalah konsep yang menggambarkan pendidikan yang disampaikan kapan saja, dimana saja, di tempat beragam, menggunakan satu atau lebih jenis teknologi. Dabbagh menambahkan bahwa dalam konteks perkembangan teknologi IT, distributed learning menggambarkan sebuah wahana pembelajaran (learning environment) dimana peserta didik menyelesaikan program pendidikan di rumah atau di kantor dengan cara berkomuniaksi dengan penyelenggara dan peserta didik lain melalui e-mail, forum elektronik, videoconference, media komouter lainnya serta web-based teknologi lainnya. Dalam model pendidikan ini peserta didik dapat menentukan arah dan jadwal belajar menurut kebutuhan sendiri.
Berdasarkan perspektif pedagogi, menurut Dabbagh distributed learning "…result in diffuse of cognition-where what is know lies in the interaction between individual and artifact, such as computer and other technologycal devices." (terjadinya proses penyerapan pengetahuan kedalam pikiran dimana pengetahuan yang diserap terletak pada proses interaksi antara individu dengan media) (Dabbagh, 2005: 30). Dalam konsep ini sumber belajar menyebar dalam media berteknologi yang dapat diperoleh kapan saja, dimana saja tanpa terikat dengan jadwal melalui proses interaksi antara individu dengan media. Contohnya perkuliahan terbuka, pelatihan terbuka, seminar online dan sejenisnya.
Pendidikan jarak jauh merupakan kebalikan dari pendidikan dengan pola tatap muka. Bates menggambarkan kontinum pendidikan tatap muka menuju pendidikan jarak jauh seperti pada skema berikut (Bates, 2015).
Pada skema di samping digambarkan pendekatan pendidikan dari tatap muka sampai jarak jauh beserta teknologi penyertanya. Diantara pendekatan tatap muka dan jarak jauh ada pendekatan blended (campuran tatap muka dan jarak jauh). Pada pendekatan tersebut digunakan beragam teknologi dari korespondensi sampai internet. Pada konteks teknologi Bates menggunakan konsep ditributed learning untuk pendidikan jarak jauh menggunakan internet.
Dari segi metode pendidikan dimulai dari non-e-learning hingga e-learning seluruhnya. Dalam perubahan tersebut terjadi juga perubahan bentuk komunikasi antara guru-peserta didik dari pembelajaran tatap muka pada non-online learning hingga pendidikan jarak jauh pada e-learning. Sementara itu sifat sumber belajar berubah ke arah distributred learning.
Berdasarkan penjelasan singkat di atas maka dapat disimpulkan bahwa pendidikan jarak jauh adalah sebuah bentuk pendidikan (formal maupun non formal) dimana guru dan peserta didik berada di tempat berbeda dan sebagian besar penyelenggarakan komunikasi edukatif dilakukan secara tidak tatap muka menggunakan teknologi informasi dalam berbagai bentuk dengan tujuan agar pembelajaran dapat dijangkau oleh peserta didik lebih leluasa (fleksibel) dari segi waktu, empat dan biaya. Dalam konsep tersebut terdapat empat aspek yang membangun pendidikan jarak jauh yaitu konsep pendidikan terbuka jarak jauh, organisasi pembelajaran, media pembelajaran dan pedagogi pembeljaran jarak jauh.
DAFTAR PUSTAKA
Bates, A. W. (Tony). (2015). Teaching in a Digital Age Guideline for Designing Teaching and Learning. In Teaching in a digital age. Tony Bates Associates LTD. https://doi.org/10.1017/CBO9781107415324.004
Dabbagh, N. (2005). Pedagogical Models for E-Learng: inA Theory-Based Design Framework. International Journal of Technology in Teaching and Learning, 1(1), 25–44. http://www.sicet.org/journals/ijttl/issue0501/DabbaghVol1.Iss1.pp25-44.pdf
Holmberg, et al. (2008). The evolution, principles and practices of distance education. In Distance Education. http://www.mde.uni-oldenburg.de/download/asfvolume11_eBook.pdf
Miarso, Y. (2007). Menyemai Benih Teknologi Pendidikan. Kencana Prenada Media Group.
Peratton, H. (1993). Context. In H. Perraton (Ed.), Distance Education for Teacher Training (p. 4). Routledge. http://ir.obihiro.ac.jp/dspace/handle/10322/3933
Soekartawi. (2006). Blended e-Learning: Alternatif Model Pembelajaran Jarak Jauh di Indonesia. Seminar Nasional Aplikasi Teknologi Informasi 2006 (SNATI 2006), A-93-A-100.
Verduin, J. R., & Clark, T. A. (1991). Distance Eduction: The Foundations of Effective Practices. Jossey-Bass Publisher.
Langganan:
Postingan (Atom)
Ipsum
Delete this widget in your dashboard. This is just an example.
Dolor
Delete this widget in your dashboard. This is just an example.