Oleh Asip Suryadi
Apakah Anda orang tua atau guru lahir antar tahun 1965
sampai 1979? Apabila ya, Anda termasuk orang tua dan guru generasi X (Eks).
Termasuk saya. Sekarang kita sedang berhadapan dengan anak-anak yang lahir
antara 1995 sampai 2010? Mereka adalah generasi Z (Zi); dan yang
lahir setelah 2010 yang disebut generasi Alpha.
Bagaiama
persepsi Anda mengenai anak-anak kita sekarang ini? Orang tua dan guru sering
mengeluh bahwa mendidik anak sekarang lebih sulit dari mengajar anak dulu. Keluhan
itu sudah saya dengar sejak dulu ketika guru berbincang dengan orang tua waktu
saya usia SD. Sekarang saya sudah menjadi orang tua untuk 5 anak, banyak orang
tua dan guru juga yang berseloroh bahwa mengajar anak sekarang lebih sulit dari
pada mengajar anak dulu. Jadi seingat saya, keluhan orang tua dan guru dari
dulu sama. Anak-anak susah belajar, mereka kurang hormat kepada orang tua dan
guru dan perilakunya aneh-aneh.
Jangan-jangan
selama perjalanan sejarah persepsi orang tua dan guru tentang anak-anak tidak
berubah. Kalau iya, ada indikasi bahwa tidak ada saling pengertian antara orang
tua dan guru dengan anak-anak. Orang tua dan guru tidak memahami karakter anak-anak,
dan anak-anak tidak dapat memahami harapan orang tua dan guru. Orang tua dan
guru salah paham mengenai anak-anak dan anak-anak salah paham mengenai orang
tua dan guru. Terjadi gap yang menyebabkan perseleisihan abadi antara orang tua
dan guru dengan anak-anak.
Terlebih
lagi di era sekarang. Kita menghadapi generasi Z dan generasi Alpha
yang 100% dibentuk oleh teknolgi digital. Gadget pinter sepeti HP dan tablet
telah mencandui anak-anak hingga pikiran mereka hampir setengahnya berpikir
tentang konten elektronik. Pada konsidi ini saya mengira, orang tua dan guru
hanya memiliki setengah ruang di pikiran mereka. Contohnya, anak saya berusia 4
tahun keranjingan tyrannosaurus karena sering menonton kontn YouTube
di TV online. Pertanyaan dia sehari-hari tentang tyrannosaurus
yang saya sendiri tidak paham. Bangun tidur pagi sudah menceritakan mimpi
tentang tyrannosaurus. Kakaknya 6 tahun pernah keranjingan nge-game
Mobile Legend dan Free Fire; kakakny lagi 8 tahun keranjingan boneka
berbie dan kakanya lagi usia SMP keranjingan K-Pop.
Kondisi
ini membangkitkan kehawatiran orang tua dan guru yang sangat besar dan kerap
memancing kemarahan. Bagaimana tidak, ketika orang tua meminta bantuan atau
mengajak mereka belajar, mereka selalu mengatakan “nanti dulu”. Mereka juga
menjawab dengan bahasa yang sering tidak dipahami sehingga kita sering meminta
penjelasan dengan nada ketus.
Para ahli
mengatakan bahwa mereka tumbuh pada era digital yang perkembangannya tidak
dapat terampalkan (unpredictable). Usia 2 tahun bayi sudah dapat bermain
dengan layar sentuh. Mereka bermain dengan alat yang dikendalikan kecerdasan
buatan (Artificial Intelligence) mengunakan alat maya (virtual)
dengan isi relitas gabungan antara nyata dan khayalan yang terhubunga secara
global. Lingkungan bermain tersebut mencetak pikiran, perasaan, perilaku dan
kebiasaan hidup yang berbeda dan khas. Dampaknya mereka bermain dan belajar
dengan cara yang berbeda. Beberapa ahli neuroscientists dan ahli psikhologi
bahkan meyakini bahwa pikiran mereka berbeda dengan generasi pendahulunya.
Generasi Alpha,
istilah yang dilontarkan oleh peneliti sosial Mark McCrindle untuk menjelaskan
kelompok masyarakat yang lahir setelah tahun 2010. Megapa generasi Alpha
terlihat berbeda? Mengutip ahli neuroscience Universitas California
dalam sebuah laporan yang diterbitkan WIRED Consulting, Michael MarZenich,
menjelaskan bahwa otak tidak berkembang dalam ruang hampa (vacuum),
melainkan dibentuk secara terus menerus melalui pengalaman yang tersaji di
lingkugan sekitar. Setiap pengetahuan dan keterampilan dibentuk dan disaring
dari keterlibatan otak dalam interkasi kehidupan sehari-hari. Teroi ini disbut brain
plasticity.
Generasi Alpha
berada dalam hingar bingar perdebatan mengenai manfaat dan madorot dari
teknologi digital. Susan Greenfield seorang peneliti Univeristas Oxford menegaskan
bahwa teknologi dalam genggaman jemari menyebabkan anak-anak tidak perlu
berpikir fakta, tangal nomor dan tempat untuk emnjawab pertanyaan sederhana.
Hanya dengan memencet icon tertentu saja kita dapat mendapatkan
informasi yang kaurat. Menurut Greenfield perilaku ini dapat menyebabkan
rusaknya fungsi penyimpanan informasi ingatan kesulitan mengingatnya ketika
diperlukan. Konten-konten dewasa yang belum pantas dilihat anak-anak dapat
dibuka dengan bebas sehinga dapat menyebabkan ketidakwajaran perkembangan
psikologis. Menurut penelitian, anak-anak yang kecanduan konten pornografi dapa
megalami kerusakan patal dalam otaknya.
Selain
itu diklaim bahwa konten digital lebih banyak menyebabkan madorot. Google
membuat anak-anak bodoh karena hampir semua inofrmasi dapat diperoleh dengan
beberapa “klik” saja tanpa harus belajar; smartphone (HP) telah mengubah
anak-anak menjadi zombie karena berjalan tanpa melihat kanan-kiri, dan Facebook
telah membuat semua orang narsis karena ketagihan up-date status hanya
untuk memperoleh jempol (like) saja yang sebenarnya tidak bermakna (absurd);
lalu anak-anak dapat mengakses orang-orang seluruh dunia berjoged dengan gaya Tik-Tok
untuk mengekspresikan bahwa mereka gaya dan melek teknologi. Semua itu telah
mencetak gambaran tentang dunia masa kini pada struktur otak di semua bagian
dan fungsinya. Dalam benak mereka, inilah dunia tempat mereka hidup.
Di sisi
lain, banyak yang berargumentasi bahwa teknologi digital dapat membangkitkan
kemampuan hingga titik dimana kemampuan manusia sebelumnya tidak bisa melakukannya
dan membantu dalam meyelesaikan masalah dengan kerumitan tinggi. Dulu orang
tidak dapat membayangkan kalau seseorang dapat mengirim pesan kepada rekannya
yang ribuan kilometer jaraknya. Beberapa hasil penelitian mengungkap bahwa
teknologi digital telah menambah keterampilan anak-anak dalam mengerjakan
tugas-tugas tertentu. Misalnya manfaat dari permainan digital seperti video
games bagi perkembangan kemampuan visual anak. Penelitian lain menunjukkan
bahwa terjadi peningkatan koordinasi mata-tangan dan kemampuan mengerjakan
beberapa tugas dalam waktu yang sama yang disebabkan oleh kebiasaan bermain video
games. Penelitian lain mengungkapkan terjadinya peningkatan skor hasil tes
intelegensi yangterkait dengan penyelesaian masalah (problem solving).
Pada
kehidupan sehari-hari kita sering menemukan manfaat yag tak tergambarkan
sebelumnya dari teknologi digital bagi anak-anak generasi Alpha. Contoh
sederhana, anak saya yang keranjingan tyrannosaurus suatu saat ketika saya baru
tiba di rumah, dia berseloroh sepontan “… brakiosourus itu herbikor pah,
kalo tiranosourus karnikor”. Istilah yang dia maksud adalah “herbifor”
dan “karnifor”. Itu istilah pada mata pelajaran biologi yang pada masa saya dulu
baru ditemui di SMP. Cara memperolehnya juga dengan cara menghafal dan ulangan.
Sekarang pada generasi Alpha usia 4 tahun dapat ditemui dimana saja dan dapat
terekam dengan cepat pada skema kognitif melalui pemirsaan media audiovisual di
media sosial. Itu terjadi karena daya rekam otak untuk mengolah dan menyimpan data
hasil memirsa media audiovisual bisa 3 kali lebih baik dari sekedar mendengan
penjelasan guru.
Kondisi
itulah yang membuat mereka berbeda dengan generasi sebelumnya. Kondisi tersebut
membuat meraka berkarakter lebih agresif, lebih cepat, instan, tidak sabaran,
kurang sopan, tak acuh, selfish. Namun jangan lupa mereka lebih cerdas dari
generasi berikutnya
Pada
dasarnya semua teknologi memiliki manfaat dan madorot dan menjadi pro-kontra
hingga semuanya menjadi biasa dan diangap normal. Perdebatan keras terjadi
ketika pesawat terbang pertama kali digunakan untuk layanan komersial.
Perdebatan yang sama sengitnya terjadi pada awal pertama diperbolehkan
menggunakan alat kontrasepsi.
Kembali
ke posisi generasi Alpha di bawah ancaman teknologi digital. Apakah orang tua
dan guru sekarang ini bisa menjauhkan teknologi digital dari mereka. Kalau
memag akan dilakukan, maka konsekuensinya orang rumah dan lingkungan sekitar
harus steril dari teknologi tersebut. Sepertinya itu tidak mungkin. Kalaupun
orang tua sanggup maka lingkungan sekitarnya tidak dapat dikendalikan. Ketika
di rumah tidak ada maka anak akan mencarinya di luar. Itu lebih berbahaya lagi.
Selain itu mari kita bayangkan apabila anak-anak dijauhkan dari teknologi
digital secara sepihak. Mereka akan dianggap tidak normal, dan akan merasa
tidak normal. Mereka akan menjadi individu terasing.
Tulisan
ini bukan dalam rangka melarang atau mengharuskan menggunakan teknologi digital
untuk generasi Alpha melainkan mengajak berpikir bijak, kritis dan solutif tentang
menyikapi perkembangan tekologi digital yang tidak dapat dihindarkan dari
generasi tersebut. Pertanyaannya: Bagaimana merekayasa fungsi teknologi digital
agar dapat memetik manfaatnya sebanyak mungkin dan mengurangi dampak negatifnya
sekecil mungkin?
Tentu
tidak ada jawaban tunggal dan sederhana. Kondisi lokal menjadi variabel pokok
yang menentukan jawaban. Selain itu, jawaban untuk pertanyaan ini akan bersifat
coba-coba (trial and error) dan apabila ditemukan cara jitu di sebuah tempat,
belum tentu jitu di tempat lain. Oleh karena itu semua orang tua dan guru harus
mencari jawaban masing-masing. Namun demikian secara umum setidaknya ada dua jalur
pokok solusi yaitu mengurangi kecanduan anak terhadap gadget, dan meningkatkan
konten edukatif dalam teknologi digital.
Solusi
pada jalur pertama adalah mengurangi ketergantungan anak-anak terhadap gadget. Pada
dasarnya, perilaku anak adalah cerminan dari perilaku lingkungannya. Jadi
kemungkinan besar kebiasaan anak memegang gadget pada awalnya adalah meniru
orang dewasa di rumah. Selanjutnya, ketagihan. Orang dewasa yang paling sering
dijumai di rumah adalah ibu, atau pengasuhnya. Oleh karena itu yang pertama
kali harus dilakukan adalah membuat komitmen di rumah “Tidak
membuka/menggunakan gadget di depan anak-anak berlama-lama”. Orang
dewasa harus memperlihakan bahwa gadget digunakan untuk keperluan penting,
bukan untuk bermain-main. Selama solusi itu diabaikan, akan sulit menghindari mengendalikan
kecanduan anak terhadap gadget.
Solusi
kedua pada jalur ini adalah menghindarkan kebiasaan orang tua untuk mengalihkan
atau mengobati rengekan anak-anak dengan cara memberikan gadget, dan harus
bertahan untuk tidak memberikan gadget kepada anak yang sudah ketagihan. Pada
solusi ini orang tua harus sangat disiplin.
Solusi
ketiga adalah banyak menyediakan kegiatan dan alat-alat permainan yang
melibatkan fisik sehingga dapat mengalihkan perhatian anak-anak dari gadget ke
kegiatan fisik. Bagi anak-anak, permainan fisik itu wajib. Anak-anak harus
punya teman di lingkungannya untuk bermain bersama. Kalau tidak memungkinkan
maka sebaiknya di play group. Di hari libur sangat baik apabila orang
tua mengajak anak-anak untuk melakukan kegiatan fisik Bersama seperti cross
country sambil mengenal lingkungan atau olah raga lainya.
Pada
jalur kedua, orang dewasa harus meningkatkan konten edukatif dalam teknologi
digital. Yang saya maksud orang dewas dalam konteks ini adalah pemerintah, lembaga
swasta, entertainer, artis, sekolah, guru, orang tua, dan kaka-kaka
pembuat konten digital. Saya belum pernah menyelidiki perbandingan konten
digital yang hanya berisi hiburan dengan yang berisi pendidikan. Selain itu
akan susah membedakannya karena setiap orang akan memiliki defisnisi yang
berbeda. Untuk kondisi tertentu, konten hiburan pun dapat digunakan untuk
pembelajaran. Yang jelas, kapan saja orang dapat mebuat konten yang langsung
bisa dibuka oleh anak-anak
Akan sulit
mengendalikan pihak-pihak tertentu pembuat konten digital karena menyangkut dengan
regulasi, bisnis, bahkan politik. Yang dapat kita tangani adalah sekitar sekolah/madrasah,
guru dan orang tua
Pertama,
sekolah/madrasah seperti TK/RA, SD/MI, SMP/MTs sudah harus memiliki web yang
memuat kontek menarik berkaitan dengan kurikulum. Syarat dari konten yang
disajikan adalah menarik. Itu tidak sulit karena sudah bertebaran dimana-mana,
sekolah tinggal mengumpulkannya, mengorganisisr, dan menyajikan link-nya
di web sekolah/madrasah. Lebih baik lagi apabila sekolah/madrasah sudah
memiliki kemampuan untuk membuat konten sendiri yang sesuai dengan kondisi
lokal. Konten dimaksud berbentuk materi ajar dalam berbagai format (teks-hypertext-e-book-video-game
dan sejenisnya); instrument penilaian online, informasi kegiatan, informasi
hasil penilaian, informasi kehadiran, informasi prestasi dan sebagainya.
Melalui web tersebut anak-anak dan seluruh atekaholder akan sering membuka web
tersebut jarena dianggap penting.
Kedua,
guru harus meningkatkan kehadirannya dalam media digital. Ketika anak-anak
ditanya pertanyaan ekstrem: pilih guru atau HP? Lebih banyak anak yang memilih
HP. Salah satu cara untuk melawannya adalah meningkatkan kehadirian guru dalam
gadget yang mereka sering pegang. Misalnya, guru membuka kelas maya (online
class). Aplikasi untuk membuka kelas maya sudah banyak dan banyak yang gratis.
Bahkan dengan media sosial yang biasa sudah bisa. Kalau belum bisa, Dalam kelas
maya tersebut guru menyajikan sistem instruksional melalui integrasi antara
metode pembelajaran dengan media digital.
Ketiga
bagi orang tua, harus dapat megendalikan konten yang dibuka anak-anak. Orang
tua harus mengidentifikasi konten yang lebih edukatif untuk dijadikan menu bagi
anak-anak untuk dibuka. Pada dasarnya anak-anak menggunakan gadget orng tua. Makanya
harus terus mengontrol isi gadget. Apabila anak sudah mengunduh aplikasi
tertentu yang tidak layak maka segera dihapus dan diperingatkan. Apabila
memungkinkan, berilah mereka gadget yang sudah diisi dengan aplikasi berkonten
positif sampai semua memorinya penuh hingga anak-anak tidak bisa mengunduh aplikasi
atau konten lain. Apabila sekolah dan guru sudah memiliki web maka orang tua
harus mengarahkan agar anak membuka konten yang disajikan sekolah/madrasah dan
gurunya dengan cara dibantu dan diskusi.
Seperti
sudah disampaikan di atas, banyak cara yang harus dilakukan dan tidak ada
jaminan suatu cara akan tepat di semua situasi. Solusi-solusi di atas hanya alternatif.
Semua pihak, khusunya orang tua, guru dan sekolah/madrasah harus berpikir terus
untuk memberikan kontribusi agar generasi Z dan generasi Alpha
selamat dari ancaman negatif budaya digital
dan dapat memanfaatkan teknologi digital untuk mengembangkan potensi mereka
agar dapat hidup lebih baik pada Zamannya. Mereka tidak bisa didik
dengan cara yang sama dengan generasi sebelumnya. Kita, generasi X, harus rela
mengorbankan status quo generasi untuk memahami dan mengantarkan generasi
Z dan Alpha ke Zaman yang berbeda.