EKOSISTEM ONLINE LEARNING
Oleh Asip Suryadi
Guru inspriratif, dari segi lingkungan belajar (learning environment), apa bedanya pendidikan tatap muka dengan pendidikan jarak jauh? Apakah benar-benar beda? Atau tidka jauh berbeda?
Tentu ada kesamaan dan perbedaan. Komponen-komponen yang sama tentu saja tujuannya. Pada pola pendidikan tatap muka maupun jarak jauh, semua pendidikan bertujuan untuk memfasilitasi peserta didik untuk belajar sesuai dengan kurikulum yang telah ditetapkan. Materi kurikulum juga bisa sama. Selain itu nama metode yang digunakan bisa sama. Misalnya menggunakan metode diskusi, atau wawancara, atau observasi. Hanya saja teknis dan penyejian instruksinya berbeda. Banyak lagi komponen yang tidak ebrbeda pada kedua pola ini.
Yang berbeda adalah pada pola dan bentuk interaksi. Khususnya pada online learning, perbedaan pola dan bentuk interaksi selain disebabkan karena karakter interaksi yang berjarak (remote), beda tempat (different place), jeda waktu (paused); perbedaan interaksi disebabkan karena karakter teknologi komunikasi yang digunakan. Diantaranya, teknologi online memungkinkan pola interasksi yang lebih personal.
Mari kita lihat contoh sederhana interaksi online. Dua orang sahabat berada di tempat yang sama, berinteraksi menggunakan media sosial tanpa komunikasi verbal. Seakan mereka tidak berinteraksi sama sekali, padahal mereka sedang beriteraksi bersama 1000 atau lebih teman lainnya yang berada di tempat berbeda. Mereka dapat mengekspresikan apa saja melalui kata dan lambing-lambang “seperti emoticon” tanpa harus merasa jengah. Beda dengan komunikasi tatap muka yang kadang jengah karena orang yang diajak komunikasi ada di depan mata dan orang lain dapat mendengarkan juga.
Ketika teknologi online digunakan sebagai media dan sumber belajar, karakter komunikasi tersebut menenutkan karakterisitk belajar. Seperti diungkapkan bahwa teknologi online dapat menyebabkan orang berkomunikasi lebih personal. Maksudnya, selain online learning dapat dilakukan kapan saja, dimana saja dan dengan apa saja; peserta didik dapat belajar dengan gaya masing-masing. Misalnya, preferensi gaya orang belajar bisa cenderung auditory, visual atau kinesthetic; melalui online learning seseorang dapat memilih gaya yang sesuai dengan preferensinya. Orang yang preferensi gaya belajarnya auditory, dapat memilih media audio yang bertebaran di internet, orang yang preferensi gaya beajarnya visual dapat memilih sumber beajar visual yang juga bertebaran di internet. Demikian juga yang preferensi gaya belajarnya kinesthetic, dapat memilih aktifitasnya tidak dipegaruhi oleh guru dan orang lain. Sementara pada pendidikan tatap muka pembelajaran yang disajikan guru cenderung seragam.
Karateristik teknologi online berikutnya adalah dapat menghubungkan masyarakat dalam jumlah besar dengan tidak terhalang oleh dinding geografis, demografis, budaya, bahasa, bangsa dan agama. Orang yang memiliki kepentingan atau kesukaan tertentu dapat menyatukan diri dalam sebuah ruang tanpa batas. Hari ini, seorang ABG, dapat memiliki 1000 atau lebih teman di media sosial. Mereka bergabung karena memiliki kesukaan yang sama, atau karena kesamaan lainnya. Ini berarti bahwa teknologi online dapat membangun komunitas belajar yang sangat besar. Itu berarti bahwa karakter teknologi ini sangat potensial diberdayakan sebagai modus belajar.
Dalam teori belajar sosial ada istilah komunitas belajar (learning community). Sebuah komunitas yang didalamnya terdapat-orang-orang melakukan kegiatan saling belajar baik sengaja atau tidak sengaja. Sebuah sekolah, atau sebuah kelas regular merupakan sebuah learning community. POS YANDU, atau kelompok pengajian di mushalla juga bisa jadi sebuah learning community. Sejenis dengan itu, sebuah group di media sosial bisa jadi sebuah learning community.
Untuk kebutuhan pendidikan formal, media ini dapat dibuat dan digunakan untuk membangun learning community yang terstruktur. Medsos adalah dunia anak-anak millennial. Jadi kalau guru ingin mendekati mereka, gunakan medsos, kemudia sajikan pembelajaran menarik. Terlebih lagi kalau sudah dapat mengguakan learning management system (LMS). Melalui aplikasi tersebut guru dapat membangun sebuah komunitas belajar online yang terstruktur dan terarah.
Dalam kominitas belajar tersebut, kegiatan inti yang harus disajikan adalah interaksi. Jadi membangun komunitas belajar online adalah membangun sebuah wahan interkasi antara anggota komunitas agar terjadi proses saling belajar. Melalui interkasi tersebut diharapkan terjadi proses konstruksi pengetahuan dan keterampilan seperti yang dijelaskan dalam teori konstruktivisme sosial.
Mari kita melihat agak serius mengenai online learning sebagai sebuah learning community yang menyajikan proses interaksi. Moore dalam Anderson (2008: 58) menyebutkan tiga bentuk interaksi yaitu peserta didik-peserta didik, peserta didik-tutor/guru dan peserta didik-sumber belajar. Bentuk interaksi antara komponen-komponen yang dipolakan oleh Moore dapat digambarkan dalam skema berikut.
Skema interaksi di atas menggambarkan tiga komponen pada sistem yaitu peserta didik, guru/tutor dan sumber belajar (content) yang saling berinteraksi antara satu dengan yang lainnya. Sebagai sistem pembelajaran mandiri interaksi utama yang harus terjadi adalah antara peserta didik dengan sumber belajar. Sumber balajar memuat bahan ajar, kegiatan belajar dan tuntunan belajar mandiri sehingga peserta didik dapat melakukan proses belajar secara terbuka. Namun demikian proses contructing knowledge alamiahnya terjadi secara sosial dengan cara diskusi dan dialog dengan orang lain sehingga harus terjadi interaksi antara peserta didik dengan tutor dan antara peserta didik sendiri. Selain itu karena proses knowledge construction terjadi juga pada tutor maka tidak menutup kemungkinan juga terjadi interaksi antara tutor dengan tutor.
Interaksi antara tutor dengan sumber belajar terjadi ketika tutor meng-up-date sumber belajar. Ini merupakan kelebihan dalam pembelajaran online dimana sumber belajar dapat diperbaharui setiap saat. Bahkan terjadi interaksi antara sumber belajar itu sendiri. Bentuk interaksi ini misalnya ketika sebuah sotware memperbaharui sistemnya dan secara otomatis meminta aplikasi pada bahan ajar untuk meng-up-date sistemnya.
Anderson dan Gerison menambahkan 3 bentuk interaksi lain yaitu gugu-guru, guru-sumber belajar dan sumber belajar-sumber belajar. Pola interaksi tersebut dapat dilihat dalam skema beirkut.
Interaksi antara peserta didik dengan sumber belajar terjadi dengan melibatkan lingkungan sekitar baik keluarga, teman sejawat, dan juga ada kontribusi dari fasilitas yang tersedia di tempat kerja. Ini memungkinkan peserta didik untuk belajar sosial skill, berkolaborasi dan membangun hubungan sosial dengan orang lain dalam proses knowledge construction. Perangkat umum yang digunakan termasuk CAL tutorial, drills, simulasi dan virtual lab, dimana peserta didik melengkapi simulasi melalui experimen dapat melakukan penelitian berkualitas.
Anderson menegaskan bahwa meskipun peserta didik belajar mandiri, dalam sistem ini mereka tidak sendirian. Teman sejawat di tempat kerja, teman lain dan anggota keluarga merupakan sumber signifikan yang memberi dukungan ketika melakukan belajar mandiri. Selain itu munculnya software untuk komunikasi sosial memberi peluang kepada peserta didik untuk bertemu dan membangun kelompok (study-buddy) yang mendukung terjadinya kegiatan kooperatif dan kolaboratif.
Berdasarkan teori di atas jelas digambarkan bahwa ketika kita membangun sebuah online learning sebagai sebuah sistem pembelajaran, itu berarti kita membangun sebuah learning community dimana setiap aanggota komunitas dapat saling belajar. Pada sistem tersebut semakin banyak interaksi yang disajikan maka akan semakin banyak kesempatan belajar. Intensitas iteraksi dapat diatur oleh pengembang sistem dengan mempertimbangkan karakter kurikulum dan karakter para anggota komunitas. Selain itu harus dipertimbangkan agar interaksi belajar disajikan agar menarik dan kontekstual.
Para guru inspiratif, kesmipulannya bahwa ketika kita membangun sebuah online learning maka sebenarnya kita membangun sebuah komunitas belajar (learning community). Dalam komunitas tersebut para anggota saling belajar bersama menggunakan teknologi online yang sangat memungkinkan untuk belajar optimal. Mereka dapat berinteraksi dengan semua komponen sistem kapan saja, dimana saja dan dengan kecepatan serta gaya masing-masing.
Buku referensi: Anderson, T. (2008). The Theory and Practice of Online Learing (Second Edi). Athabasca University.
KELAS NORMAL BARU
Oleh Asip Suryadi
Banyak isu terkait keberlangsungan program Pendidikan Nasional terkait dengan ekses Pandemi Covid 19. Ada yang mengusulkan tahun ajaran baru diundur. Ada juga yang mengusulkan lanjutkan seperti biasa. Orang tua seperti saya lebih memilih anak-anak tetap di rumah. Namun demikian Kemendikbud telah memutuskan sementara seperti yang dimuat di beberapa sumber berita, seperti Tribun Jogja misalnya, Kementerian menegaskan bahwa tahun ajaran baru 2020 / 2021 tetap akan dimulai pada 13 Juli 2020. Namun pengumuman tersebut tidak berarti bahwa siswa belajar di sekolah seperti biasa (Tribun Jogja)
Di beberapa media juga dikabarkan bahwa kebijakan di setiap daerah berbeda. Mislanya saja Dinas Pendidikan Kota Palembang akan membuka kembali sekolah 15 Juni, dengan pola1 siswa-1 meja (Beritassebelas.com). Di Medan, anak-anak di sebuah SD dikumpulkan. Namun menurut gurunya, "Ini bukan sekolah cuma mengumpulkan tugas yang selama ini kita kasi ke anak-anak. Ini semua tugas daring yang dari TVRI, kan sudah dikerjai mereka sewaktu bulan puasa itu, jadi ini barusan kami kumpul," (Tribun Medan).
Kebijakan-kebijakan daerah tersebut diterjemahkan dari, Surat Edaran Nomor 2 Tahun 2020 tentang Pencegahan dan Penanganan Covid-19 di lingkungan Kemendikbud serta Surat Edaran Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pencegahan Covid-19 pada Satuan Pendidikan seperti yang dirilis Sekretariat Kabinet Republik Indonesia 15 Mei 2020.
Selanjutnya apa? Pemerintah daerah, satuan pendidikan, guru dan orang tua harus memilih strategi mendidik anak-anak untuk setidaknya setahun kedepan. Sangat tidak bijak apabila orang tua dan guru membiarkan anak-anak tinggal di rumah tanpa ada pendidikan yang terstruktur. Oleh karena itu satuan pendidikan, guru dan orang tua harus memilih pola pendidikan baru. Beberapa alternatif yang dapat dipilih dantaranya homeschooling tanpa keterlibatan guru reguler, sekolah dengan pola fully online, sekolah dengan pola blended learning, sekolah biasa (fully offline class) dengan protokol keselamatan penuh, gabungan dari alternatif yang sudah disebutkan, atau alternatif lainnya. Mari kita sedikit diskusi mengenai alternatif-alternatif tersebut.
Dengan homeschooling, orang tua membuat kurikulum rumahan atau mengadopsi kurikulum homeschooling yang sudah dikembangkan. Anak-anak belajar di rumah saja dengan sumber belajar beragam. Sumber dan media belajar yang dapat digunakan mulai dari media cetak, TV, web, media sosial, guru di tempat kursus, guru ngaji, dan yang utama orang tua sendiri. Hasilnya, anak-anak boleh mengikuti tes kognitif atau psikomotorik di Lembaga pemerintah atau Lembaga lain yang memiliki kewenangan. Yang agak sulit dengan pola ini adalah mendisiplinkan untuk belajar mandiri. Selain itu banyak orang tua yang tidak percaya diri, padahal peran orang tua sangat besar.
Untuk fully online, satuan pendidikan menggunakan learning management system. Materi ajar dan evaluasi disajikan seluruhnya dalam jaringan. Termasuk praktek yang disajikan melalui simulasi, self-experimenting dan virtual laboratory. Guru bekerja sama dengan orang tua menjadi tutor. Sesekali guru melakukan tele meeting menggunakan aplikasi. Bangunan sekolah ditutup kecuali kantor. Sataf juga bisa bekerja dari rumah, menggunakan e-office. Melalui e-office tersebut semua pekerjaan disajikan dalam bentuk aplikasi yang data dikerjakan kapan saja dan dimana saja. Layanan informasi pendidikan disajikan dalam jaringan sehingga masyarakat dapat membukanya kapan saja dari mana saja.
Dengan blended learning, materi ajar dan penilaian sebagian disajikan online, sebagian tatap muka. Materi ajar yang dapat dipelajari mandiri seperti pengetahuan faktual, pengetahuan konseptual dan keterampilan fisik sederhana disajikan dalam jaringan. Sedangkan materi ajar yang memerlukan bimbingan guru seperti praktek olah raga, praktek ibadah, praktek perbengkelan dan praktek di laboratorium dilakukan dengan tatap muka. Dalam sesi tatap muka harus diikuti protokol keselamatan. Harus ada jarak antara guru dengan peserta didik dan antara peserta didik. Dengan pola ini, karena harus menjaga jarak, maka dalam sesi tatap muka hanya sebagian saja peserta didik yang datang sehingga tidak berkerumun. Kalau menggunakan kelas maka hanya memungkinkan satu meja-satu peserta didik.
Apabila menggunakan sekolah biasa (full offline class), maka kurikulum disajikan seperti biasa. Namun karena harus memperhatikan protokol keselamatan, peserta yang masuk kelas hanya bisa setengahnya dengan pola satu meja-satu peserta didik. Pola ini berisiko karena harus sangat sulit mendisiplinkan peserta didik untuk tidak melakukan kontak antar mereka. Selain itu pola ini menjadi masalah karena membutuhkan dua kali lipat ruang kelas dan guru. Kecuali kalau waktu sekolah diperpendek. Namun pemangkasan waktu akan berimplikasi terhadap pemangkasan kurikulum hingga 50%.
Tentu apabila dieksplorasi akan lahir beberapa alternatif lainnya. Anda memilih yang mana? Atau memilih alternatif lainnya? Tentu memilih alternatif harus memperhitungkan semua komponen. Bagi sekolah/madrasah yang berada di lokasi dengan internet memadai kemungkinan besar sudah banyak yang siap memilih fully online atau blended. Salah satu kendala yang paling didengungkan guru adalah kepemilikan perangkat di satuan pendidikan dan peserta didik. Salah satu solusinya, Kemdikbud mengeluarkan kebijakan penggunaan dan BOS untuk menanggulanginya. Untuk menanggulangi kepemilikan perangkat pada siswa, bisa bekerja sama dengan berbagai pihak. Bagi satuan Pendidikan plat merah akan lebih nyaman apabila diawali dengan kebijakan pemerintah/pemerintah daerah. Bagi satuan pendidikan plat hijau dan biru, pilihan lebih bebas. Untuk mendukungnya pemerintah juga harus membuat kebijakan yang memerdekakan, bukan memenjarakan. Satuan Pendidikan harus diberi kebebasan untuk bermutu.
Alternatif menengah yang bisa dipilih oleh banyak satuan pendidikan adalah blended learning. Pada kondisi umum Pendidikan Nasional pola ini banyak kelebihan. Diantaranya pertama dengan pola tersebut sekolah dalam arti satuan pendidikan “yang ada bangunannya” masih bisa bertahan. Kedua, kurikuum nasional regular masih dapat diterpkan meskipun harus dipilih materi yang substantif saja seperti yang dideklarasikan Mendikbud. Ketiga, dengan pola ini ruang kelas akan memadai bahkan akan lebih irit karena satu kelas dapat dipakai bergantian. Malah dalam pola ini pada jenjang pendidikan menengah dan atas dapat diterapkan moving class. Artinya siswa yang mengunjungi kelas tertentu. Misalnya kelas matematika, kelas sejarah, kelas IPS, kelas Agama dan seterusnya. Pemilik kelas bukan peserta didik melainkan guru. Guru menunggu siswa datang ke kelas yang khas dengan berbagai perangkatnya sehingga selalu siap melayani siswa secara optima. Keempat, guru sebagai model secara fisik masih dapat dipertahankan untuk pembelajaran sikap. Kelima, peserta didik memperoleh bimbingan dalam kompetensi keterampilan dan sikap. Keenam pendidikan lebih efisien karena mengirit kelas, mengirit waktu, mengirit biaya operasional, mengurangi kemacetan dan sejeisnya.
Alternatif lain, bisa juga sebuah satuan pendidikan menyajikan beberapa pola secara bersamaan. Pola ini diterapkan apabila keinginan peserta didik beragam dan satuan Pendidikan dapat melayaninya. Peserta didik diberikan kebebasan memilih fully online, bended atau fully offline. Pola ini tentu memerlukan persiapan lebih banyak apabila dibandingkan dengan pola yang homogen.
Itu adalah gagasan. Ekspresi kemerdekaan dari kegalauan hati yang terpenjara dengan PSBB. Gagasan merdeka ini diharapkan memantik inspiriasi baru bagi keberlangsungan pendidikan anak-anak bangsa. Kita tidak boleh permisif bahwa karena dalam kondisi darurat maka pendidikan boleh seadanya. Justru yang dimaksud new normal adalah era baru yang harusnya lebih bermutu. Kita diberi kemerdekaan memilih yang lebih baik. Mari kita memilih alternative New Normal Classroom yang tepat untk msing-masing.
Artikle ditulis 6 Juni 2020
Sumber
1. Cegah Penyebaran Covid 19, Sekolah Wajib Terapkan Satu Siswa Satu Meja. Beritasebelas.com, 2 Juni 2020
2. Tribun Jogja, Kapan Masuk Sekolah Lagi? Tahun Ajaran Baru 2020/2021 Dimulai 13 Juli, Ini Penjelasan Kemendikbud, Kamis, 28 Mei 2020 21:56
3. MASUK SEKOLAH LAGI, Siswa SD Pulo Brayan Bengkel Beraktifitas Serahkan Tugas, Begini Penjelasan Guru, Tribun Medan Selasa, 2 Juni 2020 10:07
4. Sumber Gambar: https://news.detik.com/berita/d-5034797/menuju-new-normal-nu-imbau-pemerintah-perhatikan-pesantren
KELAS TANPA DINDING 3.0
Guru inspiratif, mari sepintas mengenal teknologi online yang sedang berkembang sekarang ini. Pengetahuan kita mengenai teknologi online sangat penting bagi kita sebagai pengembang instruksional dan penyelenggara pembelajaran online. Jangan sampai kita berpikir masih di zaman kolonial padahal teknologi sudah ada di zaman virtual. Berikut sekilas informasi mengenai perkembangan teknologi jaringan (internet) dan relevansinya dengan media pembelajaran.
Anda tentu pernah mendengar istilah media Web 1.0 (baca web one point zero), Web 2.0, dan Web 3.0. Itu adalah istilah dari generasi internet yang senantiasa dinamis dan berkembanga sangat cepat. Sebuah revolusi teknologi jaringan yang sekarang sudah sampai ke gereasi Web 3.0 dan saya kira akan segera berganti ke generasi berikutya. Pada generasi ini internet memiliki kapasitas yang kita lihat dan rasakan sekarang. Mari kita selidiki sekilas.
Generasi Web 1.0
Generasi teknologi web pertama disebut Web 1.0 yang berkembang mulai tahun 1992 sampai 2000. Pada generasi ini website dibangun menggunakan halaman HTML statis yang hanya memiliki kemampuan untuk menampilkan informasi namun tidak memungkinkan pengguna untuk mengubah data dan beriteraksi. Selain itu pola komunikasi dan penyampaian informasi hanya satu arah. Media sosial seperti email, Gopher, Amazone, e-Bay dan sejenisnya yang muncul sebelum 2002 hanya digunakan oleh individu kepada individu secara searah.
Generasi Web 2.0
Generasi kedua adalah Web 2.0 yang lahir pada sekitar awal tahun 2000-an. Teknologi ini membawa perubahan dari web yang statis ke arah yang lebih dinamis. Beberapa ciri dari teknologi ini diantaranya pengguna dapat melakukan data browse menggunakan teknologi browser seperi Google, Edge, Chroom misalnya. Berikutnya melalui teknologi Web 2.0 pengguna dapat berinteraksi melalui penggunaan database, formulir dan sosial media. Selain itu pengguna dapat membuat konten dan mengubahnya. Bahkan beberapa orang dapat berkolaborasi mengubah data atau konten informasi bersama-sama. Wikipedia misalnya, adalah ensiklopedia yang ditulis oleh banyak orang yang berada di belahan bumi berbeda.
Melalui teknologi Web 2.0 tersebut bermunculan media yang dapat digunakan oleh banyak orang untuk berbagi informasi dengan cepat dalam berbagai format sajian. Google, Yahoo, Wikipedia adalah media yang termasuk pionir dari media social yang berbasis massal dilansir sekitar tahun 2001. Berikutnya linked, skype, iTone dan iPods yang diluncurkan Apple tahun 2003. Fiendster, MySpace, Facebook muncul berikutnya sekitar tahun 2003. Jadi Web 2.0 menyajikan fasilitas lebih sedikit observasi dan lebih banyak tentang partisipasi dengan pola interaksi semua untuk semua.
Kita dapat mengatakan bahwa Web 2.0 berhasil menghubunkan individu-individu kedalam komunitas. Makanya dikatakan bahwa teknologi Web 2.0 bersifat connecting people. Individu dari seluruh dunia dapat tersambung antara satu dengan lainnya. Facebook sebagai salah satu contoh media sosial yang lahir di zaman tersebut dapat menyambugkan kembali teman sekolah yang lulus 20 tahun lalu padahal mereka tersebar di berbagai belahan dunia.
Generasi Web 3.0
Berikutnya adalah generasi Web 3.0. Ini adalah teknologi revolusioner dalam sejarah peradaban manusia. Melalui teknologi ini lahir aplikasi-aplikasi supercerdas seperti semantic web (penelusuran informasi lewat kata kunci), natural language processing (perintah menggunakan suara digital), open-source, artificial intelligence, virtual reality, augmented reality, 3D printing dan Internet of Things (IoT). Melalui teknologi tersebut manusia banyak menghasilkan produk yang tidak dapat terbayangkan sebelumnya. Dulu kita tidak dapat membayangkan dapat mematikan listrik di rumah semenara kita berada di tempat yang jauh. Atau membuat replikasi anggota tuguh menggunakan 3D printing. Dulu tidak terbayang orang yang berada di tempat yang jauh dapat melakukan interaksi belajar dengan seorang guru melalui aplikasi seperi Learning Management System (LMS) atau MOOC (Massive Open Online Course).
Selain itu teknologi ini memugkinkan digunakannya fungsi peer-to-peer (P2P). Yaitu salah satu model jaringan komputer yang terdiri dari dua atau beberapa komputer, dimana setiap komputer yang terdapat di dalam lingkungan jaringan tersebut bisa saling berbagi. Bahkan untuk membuat jaringan peer-to-peer dengan dua komputer, kita tidak perlu menggunakan hub atau switch, namun cukup menggunakan 1 kabel UTP yang dipasangkan pada kartu jaringan masing-masing komputer. Misalnya, dengan fasilitas cloud drive seperti Google Drive, Dropbox, OneDrive dan sejenisnya, beberapa orang dapat membagi data dengan mudah. Yang lebih hebat lagi, aplikasi tersebut menyajikan fasilitas berkolaborasi dalam menciptakan dan mengelola data.
Implikasi dalam Pendidikan
Revolusi teknologi informasi dan komunikasi di atas luar biasa. Tapi mengapa revolusi tersebut di negeri ini tidak serta merta memicu rovolusi pendidikan? Sampai hari ini sebagian besar, malah hampir semua kelas kita berdinding 4, sementera di negeri orang sudah dibangun kelas tanpa dinding. Padahal 70 tahun yang lalu Ki Hajar Dewantara pernah mengungkapkan konsep “belajar tiga dinding”. Maksud Ki Hajar, satu diding kelas harus dibuka lebar-lebar agar anak-anak dapat belajar dari dunia nyata. Konsep tersebut juga menyiratka bahwa guru bukanlah satu-satunya sumber belajar karena lingkungan adalah sumber belajar yang sebenarnya. Anak-anak harus belajar dari temannya, dari petani, dari tokoh masyarakat, pelaku industry, teknokrat, hutan, sawah, jalan, pabrik dan sejenisnya.
Pada zaman Ki Hajar tentu belum terbayangkan bahwa akan terjadi revolusi teknologi informasi dan komunikasi seperti sekarang ini. Beliau hanya membuka satu dinding saja. Tiga dinding lainnya harus dipertahankan karena anak-anak harus tetap pergi ke sekolah. Dengan filosofi Ki Hajar, pada era teknologi Web 3.0 kita bisa mengembangkan konsep kelas tanpa dining. Kalau saja Ki Hajar Dewantara mengalaminya. Bukan tidak mungkin Beliau akan menggagasnya.
Yang dimaksud dengan kelas tanpa dinding pada zaman teknologi Web 3.0 adalah pendidikan open-distributed-mobile learning. Konsep ini dapat menyajikan Pendidikan Untuk Semua dalam bentik pendidikan formal, informal maupun nonformal. Dengan menggunakan teknologi ini anak-anak yang tidak mungkin atau kesulitan untuk pergi ke sekolah pun dapat mengikuti pendidikan bermutu.
Contoh penerapan teknologi ini dalam pendidikan formal misalnya penggunaan pola blended learning (gabungan tatap muka-nontatapmuka). Kurikulum disajikan online menggunakan Learning Management System (LMS) sehingga pembelajaran dapat dilakukan dimana saja dan kapan saja. Pertemuan dengan guru dapat dilakukan sebagian online dan sebagian lagi tatap muka fisik. Peserta didik hanya datang ke sekolah/madrasah pada jadwal tertentu saja, materi ajar menggunakan beragam sumber belajar baik yang tersaji dalam jariangan maupun yang konvensional, dan pembelajaran disajikan menggunakan model dan metode pembelajaran beragam agar menarik dan sesuai dengan gaya beajar personal peserta didik.
Tentu pola tersebut banyak kekurangan yang harus dipoles. Sebagai sebuah inovasi, tentu memerlukan proses difusi yang memerlukan waktu. Namun demikian bisa diprediksi banyak kelebihan. Darsi segi sarana misalnya, bisa menanggulangi kekurangan ruang kelas fisik dan perangkatnya. Karena peserta didik tidak setiap hari ke sekolah/madrasah, sebuh ruangan dapat digunakan bergantian. Dari segi SDM, dapat menaggulangi kekurangan pendidik dan tenaga kepandidikan. Dari segi lingkungan, pola ini dapat mengurangi kemacetan lalu lintas dan polusi karena anak-anak tidak harus berkendaraan setiap hari untuk pergi ke sekolah/madrasah. Yang luar biasa, apabila pola ini diterapkan dengan benar maka akan membangun budaya belajar sepanjang hayat, belajar madiri dan komunitas belajar tanpa batas.
Untuk mengendalikan mutu pola ini harus diuji coba terlebih dahulu di lingkungan terbatas dan terus menerus disempurnakan. Selain itu perlu dibangnun sistem pengawasan, supervisi, pelatihan dan evaluasi yang berbeda.
Saya kira kita tidak akan mengatakan itu tak mungkin dilakukan. Justru kita harus mengatakan itu keniscayaan. Tentu saja untuk sekarang ini bukan untuk semua kondisi, tapi dimulai dari lingkungan yang kondisinya sudah memungkinkan. Berdasarkan pengalaman saya ikut serta dalam mengelola pendidikan jarak jauh online dalam bidang kediklatan, yang sulit dalam menerapkan pola ini adalah tekad yang kuat dan investasi sarana dan prasarana awal. Selain itu tidak ada yang berat. Namun sekarang ini teknologi sudah beragama sehingga dapat dipilih sesuai dengan kekuatan biaya. Selain itu sudah sangat mudah dan murah sehingga investasi tidak menjadi kendala utama. Kalau memiliki tekad yang kuat, kita dapat membangun pola pendidikan seperti itu dalam 3 tahun untuk menjadi mapan.
Jadi, revolusi teknologi Web 3.0 yang telah merevolusi cara kita berkomunikasi, bergaya dan berbelanja online, mari mulai kita gunakan untuk membangun kelas tanpa dinding untuk memfasilitasi anak-anak kita belajar tanpa penjara.
Sumber
Ciri dan Teknologi Web 3.0: http://www.candra.web.id/ciri-dan-teknologi-web-3-0/
Genereasi Web Baru-Web 3.0: https://teknojurnal.com/generasi-web-baru-web-3-0/
Konsep Tiga Dinding: http://propublik.blogspot.com/2008/11/konsep-tiga-dinding.htm
Sumber Gambar: https://www.shutterstock.com/search/kid+horizon
GAGU ANALISIS
Kamis, 03 Mei 2018
Ini soal try out matematika SD:
Hasil pengukuran dengan termometer Celcius, suhu segelas cairan adalah -10 derajat Celcius (maaf penulisannya kurang bagus). Ketika disimpan di ruang terbuka suhunya meningkat 3 derajat celcius setiap 2 menit. Berapa suhu akhir setelah cairan tersebut disimpan 8 menit?
Berapa persen anak kelas VI yang dapat menyelesaikan soal tersebut dengan cepat dan tepat?
Hasil pengukuran dengan termometer Celcius, suhu segelas cairan adalah -10 derajat Celcius (maaf penulisannya kurang bagus). Ketika disimpan di ruang terbuka suhunya meningkat 3 derajat celcius setiap 2 menit. Berapa suhu akhir setelah cairan tersebut disimpan 8 menit?
Berapa persen anak kelas VI yang dapat menyelesaikan soal tersebut dengan cepat dan tepat?
Ketika mengerjakan soal tersebut anak saya sibuk mengingat rumus. Lama
saya tunggu, rumusnya tidak ditemukan, dan dia tidak kunjung selesai
mengerjakanhnya setelah lebih dari 5 menit. Padahal soal rata-rata harus
selesai dikerjakan 3 menit. Dia pasti melewatkan soal tersebut ketika
ujian.
Ini penting untuk digarisbawahi bahwa guru kebanyakan tidak mengajar siswa cara berpikir, tetapi lebih banyak mengajarkan rumus. Akhirnya belajar matematika bukan mengajar cara berpikir, tetapi mengajarkan rumus. Ini adalah kekeliruan yang mendasar.
Allah tidak menurunkan rumus, tapi Allah memberi akal untuk berpikir. Mari kita mengubahnya pembelajaran untuk melatih cara berpikir. Kalau bisa jangan ajarkan rumus. Biarkan mereka menemukannya sendiri.
Ini penting untuk digarisbawahi bahwa guru kebanyakan tidak mengajar siswa cara berpikir, tetapi lebih banyak mengajarkan rumus. Akhirnya belajar matematika bukan mengajar cara berpikir, tetapi mengajarkan rumus. Ini adalah kekeliruan yang mendasar.
Allah tidak menurunkan rumus, tapi Allah memberi akal untuk berpikir. Mari kita mengubahnya pembelajaran untuk melatih cara berpikir. Kalau bisa jangan ajarkan rumus. Biarkan mereka menemukannya sendiri.
BUDAYA MENYONTEK
Oleh Asip Suryadi
Di sebuah arena Diklat saya mengatakan "Tidak boleh sedikitpun
memberi kesempatan kepada siswa untuk menyontek". Lalu peserta Diklat
serempak berseloroh "Kecuali kalau tidak ketahuan". Didengar dari
suaranya, saya memprediksi lebih dari setengah jumlah peserta
mengucapkannya secara serentak dengan nada yang nyaris sama. Seperti
paduan suara.
Saya menganggap itu bercanda. Tapi agak membuat gerah juga, jangan-jangan itu keyakinan, persepsi dan sikap mereka. Saya mengkonfirrmasi dengan mengajukan pertanyaan "Apakah Anda setuju?" Tidak banyak yang menjawab.
Pagi berikutnya saya mengajak peserta untuk mensimulasikan 5 Budaya
Kerja Kementerian Agama, kemudian secara khusus mengajak diskusi
maknanya. Saya memberi penekanan terhadap nilai integritas. Saya lihat
banyak yang menanggapinya datar-datar saja. Mungkin mereka ingin
mengatakan: Ah teori...!!!
Besoknya saya mengajak lagi meneriakkan 5 Budaya Kerja Kemenag dengan harapan ada sebuah nilai yang tertanam meskipun secuil. Di akhir sesi Diklat kami memberi soal ujian. Ternyata banyak peserta Diklat (yang terdiri dari guru mata pelajaran) berusaha menyontek.
Saya mengelus dada.
Guru kencing berdiri
Murid kencing berlari
Berapa generasi lagi???
Besoknya saya mengajak lagi meneriakkan 5 Budaya Kerja Kemenag dengan harapan ada sebuah nilai yang tertanam meskipun secuil. Di akhir sesi Diklat kami memberi soal ujian. Ternyata banyak peserta Diklat (yang terdiri dari guru mata pelajaran) berusaha menyontek.
Saya mengelus dada.
Guru kencing berdiri
Murid kencing berlari
Berapa generasi lagi???
Sumber gambar: https://www.liputan6.com/global/read/2505190/7-modus-canggih-menyontek-yang-tak-terbayangkan, 9-7-2020
TAKSONOMI HASIL BELAJAR
Rabu, 24 Mei 2017
Kata kerja yang digunakan untuk menggambarkan tingkat kompetensi hasil belajar dalam rumusan KD ditentukan menggunakan pisau analisis Taksonomi Tujuan Pendidikan (The Taxonomy Of Educational Objectives). Taksonomi Tujuan Pendidikan adalah sebuah kerangka acuan untuk mengelompokkan kompetensi yang diharapkan tercapai oleh peserta didik sebagai dampak dari hasil sebuah pembelajaran (Krathwohl). Taksonomi Tujuan Pendidikan digunakan sebagai acuan untuk menetapkan kata kerja dalam rumusan indikator pencapai hasil belajar yang akan dijadikan landasan dalam menyusun inetrumen evaluasi hasil balajar.
Banyak taksonomi tujuan pendidikan yang tertuang dalam buku sumber, diantaranya Benjamin Bloom, Reguluth, Robert Gegne, Merill and Goodman dan yang lainnya tapi yang digunakan dalam penyusunan Standar Isi adalah taksonomi tujuan pendidikan yang disusun oleh Benjamin Bloom tahun 1956. Bloom mengidentifikasi tiga domain tujuan pendidikan yaitu kognitif (cognitive), afektif (affective) dan psikomotorik (psychomotor). Domain kognitif terkait dengan ranah kemampuan berpikir/intelektual, afektif (affective) terkait dengan ranah perasaan dan emosi dan psikomotor (psycomotric) terkait dengan ranah kemampuan fisik.
Bloom dan kolega berhasil mengelaborasi domain cognitive dan afektif namun tidak sempat mengelaborasi domain psikomotorik. Hasil elaborasi berbentuk kategori untuk setiap domain. Domain kognitif terdiri dari 6 kategori yaitu pengetahuan, pemahaman, penerapan, analisis, sintesis dan evaluasi; dan domain afeksi terdiri dari 5 kategori yaitu penerimaan, respon, penilaian, mengorganisasikan dan menginternalisasika. Domain psikomotorik berhasil dielaborasi oleh ahli lain seperti RH Dave tahun 1975, Horrow dan Simson.
Ketiga domain tidak merupakan hirarki. Kognitif, afeksi dan psikomotorik memiliki hubungan horizontal yang saling melengkapi. Sebuah kemampuan, misalnya menendang bola merupakan akumulasi dari kemampuan kognitif, afektif dan psikomotor. Kemampuan kognitifnya adalah pengetahuan mengenai prosedur dan teknik penendang bola, kemampuan psikomotirknya adalah ketaerampilan fisik gerakan menendang bola, dan kemampuan afeksinya adalah kegigihan.
Kategori-kategori pada setiap domain merupakan tingkatan dari yang sederhana ke yang rumit dan dari yang nyata/kongkrit ke yang abstrak. Krathwohl mengasumsikan bahwa pada kategori taksonomi Bloom merupakan kumulasi hirarki. Maksudnya bahwa kategori yang lebih sederhana merupakan syarat untuk menguasai kategori yang lebih kompleks. Maksudnya seeseorang akan bisa menjelaskan kalau sduah mengetahui, akan dapat menerapkan apabila sudah dapat menjalaskan, akan dapat menganalisis apabila sudah dapat menerapkan, dan seterusnya. Contohnya, seorang anak belum dapat menerapkan rumus Pythagoras apabila belum mengetahui dan memahami hukum tersebut. Seorang anak belum dapat membuat puisi apabila belum bisa menjelaskan definisi puisi dan menjalskan prosedur dan teknik penulisannya.
DAFTAR PUSTAKA
Bloom B. S. (1o956). Taxonmy of Educational Objectives, Handbook I: The Cognitive Domain. New York: David McKay Co Inc.
Dave, R. H. (1975). Developing and Writing Behavioral Objectives. (R. J. Armstrong, ed.). Tucson, Arizona: Educational Innovators Press.
Harrow, A. (1972) A Taxonomy of Psychomotor Domain: A Guide for Developing Behavioral Objectives. New York: David McKay.
Krathwohl, D. R., Bloom, B. S., & Masia, B. B. (1973). Taxonomy of Educational Objectives, the Classification of Educational Goals. Handbook II: Affective Domain. New York: David McKay Co., Inc.
Pohl, M. (2000). Learning to Think, Thinking to Learn: Models and Strategies to Develop a Classroom Culture of Thinking. Cheltenham, Vic.: Hawker Brownlow.
Simpson E. J. (1972). The Classification of Educational Objectives in the Psychomotor Domain. Washington, DC: Gryphon House.
Banyak taksonomi tujuan pendidikan yang tertuang dalam buku sumber, diantaranya Benjamin Bloom, Reguluth, Robert Gegne, Merill and Goodman dan yang lainnya tapi yang digunakan dalam penyusunan Standar Isi adalah taksonomi tujuan pendidikan yang disusun oleh Benjamin Bloom tahun 1956. Bloom mengidentifikasi tiga domain tujuan pendidikan yaitu kognitif (cognitive), afektif (affective) dan psikomotorik (psychomotor). Domain kognitif terkait dengan ranah kemampuan berpikir/intelektual, afektif (affective) terkait dengan ranah perasaan dan emosi dan psikomotor (psycomotric) terkait dengan ranah kemampuan fisik.
Bloom dan kolega berhasil mengelaborasi domain cognitive dan afektif namun tidak sempat mengelaborasi domain psikomotorik. Hasil elaborasi berbentuk kategori untuk setiap domain. Domain kognitif terdiri dari 6 kategori yaitu pengetahuan, pemahaman, penerapan, analisis, sintesis dan evaluasi; dan domain afeksi terdiri dari 5 kategori yaitu penerimaan, respon, penilaian, mengorganisasikan dan menginternalisasika. Domain psikomotorik berhasil dielaborasi oleh ahli lain seperti RH Dave tahun 1975, Horrow dan Simson.
Ketiga domain tidak merupakan hirarki. Kognitif, afeksi dan psikomotorik memiliki hubungan horizontal yang saling melengkapi. Sebuah kemampuan, misalnya menendang bola merupakan akumulasi dari kemampuan kognitif, afektif dan psikomotor. Kemampuan kognitifnya adalah pengetahuan mengenai prosedur dan teknik penendang bola, kemampuan psikomotirknya adalah ketaerampilan fisik gerakan menendang bola, dan kemampuan afeksinya adalah kegigihan.
Kategori-kategori pada setiap domain merupakan tingkatan dari yang sederhana ke yang rumit dan dari yang nyata/kongkrit ke yang abstrak. Krathwohl mengasumsikan bahwa pada kategori taksonomi Bloom merupakan kumulasi hirarki. Maksudnya bahwa kategori yang lebih sederhana merupakan syarat untuk menguasai kategori yang lebih kompleks. Maksudnya seeseorang akan bisa menjelaskan kalau sduah mengetahui, akan dapat menerapkan apabila sudah dapat menjalaskan, akan dapat menganalisis apabila sudah dapat menerapkan, dan seterusnya. Contohnya, seorang anak belum dapat menerapkan rumus Pythagoras apabila belum mengetahui dan memahami hukum tersebut. Seorang anak belum dapat membuat puisi apabila belum bisa menjelaskan definisi puisi dan menjalskan prosedur dan teknik penulisannya.
DAFTAR PUSTAKA
Bloom B. S. (1o956). Taxonmy of Educational Objectives, Handbook I: The Cognitive Domain. New York: David McKay Co Inc.
Dave, R. H. (1975). Developing and Writing Behavioral Objectives. (R. J. Armstrong, ed.). Tucson, Arizona: Educational Innovators Press.
Harrow, A. (1972) A Taxonomy of Psychomotor Domain: A Guide for Developing Behavioral Objectives. New York: David McKay.
Krathwohl, D. R., Bloom, B. S., & Masia, B. B. (1973). Taxonomy of Educational Objectives, the Classification of Educational Goals. Handbook II: Affective Domain. New York: David McKay Co., Inc.
Pohl, M. (2000). Learning to Think, Thinking to Learn: Models and Strategies to Develop a Classroom Culture of Thinking. Cheltenham, Vic.: Hawker Brownlow.
Simpson E. J. (1972). The Classification of Educational Objectives in the Psychomotor Domain. Washington, DC: Gryphon House.
Langganan:
Postingan (Atom)
Ipsum
Delete this widget in your dashboard. This is just an example.
Dolor
Delete this widget in your dashboard. This is just an example.